"Iya sih, Mbak. Cuma mau gimana lagi?" Shanira menjawab pertanyaan seseorang lewat telepon genggam. Sambil menunggu jawaban, ia membelai-belai perutnya yang baru saja ditendang sang bayi dari dalam. "Saya nggak bisa andelin asuransi mendiang suami saya terus-terusan, jadi saya emang nggak punya pilihan."
Wanita di seberang sana mengiyakan. Sambil menyimaknya, Shanira melongok ke meja makan. Hendak memastikan Kirana masih sarapan dengan tenang. Sejak bangun hingga sudah dibaju, anak itu agak rewel. Ia masih ingin tidur seperti Rio.
"Kalau masalah itu, Mbak nggak perlu khawatir," katanya ketika lawan bicara mengajukan pertanyaan baru. "Sejauh ini keadaan saya baik, kandungan saya juga nggak apa-apa. Kalau soal anak, Kirana udah masuk TK. Paling nanti saya bawa Rio, atau saya bisa titip dia ke pembantu."
Setelah mengatakannya, Shanira menunggu dengan harap-harap cemas. Ia harap, mantan metornya di kampus mau menerimanya sebagai tenaga pengajar di playgroup tempatnya dulu bekerja. Meskipun setelah menikah ia vakum dari sana, ia yakin kemampuannya belum hilang. Ia tahu, paham, dan bagaimana menghadapi anak-anak prasekolah.
Seperti yang dikatakannya tadi, Shanira memang tak bisa terus mengandalkan dana asuransi yang ditinggalkan Hangga. Memang sampai satu bulan Hangga pergi, Shanira belum pernah kekurangan apapun untuk kehidupannya. Ia juga masih bisa memperkerjakan Mbok Tati dan Mang Imron. Tapi sampai kapan? Menjadi janda beranak dua ——yang akan segera menjadi tiga——tentu memerlukan banyak dana, bukan?
"Baik, Mbak. Makasih banyak sebelumnya," kecap Shanira setelah mendengar pernyataan lawan bicara. "Saya harap hasilnya sesuai harapan."
Setelah panggilan terputus, Shanira menaruh ponsel di atas meja. Ketika ia membalikkan badan untuk menuju ruang makan, ia terkesiap. Lagi-lagi, secara mendadak, Baron sudah berdiri di hadapannya. Dengan bertelanjang dada.
"Kamu nggak perlu kerja di sana," kata lelaki itu tanpa ekspresi.
"Kamu nguping?"
"Sekarang telpon lagi orang itu, dan bilang kamu nggak butuh pekerjaannya."
Shanira menaikkan sebelah alis. Kalau ia tipe orang yang frontal ia pasti berkata, hellow, siapa lo? Tapi untunglah percakapan mereka terjeda dengan sendirinya. Janish yang baru keluar dari kamar menatap ke arah mereka dan menyapa, "selamat pagi."
Merasa tak perlu meneruskan perbincangan, Shanira mengikuti Janish ke ruang makan. Ketika ia sampai di sana, ia dibuat takjub. Kirana terlihat lahap memakan nasi goreng buatannya. Meskipun agak berceceran, anak itu berusaha mengeksekusi sarapan dengan sangat baik.
"Bunda, tambaaah," kecap Kirana. Pipinya yang gembul makin menggelembung karena menampung nasi goreng.
"Kalau sarapan nggak usah banyak-banyak," celetuk Janish seraya meraih gelas. Sambil mengendus, memastikan kalau yang tertuang di sana adalah susu dietnya, ia menyambung, "Selain bikin ngantuk, kamu juga bakal jadi gendut."
Shanira tahu Janish cuma bergurau. Pasalnya, adik iparnya itu berbicara seraya tersenyum jahil.
"Gendut itu besaw, kan?" tanya Kirana sambil menatap Janish. "Emang itu maunya Kiwana, kok."
Sejak Hangga pergi, nafsu makan Kirana memang naik. Jika biasanya ia makan setengah porsi, maka sekarang satu saja kurang. Jumlah waktu makan pun bertambah. Dari tiga menjadi empat.
Shanira mengira hal ini merupakan bentuk pelampiasan Kirana yang sedih ditinggal sang ayah. Dan ia pikir, fenomena ini akan hilang dengan sendirinya.
"Kalau gendut, nanti nggak ada cowok yang naksir," kecap Janish seraya mendekatkan mulut ke ujung gelas.
"Kiwana banyak makan biaw cepet besaw," tukas anak itu sambil menyinduk nasi banyak-banyak. "Supaya bisa jagain Bunda sama Wio."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
General FictionBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...