"Mark, lo ngapain di sini?" tanya Baron sinis, ketika keesokan harinya ia menemukan lagi interaksi Mark dan Shanira.
Sebenarnya bukan interaksi langsung. Baron juga tidak tahu pasti karena apa yang terjadi barusan terlalu singkat. Diawali Mark yang turun dari mobil lalu mengetuk pintu rumah Hangga, kemudian menyerahkan sesuatu, dan kembali ke kendaraan. Sudah, sesingkat itu.
Baron tidak bermaksud membuntuti Mark. Tadi ia bergerak mengikuti karena refleks semata. Sungguh!
Apa yang dilihatnya kemarin memang menjengkelkan. Tapi ketika ia berusaha mengalahkan pikiran buruknya, ia bisa mengontrol emosi lebih baik. Mungkin Mark dan Shanira tidak sengaja bertemu. Mungkin Mark hanya berbaik hati memberi tumpangan. Mungkin. Mungkin. Mungkin.
Semua pikiran itu masih tidak berubah hingga tadi pagi. Namun entah insting, atau memang alam bawah sadarnya belum menerima, Baron iseng memperhatikan Mark saat istirahat tadi. Kebetulan mereka makan di tempat yang sama dan sempat saling sapa.
Dari tempat duduknya, Baron bisa melihat Mark tampak mengangkat telepon. Memang obrolannya tidak lama, tapi saat itu wajah Baron langsung memerah. Ia tidak mungkin salah dengar. Jelas sekali Mark menggumamkan, "Oh, gitu, Sha? Ya udah nanti aku cek, ya. Kalau ternyata ada, aku langsung ke rumah."
Didera kecurigaan yang semakin meruncing, diam-diam Baron mengikuti Mark. Dan benar saja, rumah yang dimaksud Mark tadi adalah rumah Hangga.
Berengsek!
Ketika Mark memasuki halaman, Baron sembunyi di balik pagar. Sengaja ia menunggu sebab dalam pikirnya, jika di luar begini, maka ia akan lebih leluasa menyergap. Mengorek informasi. Bahkan kalau perlu, menghajar langsung.
Belum dua menit menunggu, Mark sudah keluar. Awalnya Baron heran, tapi karena sejak kemarin amarahnya terus membumbung, ia lantas menghampiri pemuda berkacamata itu.
"Gue tanya sekali lagi, Marko! Lo ngapain di sini?" Baron geram. Tangannya terkepal kuat. Membuat Mark siaga. Kakinya mundur selangkah.
"Santai sedikit, Brother," ujar Mark seraya mengangkat kedua tangan. "Gue cuma balikin dompet Shanira yang ketinggalan."
"Jangan bohong lo, Mark!"
"Lo sebenarnya kenapa, Bar?"
"Nggak usah balik tanya! Jawab aja pertanyaan gue."
Mark mendecakkan lidah kemudian mengangkat kedua jari. "Gue bersumpah, gue cuma balikin dompet. Kalau nggak percaya, lo bisa tanya Shanira langsung."
Baron sadar, kemarahannya ini mungkin hanya refleksi emosi salah alamat. Gara-gara pagi tadi Shanira tidak menjawab teleponnya (lagi), lalu teringat kejadian di mana kemarin Mark satu mobil dengan Shanira, ia menjadi begitu marah. Antara cemburu dan curiga bersatu, menimbulkan kebencian yang kini tertuju pada Mark.
"Sejak kapan lo sama Shanira saling kenal?"
"Kenapa sikap lo gini amat?" tanya Mark. "Lo sama Shanira cuma ipar, tapi lo udah kayak suaminya."
Mark menyampaikan kalimat barusan dengan santai, namun rupanya berhasil memicu amarah Baron saat itu juga. Lelaki tinggi tegap itu langsung mengangkat kerah kemeja Mark tinggi-tinggi, mendesaknya ke badan mobil, lalu memekik, "Mark, gue peringatin, ya, jaga jarak lo sama Shanira!"
Meski Baron tahu Mark bukan lelaki brengsek, tapi selama dia mendekati Shanira, maka dia masuk daftar musuh. Katakanlah Baron sinting, tapi apa salahnya melakukan tindak preventif? Baginya, Shanira tidak boleh terlalu akrab dengat lelaki manapun. Kurang dari satu tahun, Baron akan menikahinya. Titik!
"Bar, lo sakit apa gimana, sih?" Mark geleng-geleng kepala. "Apa hak lo nyuruh gue jaga jarak sama Shanira?"
Baron hendak melayangkan tinju di dagu Mark namun teriakan seseorang mengiterupsi gerakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficção GeralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...