Janish langsung keluar begitu Chacha membukakan pintu mobil. Meski rona wajahnya terasa dingin nan cuai, pria gemulai yang membuntuti tahu gelenyar panas sedang meletup-letup di tubuh Janish. Bukan Chacha sok tahu, tapi ia memang merasa Janish sedang menahan marah. Hanya karena di sekitarnya terdapat banyak orang, maka sisi emosinya tak keluar.
Chacha tidak berani bertanya. Sejak sang majikan menyuruhnya menjemput di ruangan Baron, ia tahu ada yang tidak beres. Ditambah Janish yang ingin menghabiskan hari ini di apartemen, sepertinya Chacha harus pandai-pandai membaca situasi.
Ketika kaki jenjang Janish menginjak di depan pintu lobi, segerombol orang ——yang sedari tadi sibuk sendiri—— langsung menoleh. Mereka berlomba-lomba mengerubungi Janish, menyodori mikrofon dan alat perekam, serta mendesak dengan berbagai pertanyaan.
“Apakah Anda sudah lapor polisi perihal teror kado?”
“Apakah Anda mendapat kado misterius lagi?”
“Lalu di mana suami Anda sekarang?”
“Benarkah kasus kado ini sempat membuat Anda dan Baron Prawiratama terlibat cekcok mulut?”
Tak satupun dari wartawan itu mendapat jawaban. Janish yang masih dikelilingi pencari berita tampak memilih bungkam. Meski pertanyaan yang dilemparan makin menyentil nurani, meski badannya makin terdesak ke sudut, Janish tetap diam.
Perempuan berambut sedada itu baru bisa bebas ketika petugas keamanan turun tangan. Tanpa mengucapkan terima kasih, Janish menghampiri lift. Saat ia menoleh ke arah Chacha, ia mengepalkan tangan dan mengetatkan rahang. Mimiknya seakan memaki, woi, kacung bohai, bisa jalan lebih cepet, nggak?
“Lambat banget, sih, Cha!” sentak Janish ketika asistennya menghampir sambil terengah-engah. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka. Janish masuk, menyuruh Chacha menekan tombol, kemudian diam lagi.
“Yu mau makan apa buat icip-icip malam?” Chacha membuka perbincangan ketika mereka sampai di lantai sepuluh. Sambil menyiapkan kartu akses untuk membuka pintu, ia kembali menanyakan hal serupa.
“Malam ini gue pengin tidur sendiri,” kata Janish setelah masuk ke apartemen.
“Memangnya yu sama eyke pernah bobo bareng?” kecap Chacha mencoba bergurau.
“Sekarang lo keluar dari sini,” Janish bicara, Chacha melotot. “Dan besok jemput gue lagi.”
“Yu ngomong apa, sih, Jan? Eyke bingung.”
“Dasar otak mampet!” Janish mendengus geram lalu memelototi Chacha. “Intinya, malam ini gue mau sendirian. Lo cari hotel atau apaan kek, buat tidur.”
Chacha ingin menukas tapi sang majikan sudah mendorongnya keluar, lalu menutup pintu tepat di ujung hidung. Sontak Chacha merasa panas hati. Padahal beberapa bulan terakhir ini, ia begitu bebas memakai apartemen. Memang tempat itu bukan miliknya. Ia hanya menempati selama Janish di rumah Hangga. Tapi tetap saja bikin jengkel!
Selama menyusuri koridor, lelaki gemulai itu mengomel, “Duh, Gustiiii. Kuatin eyke buat nggak nyikat itu jalang. Yang kuat kamyu, Cha. Yang kuaaat.”
Sementara Chacha yang kini memasuki lift, di dalam kamar, Janish sedang merebah sambil menutup mata. Dengan posisi begini, setidaknya ia bisa menahan emosi yang dirasakan sejak Baron membatalkan agenda janjian tanpa keterangan.
Dasar manusia barbar nggak punya otak! batinnya sambil meremas seprai. Ia membayangkan bahwa apa yang dicengkeram sekarang adalah muka lelaki itu. Nggak keluarga si dokter, nggak si Keparat, nggak Darius, nggak Baron, semua lelaki memang bangsat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficción GeneralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...