Keesokan harinya Janish bangun lebih pagi. Sebelum matahari bertahta, kedua matanya telah terbuka. Nyawanya sudah terkumpul. Semangat menghadapi haripun membumbung bak roket. Tumben sekali.
Dalam posisi masih telentang, Janish meraba permukaan kasur di samping. Alisnya langsung naik manakala rasa dingin yang menerpa. Dan begitu ia memastikan dengan menoleh ke sana, ia semakin heran. Benaknya bertanya, mana si Barbar?
Tanpa menambah kalimat bersoal, Janish beringsut. Sambil menguap dan merentangkan kedua tangan, ia berjalan keluar kamar.
Suasana masih benar-benar sepi. Tidak ada suara apapun kecuali arus listrik di dalam alirannya. Ruangan di lantai satu pun nampak masih gelap, hanya beberapa ruangan yang menyisakan lampu. Salah satunya kamar Rio-Kirana, juga dapur di sudut rumah.
Ketika Janish mendekati dapur untuk mengambil segelas air, ia baru sadar kalau orang pertama yang membuka mata di rumah ini bukan dirinya. Mbok Tati dan Mang Imron, mereka orangnya. Lewat pintu yang terbuka, Janish mendengar suara keduanya. Mereka sedang asyik membicarakan sesuatu. Dan karena nama Janish baru saja disebut, si empunya nama otomatis menghentikan langkah.
“Kadang saya mah nggak ngerti sama mereka. Kalau lagi berantem, udah kayak Russia dan Amerika. Tapi kalau akur, pamer mesra terus,” ucap Mbok Tati. Mendengar suaranya, seketika Janish berdecak: wanita, siapapun dia, dalam satu hari pastilah ada agenda bergosip.
“Kadang saya juga mikir, mereka ini beneran saling cinta atau nggak.”
“Kok, kamu mikir begitu, Tat?” tanya Mang Imron. Yang kebetulan pagi ini menjadi partner gosip. Dengan disuguhi teh manis hangat dan pisang goreng, siapa yang tidak betah ngobrol dengan Mbok Tati.
“Masa Mas Baron ngebangunin Non Janish pake kaki. Disepak-sepak gitu. Woi bangun-bangun. Begitu katanya. Terus saya sempet nguping, ngomongnya gue-lo. Nggak ada sapaan sayang sama sekali.”
“Saya mah percaya aja mereka saling cinta," tukas Mang Imron sambil mengunyah pisang goreng. "Pertama, Non Janish nerima apa adanya keadaan Mas Baron. Sebagai orang kekinian, Non Janish pasti tahu kalau Mas Baron pernah dipenjara. Tapi dengan baiknya, Non Janish nerima aja tanpa meduliin masa lalunya."
Mang Imron menjeda cerita dengan seruputan teh manis di ujung bibir.
"Kalau dilihat dari sisi Mas Baron juga sama, Tat. Walaupun kelihatannya garang, Mas Baron itu kadang merhatiin hal kecil tentang Non Janish. Contohnya waktu Non Janish mabuk kemarin. Pas saya bawa Non Janish pake mobil, dengan sigapnya Mas Baron ngiringin pake motor. Kayak penjaga gitu selama di perjalanan. Belum lagi pas udah nyampe rumah, Mas Baron gendong Non Janish ke kamar, yang notabenenya di lantai dua.”
“Iya, sih.” Mbok Tati mengangguk-angguk. Namun, selang lima detik ia langsung berkata, “Tapi kamu ngerasa nggak sih, kalau Mas Baron juga naksir Nyonya? Kayaknya kalau sama Nyonya, Mas Baron itu kelihatan beda.”
Sebelum Mang Imron menjawab, Janish memberanikan diri masuk ke dapur. Seketika suasana senyap. Baik Mbok Tati dan Mang Imron kelihatan mematung salah tingkah.
"Pagi, Mbok. Pagi, Mang," sapa Janish sambil melangkah ke rak gelas. Ia tahu kedua manusia di hadapannya merasa tercekik dengan kehadiran yang tiba-tiba. Padahal ia sudah bersikap seakan dirinya awam. Tidak mendengar apapun gosip mereka.
Suasana masih belum berubah ketika Janish mengisi gelas dengan air. Pun manakala ia meneguk benda cair menyegarkan itu tenang-tenang. Mbok Tati dan Mang Imron seperti tersihir. Keduanya bungkan. Tidak menghasilkan obrolan seperti tadi.
"Kalian tahu Baron ke mana, nggak?" tanya Janish sambil menaruh gelas kosong di meja.
"Mas Baron ke rumah sakit," jawab Mang Imron, yang sebenarnya masih gugup. "Hari ini Nyonya pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficción GeneralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...