“Cha, ambilin gue minuman dingin!” teriak Janish di ruang tengah. “Chaaaaa!”
Kalau air muka Janish sudah sekeruh ini, Chacha dilarang telat satu mili sekonpun. Lantas dengan terburu-buru, pria gemulai itu menuju dapur. Ia mengambil sebotol minuman, lalu melesat kurang dari lima detik.
“Cahyono goblok, masak iya gue harus minum ini?” kata Janish ketika asistennya menyodorkan jus kaleng.
Tanpa tedeng aling-aling, ia melemparkan saripati instan itu dengan marah. Seketika suara tubrukan kaleng dan lantai membahana. Ubin putih tertimpa cairan kuning. Aroma jeruk menguar. Semut-semut siap menerjang.
“Aduh, Jan, bisa nggak sih nggak seenaknya begindang?” keluh Chacha. “Eyke capyun sama yu.”
“Lo gue gaji buat jadi babu, Cha. Nggak usah protes!” geram Janish. “Sekarang bawain gue minuman lain!”
“Eyke belum sempat belanja dari kemarin.”
“Ya udah, tunggu apa lagi? Cepetan belanja!”
Setelah mengelus-elus dada dengan sabar, Chacha lantas beringsut. Tapi belum sempat posisinya berpindah dua langkah, gertakan Janish mengiterupsinya.
“Bersihin ini dulu, dong!” kata Janish seraya menunjuk tumpahan jus kaleng.
Sekali lagi Chacha mengelus dada. Ia yakin sekali mood Janish hari benar-benar kacau. Bukan saja adat tukang nyuruhnya berkembang dua kali lipat, ia pun kelihatan uring-uringan sejak pagi. Alhasil, semua kerjaan berantakan. Salah satunya tadi. Ketika secara mendadak, ia ingin pulang padahal ia harus meneruskan adegan untuk iklan kosmetik.
“Gue capek! Ngerti nggak, sih?” bentak Janish ketika salah satu kru mengejarnya di tempat parkir.
“Nggak bisa gitu dong, Jan. Semuanya udah terjadwal.”
“Gue nggak peduli. Pokoknya gue mau pulang!” Dengan kurang ajar ia menghampir mobil lalu menyeru pada Chacha, “Bukain pintunya, Cha! Cepetan! Panas banget di sini.”
Kalau Janish bukan model papan atas, barangkali kru tadi akan menendang mukanya. Tapi apa mau dikata, bosnya menginginkan Janish yang menjadi bintang iklan. Apapun yang terjadi. Katanya, kalau mereka memakai Janish, tim marketing tidak perlu susah-susah memikirkan cara menjual produk. Dengan jumlah penggemar Janish yang fantastis, produk pasti laku keras.
“Yu sebenernya kenapose?” tanya Chacha sekembalinya dari supermarket. Ia yang sudah ditelpon Janish langsung meluncur ke TKP. Padahal ada banyak potongan harga di sana. Tapi daripada rumah ini kebakaran dilalap amarah, mau tak mau Chacha pun mengembalikan barang-barang diskon yang siap digondolnya.
“Capek sama kerjaan?”“Nggak usah nanya-nanya bisa, nggak?”
“Masalahnya, dari pagi adat yu bikin semua kerjaan kacau.”
“Lo gue gaji bukan buat banyak omong. Udah diem, deh!”
Chacha mengangkat bahu. “Atau jangan-jangan, karena Mas Hangga?”
“Kenapa Mas Hangga?”
“Lho? Bukannya minggu lalu yu udah tahu?”
Janish memalingkan muka. Dalam hati ia berdoa semoga IQ Chacha masih tengkurap, sehingga ia tak menyadari adanya akal bulus. Waktu itu Janish memang meminta Chacha mengosongkan jadwal, ia beralibi hendak menjenguk abangnya. Tapi sampai waktu melompat ke beberapa hari, wajahnya belum juga menghadap sang kakak.
“Jadi beneran gara-gara itu?” tegur Chacha.
"Hmm, ya." Terpaksa Janish mengiyakan.
"Terus Mas Hangga sakit apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
General FictionBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...