Tiga hari berlalu.
Meski saat ini kesulitan bergerak akibat luka tembak, setidaknya Baron berhasil melewati masa kritis. Butuh tiga jam lebih untuk dokter menanganinya malam itu. Selain kekurangan banyak darah, timah panas itu nyaris mengenai ginjal. Dokter yang mengikhtiarkan keselamatan Baron mengaku kagum sebab pasiennya mampu bertahan padahal keadaannya cenderung menurun selama tindak darurat. Pasca operasi pun tidak menunjukkan kemajuan. Dia seperti terlelap untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Pagi tadi Baron baru sadar dari tidurnya. Ia tampak bingung kenapa bisa ada di kamar inap. Bahkan seandainya bisa diterjemahkan lebih jauh, ia bingung kenapa masih ada di dunia ini. Seingatnya, ia sudah berpamit pada seseorang. Menembus suasana pekat nan sunyi menuju satu cahaya. Kini ia tahu kalau semua yang dirasakannya hanya mimpi.
Orang pertama yang dilihatnya ketika siuman adalah wanita nomor satu untuk hidupnya——alias sang ibu. Hanya berjarak tiga detik, kesadaran segera menggiring bayangan Janish ke dalam benak. Dengan lisan yang terucap patah-patah, ia mengucapkan nama perempuan itu.
"Indok nggak tahu dia di mana. Ketimbang istrimu, iparmu yang rajin ke mari," jawab ibunya. Wanita ini langsung meluncur seorang diri dari Makassar begitu tahu anak ketiganya terciprat kasus. Ia menangisi, menunggui, dan mendoakan anak bungsunya. Seandainya tidak diingatkan Shanira, wanita ini pasti lupa makan dan istirahat.
"Kapan terakhir Janish ke mari?"
"Waktu selesai operasi. Setelah itu cuma nanya lewat hape." Ibunya Baron geleng-geleng kepala. "Indok tahu dia itu selebriti. Tapi masa iya suami sendiri nggak diperhatikan?"
Ada perasaan kecewa saat kenyataan itu harus diterima Baron. Tapi ia pun sadar kalau Janish pasti punya alasan kenapa jarang datang. Perempuan itu pasti sibuk dikejar banyak pihak. Polisi dan wartawan, mereka salah duanya. Berdasarkan tayangan televisi, diberitakan kalau Janish sedang fokus dimintai keterangan oleh polisi.
Hanya melalui acara gosip Baron bisa mengetahui kabar perempuan itu. Di pukul sepuluh pagi ini, ia bisa menonton perkembangan kasusnya. Dalam tayangan, terlihat Janish disodori banyak mikrofon. Lengkap dengan kalimat tanya.
"Ada kabar kalau Janish mau pindah agensi. Benar atau tidak?"
"Terus bagaimana kabar Baron Prawiratama sekarang?"
"Dengar-dengar, ada sangkut pautnya juga dengan Darius. Mohon penjelasannya, ya, Jan."
Janish yang memakai kacamata hitam tidak menjawab. Bahkan senyum pun tidak. Dengan dibantu penjaga keamanan, perempuan berambut hitam berkilau itu masuk mobil. Meninggalkan serangkaian kebingungan yang justru membuat spekulasi tanpa justifikasi.
Di hari berikutnya, Janish juga tidak muncul di rumah sakit. Ibunya Baron semakin uring-uringan mendapati kebenaran itu. Ditambah yang membesuk malah Shanira, respeknya pada Janish mulai dipertanyakan. Ia yang awalnya bangga mempunyai menantu selebriti, berubah sentimen.
"Ambok beneran nggak akan ke sini, ya," Baron mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ambok yakin kamu nggak akan kenapa-napa." Perempuan itu geleng-geleng kepala. "Dikiranya ketembak pistol-pistolan air kali, ya."
Baron ikut geleng-geleng kepala. Walau ibunya bilang kalau sang suami seperti menyepelekan apa yang terjadi pada anaknya, Baron yakin si tukang tempeleng itu pasti mendoakannya juga. Pria yang menjadi ayahnya itu cuma tidak mau kelihatan lemah dengan menangis dan meratap.
"Tapi Indok masih nggak paham sama jalan pikiran istrim ... "
"Indok belum makan dari pagi," potong Baron segera. "Mau makan sekarang? Saya antar keluar, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Fiksi UmumBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...