Pacaran.
Eh Mbak, udahan dulu ya. Aku mesti pemotretan.
Janish mengusap wajah dengan frustrasi setelah membaca kalimat tersebut. Pesan yang dikirim pada kakak iparnya itu kini terasa mencekik hidup-hidup. Tak pelak perang hati dan otakpun berkecamuk. Setengah mengimbaunya untuk tetap tenang, sedang sisanya merongrong dengan segala ejekan.
Makan tuh si Barbar! Emangnya lo yakin semua bakal sesuai rencana? Seperti itu bunyi cercaan yang dilemparkan kewarasannya. Karena kalimat tadi mengiang tanpa henti, Janish menjadi kesal. Ia lantas mematikan ponsel, kemudian mengubur benda pipih tersebut ke dalam tas.
Dan sekarang, ia merasa gerah padahal ia berada di ruangan ber-AC. Darahnya yang menggelegak membiaskan rasa panas di sekujur tubuh. Kepala, telinga, wajah, tenggorokkan, perut, dan pastinya ... hati.
“Ambilin gue minum, Cha!” titahnya pada sang asisten. Ketika dilihatnya lelaki setengah matang itu beringsut, ia mengendorkan dressnya. Sekadar mengurangi ketidaknyamanan yang memeluknya sejak Mark melerai perdebatan tadi.
“Mana sedotannya?!” bentaknya saat Chacha kembali dengan sebotol minuman.
Lelaki berkaos ketat warna pink itu menuju salah satu kru, meminta sedotan, dan kembali pada majikannya.
“Bukain botolnya!” Masih dengan nada memerintah, Janish bercuap. “Kipasin gue, dong! Panas banget sih, di sini!”
Chacha sudah terbiasa dengan Janish yang selalu menyuruh ini-itu. Sebagai bawahan, mana berani ia memprotes. Jadi meskipun Janish menitahnya agar memberi kipasan lebih kuat, lalu memintanya memesankan makan siang, juga menginstruksi supaya jadwalnya malam ini dikosongkan, Chacha mengangguk dengan sabar.
“Yu sama Mas Bom sebenarnya kenapose?” tanya Chacha ketika ia punya kesempatan bicara. “Tiap kali kerja bareng, hasilnya pasti kacau begindang.”
Janish tak langsung menjawab. Ia menyodorkan botolnya lalu mengisyaratkan agar Chacha membuangnya ke tong sampah. Lalu sekembalinya sang asisten, ia menjulurkan lengan kiri. Entah minta dipijat atau ingin kukunya dirapikan, hanya Chacha yang paham.
"Mijitnya yang bener dong, Cha!" sahut Janish. "Lo mau bikin tangan gue merah-merah?"
Chacha mengangguk gemas. Ia menekan-nekan lengan majikannya lebih pelan.
"Cahyono, Tolol! Lo ini mijit atau colek-colek, sih?"
Chacha masih sabar. Sambil mengatur napas, ia kembali memijat majikannya. Dalam hati ia merutuk, untung yu kaya! Kalau nggak, udah eyke pentrung kepala yu!
Janish memang model yang bersinar. Namanya melambung di deretan bintang ternama. Permintaan kerja sama tak pernah berhenti barang seharipun. Belum lagi penggemarnya bejibun. Dari Sabang sampai Merauke, siapa sih yang tidak tahu Agynta Janish?
Ia memang idola semua kalangan. Wajahnya menawan, penampilannya menggiurkan, dan bakatnya bukan isapan jempol.
Semua orang tahu jatuh bangun karirnya. Di awal kemunculan, Janish datang sebagai juara dua kontes Diva Angkasa. Sebuah ajang pencarian bakat yang diadakan agensinya sekarang, Angkasa Entertainment.
Memang statusnya sebagai runner up tidak langsung menerbangkan namanya, namun di tahun berikutnya ia kembali muncul. Kali ini di iklan minuman bervitamin. Senyumnya yang berseri-seri, lenggak-lenggoknya yang aduhai, dan penampilannya yang enak dilihat mampu mempengaruhi penonton agar membeli produk sebanyak mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficção GeralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...