Seminggu berlalu.
Meski kasus Janish dan Darius masih diperbincangkan, animo masyarakat tidak begitu terhisap lagi. Baik Darius maupun Angkasa Entertainment ——selaku pihak penanggungjawab Janish, keduanya tidak memberi pembuktian apapun untuk menyanggah pernyataan lawan. Yang dalam hal ini, menimbulkan kecurigaan khalayak bahwa semua ini hanya gimmick semata.
Agensi Janish merasa kalau konferensi pekan lalu lebih dari cukup untuk sebuah kejelasan. Adapun upaya tambahan untuk meredakan problematika, mereka sengaja menunda beberapa proyek yang melibatkan Janish. Iklan, fashion show, hingga syuting video clip, semua diberhentikan untuk sementara waktu.
Awalnya Janish ingin mengamuk ketika Mark menginfokan hal tersebut. Namun setelah ia merenung, mungkin ada baiknya ia istirahat dari huru-hara dunia hiburan. Karena meski serangan verbal perlahan mereda, beberapa orang masih begitu jijik melihatnya.
Seperti tiga hari lalu, ketika ia baru selesai makan dengan Baron. Tanpa diduga, seorang wanita paruh baya mendatanginya lalu melabrak. "Dasar nggak bermoral!" bentaknya dengan bola mata nyaris keluar. Seandainya saat itu Baron tidak bergerak refleks, siraman air wanita itu pasti mengenai wajah Janish.
Dari kejadian itu Janish yakin, ancaman terhadapnya tidak pernah berhenti. Si peneror alpa, datanglah orang-orang sok tahu. Makin pening kepala Janish dibuatnya. Mungkin satu-satunya cara agar ia bisa mengatasi hal tadi adalah istirahat, sesuai saran Mark.
Untuk mengisi waktu peristirahatan tersebut, Janish meminta izin pada Mark untuk pergi ke suatu tempat. Sendirian. Tanpa pendamping. Dan kalau bisa, tidak diketahui siapapun.
Mark mengiyakan saja. Namun ternyata, hal itu justru membuat Baron naik pitam. Apalagi kenyataannya, dialah yang paling terakhir diberi tahu. Itupun tidak langsung oleh Janish, melainkan Mark.
“Kenapa lo izinin?” sahut Baron sambil beringsut dari sofa di apartemen. Telepon genggam yang sedang digunakannya untuk berbicara dengan Mark nyaris ia lemparkan.
“Dia yang mau,” jawab pemuda berkacamata di sambungan jaringan. “Dia juga minta supaya gue nggak bilang dia ke mana. Terkhusus sama lo.”
Anjiiiir! Teriak Baron dalam hati. Buku-bukunya seketika memutih ketika mengepalkan tangan. Badannya benar-benar terasa panas.
“Menurut gue, nggak masalah dia liburan sendiri. Dia butuh waktu untuk merenung. Juga istirahat,” sambung Mark.
"Ya tetep aja bahaya!"
"Lo khawatirin dia, Bar? Tumben. Kerasukan apa, nih?"
Baron mengembus napas geram.
"Atau jangan-jangan, lo mulai naksir?" Mark terdengar tergelak. "Nggak nyangka kalau beneran naksir. Kalian dua orang paling gila yang pernah gue kenal. Hahaha. Harusnya gue sadar, waktu dulu kalian kena skandal kencan lalu akhirnya ngumumin bakal nikah, itu semua cuma rekayasa. Padahal gue tahu banget kalian itu paling nggak bisa kerja sama. Tapi tetep aja gue kena tipu. Entah siapa yang goblok di sini."
Baron diam saja, Mark lagi-lagi mengikik.
"Nah, terus sekarang gue kepo. Apa rencana lo setelah ini? Tetep ngejalanin kepalsuan sampai benih cinta beneran tumbuh? Atau berpisah, tapi nama kalian langsung ancur?"
"Bukan urusan lo."
"Ya jelas urusan gue, lah," tukas Mark. "Kalau sampai kalian gegabah, AE juga yang kena. Pokoknya suka nggak suka, mulai sekarang, gue ikut andil dalam skenario kalian. Apapun yang mau kalian lakuin, gue harus tahu."
Baron mendengus. "Kita tunda dulu obrolan ini," katanya mencoba mengalihkan topik. "Jadi kapan Janish balik?"
“Paling lama minggu depan katanya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficción GeneralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...