Layu Sebelum Berkembang

12.9K 1.6K 413
                                    

Suatu hari, di beberapa tahun lalu.

Di perjalan menuju sekolah, Janish sedang memandangi foto yang dijepretnya kemarin siang. Gambar yang mengambil posisi langit dari perspektif bawah itu amat disukainya. Dedaunan di sudut kiri, tampak berusaha menjangkau serabut kapas di pertengahan gambar. Langit biru yang mendominasi latar seperti membiarkan mereka terpisah. Seperti tidak mau ketinggalan, semburat sinar matahari menyilau di balik awan.

Yang di bawah akan naik. Tapi yang di atas, tetap berpijak. Ia mengetik kalimat tersebut sebelum menekan tombol unggah. Ada makna tersirat di sana. Dan hanya ia yang paham.

Tahun ini, media sosial berlogo F dengan warna biru baru saja merambah secara masif. Di kalangan teman-temannya, situs ini amat ramai dibicarakan. Janish yang sudah diberi ponsel oleh sang ayah tidak ketinggalan tren. Ia punya akun untuk bermedia sosial.

Namun berbeda dengan kawan-kawannya, tujuan Janish punya akun bukan untuk mencari kawan, atau memamerkan setiap kegiatan, atau berkeluh kesah ala-ala warganet. Ia membuat akun hanya iseng-iseng. Kegiatan medsosnya lebih didominasi unggahan foto dilengkali kalimat-kalimat tersirat. Ia pun sengaja tidak memakai nama asli. Hanya J, dengan foto profil bergambar granat keramik.

“Kita sampai!” Suara pemuda di balik kemudi membuat Janish memasukkan ponsel ke saku. “Diperiksa dulu, Jan. Takutnya ada yang ketinggalan.”

“Iya, Mas.”

“Sayang, yang semangat, ya, sekolahnya,” ucap pria yang duduk di kursi penumpang depan. Seperti biasa, meski suaranya berat, Janish bisa merasakan kelembutan dari pengucapannya.

“Iya, Dok.”

“Kok, manggilnya masih Dok?” timpal wanita paruh baya di sebelah Janish.  “Ingat obrolan semalam, kan, Sayang?”

Janish tidak mungkin lupa. Ia hanya belum terbiasa. Semalam, pembicaraan penting itu digelar di ruang keluarga. Dokter Grada, istrinya, dan Hangga menjabarkan segalanya dengan rinci. Tentang pengajuan adopsi, juga hubungan mereka ke depannya. Namun jika ditanya apakah Janish senang, maka ia akan menjawab tidak tahu. Karena memang begitu keadaannya.

Sejak pengobatan kejiwaan itu selesai, Janish merasa ada sesuatu yang janggal. Ia memang mulai bisa menerima kenyataan mengenai orangtuanya, tapi sakitnya belum hilang. Hari-harinya juga terasa sunyi, gelap, dan menjemukan.

Entah hanya perasaan atau apa, Janish merasa di dalam tubuhnya terdapat 'sesuatu' yang sangat gemar menyedot segala perasaan. Yang paling sering, kebahagiaan. 'Sesuatu' itu seakan tidak pernah membiarkan Janish senang hati barang sesaat saja. Ia seperti membelenggu Janish dalam lembah kedukaan. Mengajak Janish untuk selalu pesimis.

Di sebulan terakhir, 'sesuatu' itu memberangus lebih ganas. Ia yang diterima di SMA favorit, ia yang dibelikan ponsel, ia yang yang dimanja oleh keluarga Dokter Grada, sama sekali tidak merasa bahagia. Hanya hampa, sunyi, dan kekosongan yang memenuhi relung hati.

Janish tahu, ada yang salah di di dirinya. Ada yang mesti dilakukan supaya 'sesuatu' itu enyah. Dengan membunuh diri. Mungkin saja.

Iapun mulai berpikir mengenai bunuh diri. Semakin ia mencari tahu di internet, semakin tertarik untuk melakukannya.

Bumi akan tetap berputar, matahari masih terus bersinar, dan kehidupan tidak akan berubah meski aku mati.

...

Aku tidak pernah minta untuk dilahirkan, jadi kenapa aku harus menjalani kehidupan sialan ini?

...

Pada akhirnya manusia memang akan mati, jadi kenapa harus dinanti-nanti?

...

Ayah, Ibu, mereka sudah menungguku.

Pendamba Jari ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang