"Meski ini cuma pernikahan status, lo tetep nggak boleh gegabah. Gue nggak mau denger nama Shanira disebut-sebut. Jadi mulai sekarang, hapus semua jejak lo sama dia. Termasuk dua foto instagram lo yang ada dianya. Hapus itu!"
Baron mengepal tangan kuat-kuat saat mendengar suara Janish lewat ponsel. Ia kira, sepisahnya mereka dari rumah sakit, kadar memerintah Janish bisa lebih diantisipasi. Ternyata sama saja. Si Ular itu terus merongrongnya dengan segala titah yang akan memperhalus skenario mereka.
"Oh iya, satu lagi," sambungnya ketika Baron sudah berada di lift apartemen. "Mulai sekarang, jangan terlalu deket sama Aster. Repot kalau sampai ada paparazzi yang moto lo berdua padahal nikahan kita udah makin deket."
Janish masih bicara namun Baron sudah muak. Lelaki berbadan tinggi itu menjauhkan ponsel dari kuping, menunggu lift-nya merangkak, kemudian keluar setelah destinasinya tercapai. Ketika ia menjauhi lift, Janish masih bicara ini-itu. Tentu dengan nada sok, dengan suara berkuasa.
"Lo paham kan, Barbar?"
Baron mendekatkan ponsel ke kuping, juga mendekatkan kaki ke pintu bertuliskan 405. "Iya," jawabnya.
"Bagus! Kalau gitu, kita sambung nanti. Satu jam dari sekarang, gue bakal meriksa linimasa instagram lo. Awas kalau belum dirapihin!"
Panggilan berakhir dengan bunyi tutut-tutut.
Baron menyaku ponsel kemudian mengeluarkan kunci. Tapi belum sempat benda berbahan besi itu masuk lubang, ia malah tertegun. Pintu terbuka! pikirnya. Itu berarti, Aster ada di dalam.
Tebakannya benar. Ketika ia menginjakkan kaki di ruang tamu, gadis itu sudah ada di sana. Ia yang sedang memainkan gitar langsung berhenti dan memandang ke arah Baron.
"Hei, As," sapa Baron seraya mendekat. Ia tak heran mengapa Aster ada sini. Tempatnya berdiri memang apartemen milik gadis itu. Karena Aster lebih sering menghabiskan waktu di luar dan sekeluarnya Baron dari penjara belum ada tumpangan, Baron dibolehkan tinggal kapanpun sesuka hati.
"Langsung aja, Bar. Gue ke sini untuk minta penjelasan tentang lo dan Janish."
Baron tak langsung menjawab. Ia menggaruk tengkuk beberapa saat. Juga mengatur jalan otak agar Aster memahami masalah krusial ini.
*
*
*Shanira belum bicara apa-apa mengenai Baron kepada Hangga. Selain merasa tak pantas, suaminya pun tidak bertanya. Tidak pula merasa curiga.
"Yang Mas tahu, Janish nggak mudah jatuh cinta," kata Hangga ketika Shanira duduk di sebelahnya. Sejak Janish dan Baron meninggalkan ruangan, pria yang di bagian pelipisnya mulai disebari bercak merah itu tak henti mengucapkan syukur lantaran adiknya sudah mendapat pendamping. "Jadi pasti, Baron itu laki-laki spesial buat dia."
Shanira hanya tersenyum. Jika subjek yang diketahui Hangga adalah Janish, maka bagiannya ialah Baron. Shanira tahu, Baron pun tipe manusia yang susah mencinta. Jadi kalau sekarang si Tuan Bom melabuhkan hati, maka dapat dipastikan Janish itu istimewa untuknya.
"Mas harap, ketika Janish nikah, Mas masih bisa jadi walinya," Hangga menyambung. Ia menatap langit-langit sambil tersenyum pahit kemudian berkata lagi, "Kamu doain ya, Sha."
Shanira mendekatkan wajah ke hadapan suaminya. Ia mengusap-usap rambut Hangga sambil berkata, "Doa saya untuk Mas nggak pernah lepas."
"Makasih." Hangga menoleh ke wajahnya sambil tersenyum, kemudian meraih tangan Shanira. "Kalau udah waktunya Mas perg ... "
"Apapun yang terjadi, saya akan dampingi Mas," potong Shanira. "Kita pasti bisa ngelewatin semua ini. Mas harus percaya. Mas juga mesti semangat. Apalagi sekarang yang nunggu Mas sembuh nambah satu. Dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficção GeralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...