“Kita pamit dulu, ya, Jan.”
Di depan pintu rumah, Janish mengangguki perkataan Melia. Dengan Baron yang sigap berdiri di sampingnya, perempuan berambut hitam berkilauan itu menunggu pasutri di hadapannya menuju mobil yang terparkir. Ia mengantar kepergian mereka dengan lambaian tangan. Juga untaian senyum memikat.
“Kelihatannya kalian akrab banget,” ucap Baron ketika hanya dirinya dan Janish yang tersisa di selasar rumah. Untuk suatu alasan, Janish tahu kalau yang diucapkan Baron merupakan ejekan. Karena selain melemparkan senyum ledekan, picingan mata Baron pun mengartikan dirinya sedang berironi.
“Mereka beneran sahabat lo?”
“Terus apa kalau bukan sahabat?”
Baron mengendikkan bahu. Sambil melipat tangan di dada, ia kembali bercuap, “Gue rasa kalian penuh kepalsuan.”
Janish tidak mungkin lupa kalau si Tuan Bom adalah penganalisa mimik yang baik. Meskipun bodoh, Janish akui kalau tebakan Baron soal kepalsuan selalu tepat sasaran. Sayang sekali ketololan Baron masih mendominasi otak. Seandainya tidak, barangkali lelaki berewok itu akan tahu lebih jauh soal kepalsuan persahabatan Melia-Janish-Darius.
“Heh, mau masuk nggak?” tegur Baron ketika perempuan di sampingnya masih asyik menatap halaman lurus-lurus. Karena tidak ada jawaban, Baron membalikkan badan kemudian berlalu menuju rumah.
Janish sempat menoleh ke arah kepergian Baron, tapi hanya tiga detik. Dalam waktu super singkat itu, Janish semakin yakin kalau dirinya benar-benar sudah gila. Penampakan Baron yang sedang berjalan ternyata oke juga, begitu pikirnya. Dengan badan tinggi tegap, langkah kaki lelaki itu terasa mantap. Bahu lebar disambung punggung kokoh terpasang sempurna di sana. Ditambah bokong yang cukup seksi untuk ukuran lelaki, juga paha maskulin dan betis tegak yang dilindungi jins biru tua, sebentuk pemandangan Baron dari belakang patut diperhitungkan.
See? Janish benar-benar sudah gila, bukan? Dalam waktu tiga detik ia bisa melukiskan proporsi badan Baron dengan kata-kata menggelikan. Ini jelas sangat aneh!
Janish memijat pelipis sambil mengatur napas. Sekarang ia memikirkan perihal cemburu seharian ini. Janish memang tidak menampik akan hal itu. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, atas dasar apa?
Kata orang, cemburu tanda cinta. Tapi itu mustahil. Cinta katanya? Tidak mungkin! Janish hanya mencintai Darius. Harusnya para pakar memperbaiki ungkapan cemburu tanda cinta menjadi cemburu tanda ketidakwarasan. Iya, tidak waras!
Entah sudah berapa lama Janish termenung di selasar. Lama-lama udara malam mulai berani menusuk rusuk, sehingga mau tak mau Janish harus masuk. Dengan langkah terseok, Janish menarik kaki ke dalam rumah. Ruang tamu yang sudah dirapikan Mbok Tati, kamar Rio-Kirana yang mengeluarkan suara dua bocah itu, serta ruang makan yang tiada penghuni, dilaluinya begitu saja. Sadar kalau berjalan dengan kaki cedera cukup melelahkan, Janishpun menuju dapur untuk mengambil minuman.
Sebenarnya Janish bisa saja menyuruh Mbok Tati. Tinggal meneriakkan nama, lalu mengatakan ia haus, Mbok Tati yang sekarang entah di mana pasti bisa diandalkan. Tetapi memang aneh, Janish merasa punya keinginan untuk ke dapur sendiri. Instingnya seperti berbisik agar ia masuk saja ke ruangan berisi sumber makanan itu.
Dan ternyata, inilah maksud insting tadi. Ia ingin menunjukkan kalau kehadirannya baru saja mengacaukan adegan yang sedang terjadi. Yang pelakunya tak lain adalah Shanira dan Baron.
“Janish, Mbak ... ”
“Mbak kenapa?” potong Janish dengan wajah biasa saja, seakan mimik kaget Shanira bukanlah sesuatu yang patut dicurigai.
Ia tahu sang kakak ipar khawatir ada fase salah sangka di sini, tapi Janish lebih memilih berlagak tidak ada yang perlu dijelaskan. Sebab bagaimanapun, saat ini mereka berada pada situasi yang lumayan rumit. Di satu sisi, Baron pernah menjelaskan kalau pernikahannya dengan Janish hanya dilandasai untung-rugi. Tapi di sudut lain, Shanira belum pernah mendengar penjelasan itu langsung dari mulut Janish. Dan dilihat dari seperti apa sikap Janish pada sang suami, kebenaran dari penjelasan Baron seperti tersamarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
General FictionBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...