[#CookieJar 2/5]

18.8K 1.9K 164
                                    

"Kamu telat setengah jam. Abis ngerokok kan pasti?"

Baron memalingkan muka ketika Janish berkata demikian. Padahal lelaki berewok itu baru saja pulang. Eh, tahu-tahu sang istri sudah ada di depan pintu sambil melipat tangan di dada. Menginterogasi layaknya polisi terhadap tersangka.

"Kemarin bilangnya nggak akan ngerokok lagi," omel Janish. "Bacot doang nih jadinya?"

Baron menghela napas. Seandainya saja Janish paham kalau saat ini perasaan Baron sedang tidak dalam kondisi baik, barangkali masalah rokok ini tidak akan sedemikian penting. Baron akui, ia terlambat pulang karena merokok dulu di lobi apartemen. Entah insting Janish yang tajam atau napas Baron yang memang tercium asap, yang pasti lelaki berewok itu merasa apa yang dilakukan Janish membuat emosinya merangkak naik.

Seharian ini kesabaran Baron seperti diuji. Dimulai pagi tadi, ketika ia dan motornya diserempet mobil yang menyalip tanpa klakson. Lalu siangnya, yang mana ia harus menunggu model hampir tiga jam namun hasilnya sia-sia. Kemudian disambung ketika ia hendak pulang, mesin si Shaba mendadak ngadat. Rasa-rasanya, Baron hanya butuh satu percikan lagi agar dirinya bisa meledak.

"Cuma sebatang," kata Baron tatkala Janish masih menunggu jawaban. "Sepet banget kalau nggak ngerokok."

"Bohong!" sahut Janish. "Pasti bukan cuma sebatang. Ayo, ngaku!"

Jujur, Baron ingin sekali membentak. Meluapkan kemarahan hari ini. Sejak pagi, ia benar-benar menahan diri untuk tidak mengamuk. Saat motornya oleng, saat Liliana bilang ada model yang mengganti jadwal, dan saat si Shaba mogok, semua itu dihadapi dengan amat sabar. Tidak meledak sama sekali.

Sangat tidak nyaman memang. Baron bahkan tidak tahu apakah bisa bertahan atau tidak. Namun, satu hal yang pasti, ia ingat kata-kata ibunya semalam, saat ia memberitakan kehamilan Janish lewat telepon.

Dalam obrolan itu ibunya memberi dua pesan. 

1. "Mulai sekarang kau harus bisa kontrol emosi. Jangan ngelakuin sesuatu yang nggak pengin kau terima dari orang lain. Coba kaubayangkan Janish. Jika dia ada di posisi itu, dimaki dan dipukul orang, senangkah kau melihatnya?"

2. "Jangan sampai orang menyumpahi anak kalian gara-gara kelakuanmu, Baron. Sekali lagi, ingat anak-istri kalau mau mengamuk."

Atas nasihat itulah seharian ini Baron tidak sebarbar biasanya. Dan untuk meluapkan emosi yang tertahan, ia memilih rokok. Meskipun memang, lintingan tembakau itu sudah masuk daftar benda haram bagi Janish.

"Ya udah maaf. Tadi abis tiga batang," kata Baron pada akhirnya.

"Nah, kan?" Janish lalu menadah tangan. "Terus sisanya mana? Kamu pasti nggak beli ketengan, kan?"

"Tadi itu rokok sisa."

"Bener?"

Baron mengangguk.

"Janji ya, besok-besok nggak akan ngerokok lagi?"

"Iya."

Janish mengangguk puas. "Good!"

*
*
*

Malam, di hari yang sama. Baron belum terlelap sepenuhnya. Bukan saja karena merenungi sesuatu. Janish yang ada di sampingnya pun berkali-kali mengganti posisi tidur. Perempuan itu seperti tidak nyaman. Telentang, telungkup, menyamping, lepas selimut, semuanya tidak mampu membuatnya nyenyak.

"Yang," panggil Baron Janish yang membelakangi lantas memutar badan. Kini mereka saling berhadapan dengan posisi tidur menyamping. "Lagi mikirin apa?"

Janish tidak langsung menjawab. Tanpa harus bilang, Baron ternyata sudah tahu. Tumben peka.

"Mau makan sesuatu, ya?"

Pendamba Jari ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang