Janish meninggalkan Shanira dengan hati berdebar. Lututnya terasa bergetar setiap kali kakinya melangkah. Sedikitpun ia tidak mau menoleh ke belakang.
Sesampainya di luar dapur, bening yang sedari tadi ditahannya berhasil turun. Cepat-cepat Janish menyeka. Namun, air mata yang sedari tadi ditahannya itu berhasil mendesak keluar. Melongsor ramai-ramai. Membentuk sungai di pipi hingga akhirnya terjun dimakan gaya tarik bumi.
"Seperti yang pernah Baron bilang sama Mbak, kami menikah bukan atas dasar cinta," ujar Janish beberapa menit yang lalu. "Di antara kami ada perjanjian nggak tertulis, yang menjadi alasan kenapa kami memutuskan menikah."
Shanira diam membisu. Hanya memandang sambil menanti penjelasan selanjutnya.
"Interaksi yang Mbak lihat selama ini, entah di media atau langsung, kebanyakan palsu." Janish tersenyum pahit. "Tapi lama-lama aku sadar, Baron nggak seburuk pikiranku. Walaupun kasar dan barbarian, dia punya banyak alasan untuk dicintai. Nggak perlu kujelasin, aku rasa Mbak pasti tahu apa itu."
Shanira masih belum menjawab. Paham sekali ke arah mana obrolan ini selanjutnya.
"Niat yang buruk memang nggak akan berakhir baik," sambung Janish. "Tapi bagaimanapun, aku sama Baron udah terikat dalam pernikahan."
Shanira mengatur napas dengan tenang barulah menjawab, "Tadi kamu sendiri yang bilang tentang alasan pernikahan kalian, yang salah satunya adalah Mbak. Lalu apakah menurut kamu ini adil?"
"Selama Mbak nggak ngerasa dirugiin, aku rasa adil-adil aja."
Shanira memalingkan wajah.
"Mbak pasti berpikir aku egois," tuduh Janish dengan suara tegar. "Ya, aku akui itu. Aku juga sadar aku ini siapa."
Shanira bisa merasakan nada kesenduan di kalimat terakhir Janish. Adik iparnya itu memang menunjukkan wajah berkuasa. Namun matanya menyiratkan luka mendalam. Antara ketidakberdayaan dan keteguhan seakan larut dalam perpaduan kontradiktif. Di satu sisi, Janish seperti yakin bisa mencapai keinginannya. Tapi di sudut lain, ia pun seperi musafir yang bingung harus ke mana——berbuat apa.
"Mbak," panggilnya lagi. "Aku minta maaf kalau kata-kata ini agak kasar. Tapi aku perlu bilang, wanita terhormat nggak akan mengharapkan cinta dari suami orang, terlebih ipar sendiri."
Sisi sensitif Shanira telah tersentil. Perempuan itu mengembus napas lalu berbicara dengan tenang, "Kamu juga perlu tahu, wanita terhormat nggak akan mau dijadiin simpenan."
Mereka sama-sama diam dan saling tatap. Pancaran kedua kaum hawa itu hanya dipahami satu sama lain. Hingga waktu merangkak tiga detik, semua masih sama. Ketika jam bergerak dua sekon berikutnya, barulah salah satu dari mereka angkat suara.
"Aku rasa obrolan kita cukup sampai di sini." Janish bersiap pergi. "Untuk ke depannya gimana, biar waktu yang jawab."
Dan begitulah percakapan tadi terjadi.
Janish tidak mengerti kenapa sekarang malah menangis. Dibilang tersakiti oleh kata-kata Shanira tidak, merasa akan kalah telak pun tidak. Entahlah, hatinya hanya merasa sakit tak tertahankan.
Beruntung suara ponsel yang berdering menginterupsi sisi cengengnya. Buru-buru ia menghampiri meja makan dengan harapan Baronlah yang menelpon. Namun malang, yang muncul di layar pipihnya adalah nomor baru.
Janish menuruti perintah Baron untuk tidak mengangkat telpon dari siapapun. Jadi dibiarkannya saja nada dering menggema di tengah rumah ini. Tiga kali panggilan diabaikan, tiga kali pula alis Janish semakin terangkat. Siapa, ya? Pikirnya gamam. Ketika ponsel berbunyi untuk keempat kalinya, tangan Janish mulai bergerak. Namun belum sempat panggilan disetujui, sambungan sudah terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficción GeneralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...