Sedikit Pelajaran untuk Nona Ular

15.7K 1.7K 192
                                    

“Rumah sakit?!” Mata Shanira membulat tak percaya setelah mendengar pernyataan putra-putrinya.

Baron yang datang bersamanya nampak biasa saja. Tidak khawatir, apalagi peduli. Dalam hati ia bahkan berdumel, Benar-benar benalu si Hangga! Baru gue bonceng Shanira aja udah bikin kacau. Duh, kapan modarnya, sih?

“Sama siapa Ayah ke sana?” tanya Shanira senewen, membuat Baron semakin muak.

Ngapain sih, Shanira khawatir begitu?

“Mbok Tati,” jawab Rio.

“Sama Mang Imwon juga.”

“Ya ampun,” keluh Shanira masygul. “Terus sekarang mereka belum pulang?”

Kirana dan Rio mengangguk dengan wajah lesu. Kemudian mereka menceritakan bagaimana kejadiannya. Katanya, Hangga ditemukan tak sadarkan diri di kamar. Ketika keduanya memanggil Mbok Tati, ART itu refleks menyeru Imron——supir pribadi——agar segera mengantar ke rumah sakit. Karena terlalu kaget, Mbok Tati luput perhatian mengenai Kirana dan Rio. Sehingga dua bocah itu hanya bisa menangis sambil menunggu di depan rumah.

“Bunda, kok, Ayah sakit lagi? Kemawin bukannya udah sembuh?”

Kirana tergugu. Bahunya naik turun dengan cepat, tangisnya menyayat hati. Matanya terus mengeluarkan air. Hidungnya belepotan ingus. Wajahnya yang bulat semakin becek.

“Ki,” sang adik memanggilnya. Ia memeluk Kirana dan berkata, “Ayah oke. Ayah sehat.”

Shanira tahu, Rio sedang berusaha menghibur kakaknya.
Meski bocah ini tak mengeluarkan tangis, Shanira bisa merasakan kepiluan mendalam. Apalagi saat ia menoleh ke arahnya dan berkata, “Iya kan, Bunda?”

"Iya. Ayah pasti sehat." Shanira mengangguk sambil menggigit bibir. Ia merangkul kedua anaknya, lalu mengusap kepala mereka dengan keibuan. Maaf Bunda terpaksa ngebohong, Anak-anak, rintihnya dalam hati.

Semakin lama, keadaan Hangga memang semakin tidak baik. Dua hari yang lalu ia mengalami sesak napas hebat dan demam semalaman. Karena Hangga menolak dibawa ke rumah sakit, terpaksa Shanira menghubungi Dokter Fikra ——rekan sekaligus dokter yang menangani Hangga. Sejak ia tahu Hangga kena AIDS, ia telah berjanji akan siap sedia kapanpun tenaganya dibutuhkan. Sehingga meski saat itu jam menunjukkan pukul dua dini hari, pria bermata sipit itu langsung meluncur.

“Pneumonia Pneumocystis Carinii, Ngga,” katanya setelah selesai menangani. “Itu berarti, kamu harus dirawat.”

“Keadaanku masih cukup baik, Fik.” Setelah mengatakannya, Hangga batuk-batuk. “Lagipula kalau hasilnya sama saja. Untuk apa nyiksa diri?”

“Nyiksa diri gimana?”

“Kalau aku dirawat, kamu pasti mengajukan kemoterapi juga untuk ini.” Hangga menunjuk pelipisnya. Sarkoma kaposi yang ada di sana nampak lebih besar dari beberapa waktu lalu.

Fikra tidak tahu harus bicara seperri apa lagi pada Hangga. Rekannya yang digandrungi di bangsal anak itu tampak pasrah dengan keadaan. Tidak mau dirawat, tidak terlalu mengandalkan kekuatan medis. Memang HIV belum ada obatnya, tapi paling tidak harusnya Hangga memikirkan orang di sekitarnya. Istri, anak, adik, rekan, dan pasien yang merindukan kehadirannya.

Hangga mengundurkan diri dari rumah sakit sehari setelah Janish menikah. Ketika semua orang——kecuali Fikra—— kaget dan mengajukan apa alasannya, dengan lapang dada ia mengatakan dirinya terkena HIV.

Atas pengakuan itu, orang-orang terbagi menjadi dua. Pihak satu, kumpulan orang yang bersimpati, sedih, dan terharu. Mereka menabahkan Hangga agar tetap semangat sambil memeluk erat. Sedangkan pihak berikutnya, orang-orang yang menghindar karena takut ketularan. Mereka memang sedih akan nasib Hangga, tapi mereka hanya mengirimkan dukungan dari jauh. Mungkin bagi orang seawam mereka, HIV tetaplah penyakit pendosa——yang hanya dualami tukang seks atau pemakai narkoba.

Pendamba Jari ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang