Janish tahu ponselnya terus berdering, pertanda panggilan masuk. Namun untuk saat ini, tidak ada yang bisa menghentikan aksinya. Karena baginya, apa yang sedang ia lakukan, jauh lebih penting dari apapun.
“Mending diangkat dulu, Yang,” ujar Darius setelah melepas ciuman. Karena Janish terus menggeleng dalam dekapannya, sementara suara berisik itu masih memenuhi ruang, lelaki yang sedang bertelanjang dada itu mulai tidak nyaman. “Bentar aja. Hapemu ganggu banget.”
Pada akhirnya Janish menurut. Ia melepas pelukan lalu menghampiri tas di meja rias. Nama Baron muncul di layar namun dengan segera ditolaknya panggilan tersebut, lalu diketiknya pesan : gue di apartemen. Setelah memastikan mode suaranya menjadi silent, benda pipih itupun ia kubur ke dalam tas.
Janish kembali ke pangkuan Darius. Menenggelamkan wajah ke dada berbulu milik lelak itu. Menyalurkan impuls-impuls yang membuat Darius tidak akan mampu menolak persembahannya beberapa menit ke depan.
“Kamu agak lain, Yang,” ucap Darius ketika kepemilikannya diremas Janish. Ia mendesah sebentar kemudian memeluk Janish erat-erat. “Ada apa, sih?”
Janish menggeleng lalu menyembunyikan wajah. Ia remas lagi benda panjang yang kian menegang itu, ia nikmati setiap deru napas Darius yang membuat senyumnya terbit.
“Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Rius,” bisik Janish. “Ucapan kamu di perpisahan waktu itu nggak akan bisa aku lupain. Pokoknya kamu tenang aja, aku pasti kembali ke kamu.”
Darius mencium puncak kepala Janish lalu mengecup bagian kuping. Janish melenguh. Begitupun Darius. Lelaki itu merasa dunia ada di genggamannya. Sejak pagi, keadaan berjalan lebih baik daripada kemarin. Melia menerima maaf ——dan alibinya, mertua pun menarik ancaman tempo lalu. Kemudian yang lebih hebat lagi, sore hari Janish menelponnya sambil mengajukan permohonan.
“Aku janji nggak akan gitu lagi, Rius. Aku mohon maafin aku. Jangan tinggalin aku. Cuma kamu yang bisa bahagiain aku,” begitu katanya tadi. “Kamu pegang kata-kataku, ya, Sayang. Mulai sekarang aku bakal lebih hati-hati. Aku nggak akan nelpon kamu seenaknya. Aku nggak akan nuntut pernikahan. Pokoknya yang penting aku tetep sama kamu.”
Bagaimana mungkin Darius bisa menolak kalau Janish sudah bicara seperti itu. Dengan perasaan bahagia, Darius mengiyakan permohon Janish. Dan sebagai tanda bahwa hubungan keduanya telah kembali, mereka akan merayakannya di apartemen Janish. Seharian ini.
“I love you, Janish,” bisik Darius sambil membimbing perempuan di pelukannya telentang. Gairahnya benar-benar sudah mencapai titik maksimal. “Akan kuberikan persembahan yang nggak akan bisa kamu lupain.”
“Apa ini sebuah rayuan?” bisik Janish di sela-sela desahan saat dadanya mulai digerayangi. “Melia pernah dikasih juga?”
Darius menggeleng. Tangannya mencari-cari tali pengait bra. Tepat ketika benda itu terlepas, ia berkata, “Aku selalu ngasih persembahan berbeda untuk kamu dan Melia. Dan aku pastiin, Melia selalu satu tingkat di bawah kamu.”
“Aku jadi nggak sabar.”
Kuhitung, ya.
Tiga ...
Dua ...
“BAJINGAN KALIAN!”
Darius dan Janish sama-sama menoleh ke arah pintu. Teriakan Melia yang berada di luar kamar membuat keduanya tercengang. Darius kaget kenapa istrinya ada di sini, sementara Janish kaget kenapa Melia datang lebih cepat. Padahal ia baru menghitung sampai dua.
Bak banteng ngamuk, Melia merangsek ke arah mereka. Ia menyumpah-nyumpah, juga melemparkan apapun ke arah sepasang manusia itu. Ponsel, tas, dan hak sepatu yang dipakainya, terbang bak peluru di tengah hiruk pikuk perang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficción GeneralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...