Granat Keramik

10.6K 1.8K 371
                                    

“Aku serius, Sha. Rio pasti baik-baik aja,” ujar Baron. “Jadi nggak usah dirawat, ya.”

Sejak empat jam yang lalu, Baron setia menemani Shanira. Bukan hanya mengurus biaya administrasi, ia pun senantiasa menabahkan dengan kata-kata. Tadi waktu ia datang, Rio sedang ditangani dokter. Keningnya dijahit akibat sobek dan kesadarannya hilang sejak di perjalanan. Shanira yang kalap, tidak bisa membendung air mata. Sambil merapalkan doa, perempuan itu menunggu dengan harap-harap cemas.

“Aku masih khawatir, Bar.”

Baron menggeleng lalu memandang bocah yang asyik memaju-mundurkan mobil mini di atas kasur. Meski kepalanya diperban, Rio tidak terlihat lesu. Mobil-mobilan baru, yang dibeli Baron ketika anak itu siuman setengah jam lalu, dimainkannya dengan semangat.

“Rio,” panggil Baron dan langsung diberi tolehan oleh si empunya nama. “Mau di sini atau pulang?”

“Sini.”

“Kalau pulang, nanti Om beliin mobil-mobilan lagi.”

“Lagi?” Ketika mengatakannya, mata anak itu berbinar. “Ayo, pulang!”

See?” tanya Baron pada Shanira. “Mang Imron udah aku telpon. Dia lagi di perjalanan sama Kirana.”

Pada akhirnya Shanira tidak bisa menolak omongan Baron. Terlebih setelah memastikan ——dengan bertanya pada dokter. Katanya, Rio bisa pulang sekarang juga. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah sejak lima menit lalu, payudara Shanira terasa sakit. Pasti Hanna ingin minum susu dari putingnya.

“Omong-omong, makasih banyak, Bar,” kata Shanira. “Aku nggak tahu apa jadinya kalau tadi kamu nggak datang.”

“Itu gunanya keluarga, Sha.” Baron tersenyum pahit. Meski di bibir bilang keluarga, tentu saja di hati lain lagi.

Sejak Shanira memintanya bersikap layaknya ipar, Baron mati-matian menekan perasaan. Meski susah, setidaknya Baron tidak terlalu gagal. Pagi tadi Baron sarapan dengan mengambil makanan sendiri. Percakapan pun hanya sebatas basa-basi. Dan ketika hendak berangkat, Baron hanya pamit singkat padahal bibirnya gatal ingin mencium kening perempuan yang dicintainya itu.

Baron tidak tahu apakah dirinya bisa melewati satu tahun seperti itu. Baru satu hari saja rasanya sudah amat tersiksa. Tetapi syukurlah tekadnya cukup kokoh. Selama Shanira yang meminta, Baron akan mengusahakan sekuat tenaga. Sebab bagi Baron, begitulah sikap lelaki seharusnya. Mencintai satu wanita, memperjuangkannya, dan menepati janji.

Ponsel Baron berdering. Nama Mang Imron terpampang di layar. Diangkatnya telepon, dijawablah sapaan pria tua itu.

“Iya, Mang. Kita ke situ sekarang,” jawab Baron lewat telepon. Setelah diiyakan oleh Mang Imron, dimatikanlah sambungan. Lalu terhadap Shanira dikatakannya, “Yuk.”

Mereka keluar ruangan. Sebelumnya Baron menawarkan diri untuk menggendong Rio. Tapi ternyata bocah kurus itu lebih suka badan ibunya ketimbang dada kekar sang paman. Sesampainya mereka di tempat parkir, Rio langsung minta turun. Bocah ini ingin memamerkan mainan barunya pada sang kakak.

“Hati-hati di jalan, ya,” kata Baron pada Shanira. “Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku.”

Shanira mengangguk. “Kamu juga pulang, kan?”

Tadinya Baron mau bilang iya, tapi begitu wajah Janish melintas di benaknya (secara tiba-tiba), ia langsung menepuk jidat. Aduh, lagi-lagi! batinnya dengan perasaan bersalah.

“Kalian duluan aja. Aku masih ada urusan,” jawab Baron. “Mang Imron, bawa mobilnya jangan kebut! Ipar dan keponakan saya harus selamat sampai tujuan. Paham?”

Pendamba Jari ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang