Part 16

1K 170 41
                                    

"Aku mengkhawatirkanmu..."

Arthit membeku sejenak, lalu mengangkat salah satu tangannya untuk menyentuh wajah Singto dan mengelusnya dengan lembut menggunakan jarinya, sementara tangan yang lain masih terhubung dengan Singto.

"Apakah itu pernyataan cinta?" Arthit menggodanya.

Jantung Singto berdegup kencang, matanya menatap Arthit dalam sambil mencoba untuk fokus pada sentuhan di wajahnya.

"Mungkin kita bisa mulai saling mengenal satu sama lain..." jawab Singto.

"Aku suka itu.." Arthit lalu perlahan-lahan menggerakkan jarinya ke bibir bawah Singto dan mengusapnya dengan lembut diikuti oleh matanya. "Atau mungkin kita bisa mulai dengan ciuman..."

"Tentu..."

Arthit mengangkat kelopak matanya untuk menatap mata Singto saat mendengar kata itu, dan segera mendekatkan wajahnya ke depan, menarik dagu pria tampan itu lalu mengunci bibirnya dengan pria itu. Singto menutup matanya seketika, mencoba memusatkan perhatian pada perasaan itu.

Mereka menyilangkan jari mereka tanpa disadari, sementara tangan Singto lainnya diletakkan di dada Arthit.

Arthit mengisap bibirnya sesekali dengan hati-hati, memberikan semua perasaan yang dia miliki untuk mencicipinya perlahan-lahan, dia melakukannya dengan lembut, memperlakukannya seperti harta karun dari seratus tahun yang lalu.

Singto perlahan membuka matanya dan mengamati wajah Arthit dengan seksama, sementara Arthit tetap fokus pada bibir mereka yang bergabung, tetapi kemudian ia juga mengangkat kelopak matanya dan mengunci matanya dengan pria itu.

Arthit membawa kenangan dari masa lalu mereka ke dalam mata dan kepala Singto. Singto membeku seketika, saat melihat adegan mereka berciuman dan bercinta di hutan, berlari menelusuri hutan dan menyeberangi sungai, kemudian tidur berdampingan di tanah sambil menatap langit dan mengobrol tentang bintang-bintang, segala sesuatu di sekitar mereka tersentuh oleh cinta mereka, betapa murni dan indahnya.

Tiba-tiba air mata Singto mengalir turun.

Arthit menyadari apa yang dilakukannya dan segera menutup mata dan ingatannya. Dia masih mengunci bibirnya dengan Singto, lalu tiba-tiba dia meraih bahu Singto dan mendorong pria itu ke tempat tidur. Singto tersentak seketika, tetapi Arthit kembali menciumnya lagi sebelum ia sempat memprotes.

Arthit menggigit bibirnya dan memaksanya membuka mulut lalu mengisap lidah Singto, sambil mendorong masuk lidahnya sendiri sesekali untuk menjilat semuanya yand ada di mulut Singto.

Singto hampir tidak bernapas, tetapi dia juga tidak bisa menghentikannya, dan tangannya menarik kaos Arthit untuk memberitahu pria itu agar melepaskannya. Arthit yang mendapat notifikasi menghentikan ciuman mereka sejenak untuk melepas kaosnya, dan dia juga melakukan hal yang sama pada pria di bawahnya.

Sekarang mereka setengah telanjang, menatap mata satu sama lain dan terengah-engah. Arthit berlutut di antara selangkangan Singto, dengan satu kaki di tengah, dan mengunci sikunya di samping bahu Singto untuk menahan tubuhnya dari tubuh yang menggoda di bawah yang hanya berjarak beberapa inci.

"Apakah aku boleh menyentuhmu?" Tanya Arthit.

"Apakah kau akan bercinta denganku?"

"Apakah kau menginginkannya?"

"Apa?!" Singto terkejut oleh pertanyaannya. "Itu pertanyaan yang menjebak..."

Seulas senyuman muncul di wajah Arthit.

"Santai, aku tidak akan bercinta denganmu sebelumnya...kau menerima perasaanku...dan mencintaiku dengan sepenuh hati..." kata Arthit. "Dan memaafkan ku ..."

Bahasa Indonesia - The Day, Where We Forget Each Other (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang