06.

2.3K 86 0
                                    

Kini aku berada di dalam mobil & kursi yang sama, menggendong calon istri yang sangat ku benci, yaitu Batz. Aku membenci nya karena aku tahu dia akan menghancurkan mimpi-mimpi & masa depanku.

Aku masih menggendongnya bahkan ketika kami sudah sampai di rumah nya yang sudah mirip dengan istana itu. Semua mata para pelayan tertuju pada kami. Bahkan Batz pun tak segan-segan memelukku dengan mengalungkan lengannya di leherku.

Dari sudut mataku aku melihat Aom, wanita yang sangat aku sayangi sedang memandangku dengan tatapan sendunya.

Dia sedih melihatku bersama Batz, sedangkan nenek sihir yang sedang ku gendong ini malah tersenyum. Aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan.

"Apakah kau sangat menyukainya?" Tanyaku dengan nada dingin dan sinis.

"Apa maksudmu?" Tanyanya pura-pura tak tahu.

"Lupakan saja." Jawabku dingin.

Aku membawanya ke kamarnya, mendudukkan nya di ranjang, beberapa pelayannya mengikuti kami.

"Siapkan handuk dan air hangat untuk nona besar." Kataku pada mereka.

Mereka mengangguk. Lalu akupun bergegas pergi.

"Nae, kau mau kemana?" Tanyanya padaku.

"Aku akan mengambilkan obat untukmu." Kataku tanpa sedikitpun memperhatikannya.

Aku kembali membawa beberapa salep, disana sudah ada beberapa pelayan yang membawa beberapa barang yang ku suruh siapkan tadi.

Aom juga ada di situ. Aku hanya bisa menatapnya sekilas. Lalu aku duduk di kursi sebelah ranjang Batz.

"Letakkan barang-barang itu di sana." Kataku sambil menujuk meja kecil sebelah ranjang Batz.

Para pelayan itupun melakukan apa yang ku suruh.

"Tinggalkan kami berdua." Kataku sedingin mungkin.

Aku tahu jika saat ini aku sedang menyakiti hati Aom, kekasihku.

Para pelayan itu pun meninggalkan kami.

"Mana kakimu, aku akan mengobati lukamu."

"Aku bisa mengobatinya sendiri. Kau bisa meninggalkanku sendiri." Katanya dengan nada ketus.

"Jangan kekanak-kanakkan, cepat julurkan kakimu." Kataku sedikit lebih tegas dari sebelumnya.

"Hei, kau hanya pengawalku, bawahanku, kau sangat tidak sopan."

"Aku calon suamimu." Kataku dingin tanpa sedikitpun memandangnya.

Apa dia bilang Calon Suami? Lancang sekali dia berkata seperti itu, Ya. Aku akui jika aku memang menyukainya, tapi menikah dengannya? Yang benar saja.

"Hei, kau jangan bermimpi menjadi calon suamiku." Ucapku kemudian.

"Aku tak pernah bermimpi seperti itu, karena memang itu kenyataan nya Nona Batz bukan hanya sekedar mimpi." Katanya masih dengan nada dinginnya.

Tiba-tiba dia mendekatkan tubuhnya pada tubuhku, lalu dia mencengkeram rahangku dengan sebelah tangan nya.

"Setelah kita menikah, Aku berjanji. Aku akan membuat hidupmu berubah." Lanjutnya lagi lalu tanpa permisi dia mencium lembut bibirku.

Tubuhku menegang, bulu romaku seakan meremang ketika Nae menciumku. Apa dia serius dengan perkataan nya tadi?

NaeNae Suthatta kau serius.

Dia akan menikahiku, buktinya saat ini aku sudah berada di rumah orang tuanya. Ini sudah satu bulan setelah ciuman itu. Badanku selalu panas dingin saat mengingat ciuman singkat itu.

Ada apa sebenarnya?

Kenapa aku sangat terpengaruh terhadap seorang Nae Suthatta?

"Bibi, apa kau perlu bantuanku?" Tanyaku asal kepada ibu Nae. Saat ini kami sedang berada didapur, sedangkan Nae , ayahnya dan kakek ku berada di halaman belakang rumah Nae.

Walau rumah ini lebih kecil daripada istanaku, tapi aku merasa sangat nyaman disini, ada sebuah perasaan hangat saat memasuki rumah ini. Aku suka.

"Aaahhh... Tidak perlu, Anda bisa istirahat saja." Jawab ibu Nae sopan.

"Ahhh bibi, jangan bicara seperti itu terhadapku, aku tak suka jika ada orang yang lebih tua menghormatiku."

"Tapi anda kan atasan-"

"Aku tidak peduli bibi, aku hanya ingin memiliki seseorang yang bisa kujadikan teman." Potongku cepat.

Ibu Nae tersenyum.

"Baiklah, kau ingin membuat apa?" Tanyanya kemudian.

"Aku tak tahu, aku belum pernah memasak atau ke dapur." Kataku sambil tersenyum malu.

Ibu Nae tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu itu, baiklah, hari ini kita membuat roti saja bagaimana"

"Baiklah, aku mau... "

Dan kami pun akhirnya memasak bersama. Ibu Nae sangat baik, ramah dan hangat. Dia sangat berbeda dengan Nae.

Jika aku di beri kesempatan untuk memiliki ibu kembali, aku ingin seperti ibu Nae.

"Bibi, kenapa Nae seperti itu?" Tanyaku kemudian.

"Seperti itu bagaimana?'Tanya nya balik.

"Dia sangat dingin terhadapku, apa dia pernah cerita sesuatu kepada bibi?'"

"Nae memang cenderung pendiam dan sedikit dingin. Itu dsifatnya dari lahir. Tapi lebih buruk setelah di masuk militer. Kau tahu sendiri kan bagaimana sekolah militer? ya,  dia dididk untuk menjadi leaki yang lebih keras."

"Tapi dia berbeda dengan Aom." Kataku lirih.

Aku memang tidak bohong. Aku sering melihat mereka jalan bersama di taman belakang rumahku, mereka terlihat mesra, bahkan sesekali Nae terlihat tertawa lepas kepada Aom, mereka bahagia.

Tak jarang juga aku melihat mereka sdang makan bersama, bahkan Nae sering membantu Aom kapanpun Aom membutuhkan.

Putri Manja & Bodyguard TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang