15. Permulaan

166K 2.9K 26
                                    

Siang ini terasa begitu pengap. Soraya mengarahkan kipas angin kecilnya di depan wajah. Proses belajar di sekolahnya telah selesai. Satu persatu penghuni kelasnya pun beranjak pergi. Saat ia mulai memasukkan buku-buku ke dalam tas, Jono, teman sekelasnya yang terkenal cupu tapi rajin belajar tiba-tiba saja menghampirinya dengan wajah gugup.

"So...raya," panggil Jono dengan mata terarah ke lantai.

Si pemilik nama langsung mengernyitkan dahi. Jono memanggilnya seolah-olah dirinya adalah lantai.

"Lo manggil gue, apa lantai sih?"

Jono terlihat mengulum bibirnya. Ia menatap Soraya risau. "Itu, Pak Firman nyuruh lo buat ngambil sapu di gudang."

"Lo aja yang pergi, gue males!"

"Tapi gue udah ditungguin di bawah, lagian, besok itu jadwal lo buat piket."

Soraya mencebik kesal. Mengingat gudang sekolah itu tempatnya agak jauh dan ruangan itu cukup gelap, membuatnya agak curiga. Kemudian ia menatap Jono lagi, cowok itu memerbaiki kacamatanya lalu pamit kepadanya.

Saat ini, tinggal dirinya saja di dalam kelas berkat Jono. Ia buru-buru beranjak menuju gudang tanpa berpikir panjang. Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat bayangan seseorang di lantai. Seperti ada yang mengikutinya. Soraya risau, apalagi tujuannya adalah tempat yang sepi.

Tapi saat ia pikir-pikir lagi. Kenapa dia nurut sama omongan Jono? Parah! Sejak kapan Soraya jadi penurut? Dengan langkah pelan ia berbelok ke arah lain, dimana disana ada anggota pramuka yang sedang latihan. Dan itu membuat orang yang mengikutinya bingung, dia pergi kemana.

Saat melewati koridor kelas sepuluh yang masih ramai karena dipakai untuk pertemuan ekskul, entah mengapa ia semakin risau. Bagaimana tidak, dia jadi parno saat mendapati bayangan seseorang yang tengah mengikutinya dan itu sangat jelas. Tapi dia tidak boleh takut! Dia tidak akan membuat musuhnya bahagia, siapapun itu, Soraya bersumpah tidak akan masuk dalam jebakan mereka.

Saat di parkiran, ia semakin bingung ketika ada bapak-bapak menghampirinya, lalu menanyakan keberadaan seseorang yang membuatnya muak.

"Maaf dek, kenal sama non Tasha nggak?"

Sebenarnya Soraya ingin berkata tidak. Tapi ia kasihan dengan bapak itu yang terlihat begitu lelah.

"Iya, dia temen sekelas saya. Ada apa yah pak?"

"Gini dek, saya dari tadi nungguin, tapi nggak dateng-dateng."

"Tapi dia udah pulang kayaknya, kelas udah kosong."

"Emm, kalo gitu makasih ya dek!"

Bapak itu yang Soraya duga sebagai sopir Tasha mengulum senyum lalu kembali ke mobil. Perempuan itu turut bingung dan bertanya-tanya kemana perginya Tasha.

Ah, paling dia jalan sama Alvi, pikirnya.

Namun, saat ia masuk ke mobil, ia mendapati satu kebingungan lagi. Tak jauh dari pandangannya, ia melihat Jono berdiri tak jauh dari gerbang, dan tak berselang lama, laki-laki berambut sesuai aturan sekolah itu menahan angkutan umum lalu naik kesana. Dan jelas, hal itu membuat Soraya bingung.

"Bukannya si Jono tadi bilangnya udah di tungguin yah?" tanya Soraya pada dirinya sendiri.

"Kok aneh si."

"Apa gue ikutin aja kali yah?" Setelah berkata seperti itu, ia langsung menyalakan mesin mobilnya.

Belum cukup dua meter mobilnya melaju. Soraya merasakan keanehan pada kendaraannya itu. Ia turun mengecek dan ternyata ban belakangnya menciut alias kempes.

"Kayaknya ada yang sengaja nih! Sialan!" Soraya mendengus kesal lalu menyisir rambutnya dengan jari.

"Ini hari kenapa sih! Mood gue kok ancur banget dari tadi pagi! Hah!"

Soraya berkacak pinggang, memandang jengkel mobilnya yang baru beberapa bulan ia dapatkan sebagai kado sweet seventeen dari ayahnya. Lalu matanya bergerak ke atas saat cahaya di sekitarnya mulai meredup.

Akan ada hujan. Jika ia terus-terusan di parkiran bersama mobilnya, ia mungkin akan dapat masalah. Setelah berpikir panjang, Soraya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam sekolah, tanpa tahu, kejadian apa yang akan ia lihat nantinya.

Saat baru melewati pinggir lapangan, Soraya berpapasan dengan pak Firman. Gadis itu menyapa gurunya. Namun gurunya terlihat biasa saja, tidak marah. Lalu ia pun mulai memberanikan diri untuk bertanya.

"Pak, aku mau nanya nih, boleh nggak?"

Pak Firman menghentikan langkahnya lalu mengiyakan, "iya silahkan aja."

"Langsung aja ya pak. Emang bener yah, kalo tadi bapak itu nyuruh Jono buat nyampein ke saya untuk ngambil sapu di gudang ya?"

Pak Firman agak tersentak, kemudian mengernyitkan dahi. "Tidak, saya tidak pernah nyuruh Jono."

Soraya mengangguk perlahan, kemudian pikirannya terus bertanya-tanya. "Oh, kalo gitu makasih ya, Pak!"

Pak Firman mengangguk. "Oiya, tadi saya lihat si Tasha teman sekelas kamu jalan ke gudang, katanya mau nyusulin kamu."

"Hah?" Soraya tercengang sekaligus merasakan firasat buruk.

"Yasudah ya, bapak mau pulang, ini sudah mau hujan. Kamu langsung pulang aja, jangan keluyuran!"

Setelahnya, Soraya mengangguk sopan. Matanya mengikuti arah langkah gurunya menuju. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikirannya.

Untuk apa Tasha menyusulnya ke gudang?

Jangan-jangan bayangan yang dia lihat tadi milik Tasha!

Lalu, pak Firman sama sekali tidak pernah menyuruh Jono.

Jangan-jangan...

Jantung Soraya berdebar kencang. Ia meneguk ludah susah payah. Matanya menatap ke arah koridor yang akan terhubung dengan gudang. Disana sunyi senyap, jauh dan terpencil.

Dengan kekhawatiran yang besar, Soraya berlari kencang. Angin bertiup kencang seolah mengajaknya berlomba. Perlahan langit menurunkan airnya. Tetes demi tetes, berjatuhan menyapa bumi.

Soraya tersentak. Terdiam. Membisu. Kemudian membatu. Menyaksikan perhelatan dosa melalui celah. Nafasnya kian sesak tatkala mendengar jeritan pilu dari dalam ruangan.

Dia terlambat.

Tak mampu berbuat apa-apa lagi.

Perlahan bergerak mundur. Dengan berdoa dalam hati agar dia tak menjadi yang selanjutnya. Lari bagai pecundang. Berlindung bagai pendosa.


----+----

Jangan lupa komen and follow

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang