19. Kesalahan

157K 3K 36
                                    

Saat pikirannya sedang kacau, Soraya biasanya berjalan-jalan ke taman yang berada di pusat kota, atau pergi ke tempat wisata alam. Kali ini, gadis itu memilih untuk mendatangi taman. Masih dengan seragam sekolah yang memiliki rok biru kotak-kotak, ia menutupi bajunya dengan jaket denim.

Matanya menatap anak-anak yang berlarian di sekitar tempat bermain. Ada yang menangis karena tidak mendapat ayunan. Ada pula yang menangis karena terjatuh. Saat anak-anak itu menangis, ibunya seketika datang, menghapus air mata anaknya, lalu mendekap dan memberi tahu jika tidak ada yang perlu ditangisi.

Terdiam, Soraya mencoba menggali ingatannya. Mencari-cari kenangan yang hampir sama dengan apa yang lihat barusan. Namun nihil, hingga ke sudut-sudut ruang di ingatannya pun ia tak menemukan.

Gadis itu tersenyum pahit. Tubuhnya ia senderkan ke sandaran bangku taman. Terdenger helaan nafas dari dirinya, terdengar berat dan lelah. Semenit kemudian, dia merasakan seseorang telah duduk di sampingnya. Namun ia tak menoleh, mengecek siapa orang itu.

"Gue ngerasa beruntung banget, bisa ngeliat gewek yang terkenal ganas ini lagi galau."

Suaranya seperti pernah terdengar di telinganya. Tapi Soraya tetap tak acuh. Bisa saja pernyataan itu untuk orang lain.

"Ternyata lo kalo galau jadi budek yah?"

Soraya masih terdiam.

Melihat gadis di sampingnya yang sama sekali tak peduli membuat ia jadi bingung.

"Soraya..."

Laki-laki itu membisik persis di telinga si pemilik nama. Suara beratnya bergema di telinga Soraya. Degup jantungnya berpacu kencang. Ia lemah dengan bisikan halus seperti itu.

"Ternyata telinga lo masih berfungsi," ujarnya kala melihat Soraya yang menoleh menatapnya.

"Jauh-jauh lo!"

Soraya mendorong dada cowok itu agar menjauh darinya. Namun di sela-sela itu, ia cukup kagum dengan dada bidang yang laki-laki itu miliki.

"Yah sorry aja deh. Abisnya lo gue ajak ngomong nggak nyahut-nyahut."

Soraya terhenyak. Menarik nafas, menetralkan degup jantungnya yang berdetak kencang. Lagipula, tubuhnya terlalu lemah jika berdekatan laki-laki yang memiliki tubuh tinggi tegap, berkarisma, dan suara yang berat. Dirinya berdesir, membayangkan hal-hal kotor di kepalanya.

"Hei! Lo mikir apa sih?" Cowok itu menjentikkan jarinya di hadapan Soraya.

Soraya memasang tampang biasanya, dingin, misterius, dan judes. Ia tak ingin jika cowok di depannya tahu apa yang sedang ia pikirkan. Meski rasanya sulit ketika ia menoleh dan mendapati jakun yang terlihat begitu seksi di matanya.

"Gue lagi mikir, lo ini siapa? Kenapa tau nama gue? Dan kenapa kemaren lo bisa ada di sekolah gue?"

"Pertanyaan lo banyak, gue jawab yang mana dulu?" tanyanya bingung.

"Serah," jawab Soraya tak acuh, tanpa menatapnya sedikit pun.

"Nama gue, Irfan. Dan kemaren gue ngikut temen ke sekolah buat ngelatih anggota pramuka."

"Oh..." Itu saja respon dari Soraya, seolah gadis itu sama sekali tak tertarik dengan Irfan.

"Lo lagi mikirin gosip yang tersebar ya?" tebaknya yang kembali membuat Soraya menoleh.

Soraya menghela nafas, kali ini terdengar tenang. "Gue sama sekali gak peduli sama yang namanya gosip. Tapi, gue cuma bingung, kenapa insiden kemaren bisa kesebar."

Kali ini, Irfan yang menghela nafas. "Kalo menurut gue, yang nyebarin itu yah si pelakunya sendiri."

Soraya tertegun. Ingatannya kembali di hari kemarin. Ia yakin, sebenarnya itu adalah jebakan untuk dirinya. Namun ia cukup beruntung untuk selamat dari perbuatan mereka. Tetapi, justru Tasha yang terjebak.

Tasha. Gadis yang sudah bukan gadis lagi. Entah mengapa, perasaan sesak menjalar ke seluruh dadanya. Menjalar ke mata hingga ia meneteskan air mata.

Irfan yang melihatnya, turut merasa sesak. Ingin merengkuh namun tak punya hak. Ingin menghibur namun tak tahu harus apa. Satu-satunya hal yang mampu ia lakukan hanyalah menepuk pelan bahu gadis di sampingnya.

Hal inilah yang membuat Irfan tetap berada pada pilihannya. Karena ia tahu, pada setiap cahaya yang terang benderang, akan selalu ada bayang mengikutinya. Pada setiap tawa, ada duka yang terselip diantara irama bahagia yang tercipta. Dan disaat seseorang berusaha agar terlihat tegar, pada saat itulah, dia sedang rapuh serapuh-rapuhnya.

Dunia ini gudangnya sandiwara. Dimanapun kita berada, akan ada manusia yang senang berpura-pura. Hingga akhirnya terjebak dalam duka lara.

Masih dengan tangan yang mengelus bahu Soraya, Irfan menatap wajah gadis itu lekat. Kilatan mata itu, telah tertoreh luka yang dalam. Pipi gadis itu tak bersemu lagi bagai bunga sakura yang bermekaran saat musim panas tiba.

Tidak ia dapati Soraya yang dulu. Gadis manis yang selalu ia amati saat pergi dan pulang sekolah. Seseorang yang selalu meminta es krim kepadanya saat kecil. Dan anak perempuan yang selalu melupakan namanya ketika bertemu kembali.

Sama, seperti saat ini.

Ia tersenyum samar, kala Soraya mulai menghapus air matanya perlahan. Isakan tangis telah berganti dengan suara ingus yang mulai diperas habis. Dan itu membuatnya tersenyum geli.

"Ternyata semua orang sama aja. Kalo ngeluarin ingus suaranya sama-sama nggak enak didenger."

"Diem lo!" Soraya menatap Irfan dengan tajam, kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.

"Raya, terkadang, meski kita mengenal orang itu cukup lama, tidak berarti kita mengetahui jelas karakter orang itu."

"Sok bijak!"

"Elo tuh kalo dikasi nasihat sama yang tua, hargai dong!"

"Iya deh mbah, maap keun sayah yang pennuuhhh dosyah inih," ujar Soraya dramatis, seolah mengejek Irfan yang ingin diakui tua.

"Nggak berubah," kata Irfan membisik pada angin.

"Lo bilang apa barusan?"

Irfan menggeleng pelan, kemudian menatap hidung Soraya yang memerah. "Idung lo jadi merah, kayak tomat yang lagi mateng."

"Sialan lo!" Satu pukulan cukup keras mendarat di bahu Irfan lalu disusul dengan satu cubitan dahsyat di pinggangnya.

Andai saja mereka sadar akan kehadiran sosok yang begitu memprihatinkan. Mungkin tawa mereka akan terhenti. Mungkin mereka akan menghampiri sosok itu lalu membagi kebahagiaan bersamanya.

Namun semua hanyalah perandaian. Karena nyatanya, sampai masing-masing dari mereka pulang pun, tak satupun dari mereka yang saling bertemu tatap, meski bayangannya saling bertubrukan. Tapi bertemu pun sama sekali tak ada gunanya. Tak ada lagi yang penting diantara mereka.

Mereka yang dekat terpisah bukan karena takdir. Melainkan kesalahan yang masing-masing mereka ciptakan sendiri. Luka tak lagi bisa diredam. Rasa benci tak 'kan mungkin padam.






















------+++---
Silahkan tinggalkan vote dan komentar, wahai pembacaku yang budiman...

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang