20. Perang yang Tak Berujung

146K 2.8K 81
                                    

Jangan jadi kapal tanpa nahkoda. Apalagi melangkah tanpa arah. Kau itu dihidupkan dengan tujuan besar, bukan untuk menjadi sesat.

-NSL-

Luntang-lantung, mungkin itu kata yang cocok bagi perempuan yang sedang termenung sendirian. Langkahnya mulai tak terarah. Hidupnya digelayuti amarah.

Bimbang, kata itu cocok menggambarkan isi dari pikirannya kini. Matanya menatap ponsel, berita yang ia sebarkan sama sekali tak memengaruhi Soraya. Buktinya, cewek itu malah cenderung biasa saja.

Sambil menghela nafas, ingatannya kembali ke hari kemarin. Tentang tugas yang harus ia lakukan. Tentang apa yang akan dia dapatkan nantinya. Tentang satu hal, yang belum pasti keberadaannya.

Tetes demi tetes, air matanya mengalir. Buru-buru ia menghapusnya. Dirinya harus kuat. Tidak peduli resiko apa yang akan ia dapatkan nantinya.

"Maafin gue Raya," gumamnya di dalam sepi.

Tanpa ia tahu, seseorang yang sedang dipikirkannya sedang berada di tempat yang sama dengannya.

*****

"Gue bingung, lo itu cewek macem apa sih?" tanya Irfan seketika membuat Soraya mengernyitkan dahi.

"Maksud lo?"

"Yah, maksud gue, kenapa lo kayaknya biasa aja, padahal elo itu lagi dituduh yang tidak-tidak sama orang lain."

Soraya mengangkat alisnya. "Karena omongan mereka itu sama kayak sampah, yang harusnya disingkirin bukan dikumpulin."

Irfan tertawa renyah. Mencatat baik-baik omongan Soraya barusan. Terdengar kasar namun bermakna dalam.

"Tapi kemaren lo nangis, sampe idung lo bengkak kayak badut."

"Bangke."

"Heh? Kok bangke si?"

"Terserah gue dong. Lagian ngapain si lo ngintilin gue mulu, naksir yah lo?" ujar Soraya dengan suara datar dibarengi ekspresinya yang turut datar.

Irfan agak panik, otaknya mulai mencari-cari alasan yang pas, namun nihil, ia bukan lelaki yang pandai mencari alasan.

"Bener 'kan gue," sambung Soraya lagi ketika mendapati Irfan yang terdiam.

"Kalo gue naksir sama lo kenapa? Salah?"

"Iya, naksir sama gue bakal jadi penyesalan terbesar di idup lo nanti."

"Kok lo ngomong gitu sih?"

"Irfan, elo itu cowok baik-baik. Dan pastinya lo bisa cari cewek yang baik-baik juga. Gue saranin, lo berenti naksirin gue, sebelum perasaan lo tumbuh dan berkembang."

"Apa yang lo liat baik, belum tentu baik." Irfan berucap tulus, Soraya bisa merasakannya sendiri.

"Udah deh, Fan, gue mau pulang!" Meski Irfan tulus dan menerima dia apa adanya. Soraya tetap tidak akan membiarkan perasaan cowok berlanjut.

Irfan terdiam, membiarkan Soraya melakukan apa yang dia inginkan. Tubuh gadis itu telah sepenuhnya masuk ke dalam mobil. Lalu mobil itu turut berbaur bersama kendaraan lainnya.

Dalam diam, Irfan menarik nafas. Sesak dan malu begitu jelas ia rasakan saat ini. Ditolak bukanlah hal yang dia inginkan saat pertama kali jatuh cinta, meskipun ia tahu, Soraya belum mengenalinya. Mungkin gadis itu berpikir ini terlalu cepat. Namun ia merasa pergerakannya terlalu lambat.

"Udah dapet apa lo dari Soraya?" Suara angkuh itu muncul dari belakang tubuhnya.

Dengan tenang, Irfan berbalik, mendapati tatapan tajam dari orang itu.

"Gue ada urusan sama lo."

Wajah Irfan mengeras. Tak ada lagi ekspresi ramah dan tentram disana. Matanya balas menatap tajam laki-laki di hadapannya.

"Kita selesein disini?"

Irfan menyunggingkan senyum. Kali ini, senyum itu terlihat mengerikan, tidak ada keramahan disana, yang ada hanya amarah.

"Boleh juga."

Mendengar itu, Alvi sontak tertawa garing. "Jadi lo berani nyerang gue disini, hebat banget!" ujarnya sembari memberi tepuk tangan.

"Nyerang? Buat apa? Buang-buang waktu gue."

"Maju lo! Sini! Dasar pengecut lo!" maki Alvi dengan jari menunjuk ke arah Irfan.

Irfan mendesis, separuh dirinya begitu siap menyerang Alvi sekarang juga. Namun, ia harus sedikit bersabar. Pikirannya harus tenang, ia tak boleh gegabah.

"Gue cuma mau ngingetin lo, kalo video lo yang di gudang, ada sama gue." Irfan mendecih kemudian berbalik menuju motornya.

"Bangsat!!!"

Alvi hendak memberikan pukulan keras kepadanya, namun dengan cepat Irfan menggenggam erat lengan cowok itu.

"Kayaknya, lo udah jadi bego sekarang."

Mata Irfan mengarah ke arah gerombolan murid yang hendak ke parkiran. Ia tersenyum mengejek lalu kembali beranjak melanjutkan langkah yang tertunda tadi.

*****

"Muka lo asem banget. Kayak buah busuk."

Alvi terdiam, dadanya masih bergemuruh. Otaknya terasa mendidih. Satu nama muncul di kepalanya, membuat ia hilang kendali dengan memukul seseorang yang tadi menanyainya.

"Bangsat!" Ryan menggeram kemudian menarik kerah baju Alvi.

"Gue lagi emosi! Si brengsek tadi punya video kita di gudang!"

Perlahan, Ryan melepas tarikannya. Ia tertawa, seakan Alvi begitu lucu. Atau mungkin saja, dia sedang koslet.

"Nggak ada yang lucu!" tukas Alvi seketika membuat tawa Ryan mereda.

"Lo emang bego. Tinggal kita abisin aja tuh anak, selesai."

Alvi terlihat berpikir sejenak. "Emangnya lo mau ngabisin dia pake cara apa?"

Ryan menjentikkan jari. Di tengah keremangan itu, mereka berdiskusi. Diantara debu-debu yang bertebaran, mereka menertawakan hal apa yang akan terjadi. Mereka mengatakan semuanya, mengungkapkan segalanya, seolah disana, hanya ada mereka saja.

Tapi salah, ada seseorang yang lain disana. Mengenggam baik-baik benda logam pipih yang telah merekam segala percakapan tadi. Sesuatu yang akan ia ledakkan pada waktu yang tepat nanti. Semua hanya masalah waktu. Misteri akan segera terbongkar.



















-----------

Silahkan tinggalkan vote dan komentarnya yah guys!!!

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang