27. Cantik itu Luka

118K 2.9K 51
                                    

Dengan jantung yang terus berdebar. Soraya menutupinya dengan wajah masam. Ia memilih diam untuk menghadapi Irfan saat ini. Bisa saja ia mengusir cowok itu dari rumahnya dan memilih untuk tidak mengenalnya lagi. Namun Soraya tak melakukan itu. Sebab, ia masih membutuhkan Irfan untuk masalah Tasha. Meski hingga saat ini, ia masih bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa ia merasa harus membantu Tasha?

Pikirannya berkecamuk ditambah lagi dengan detak jantungnya yang tidak bisa berbohong saat mendengar kata suka dari mulut Irfan. Akh! Sudahlah! Nanti, perasaan ini hilang juga. Soraya berujar dalam hati. Lagipula, jantung yang berdebar kencang, belum tentu pertanda cinta. Biasanya pertanda takut.

Dan kini Soraya merasa takut, jika yang dirasakannya adalah cinta.

"Jadi, lo tinggal sama siapa disini?" tanya Irfan memecah kesunyian diantara mereka.

"Sendirian."

"Lo nggak takut?" tanya Irfan yang terlihat bingung sekaligus kaget.

Soraya terkekeh, sambil meminum jusnya, ia mengendikkan bahu lalu menjawab, "kenapa harus takut?"

"Yah, biasanya 'kan cewek takut tinggal sendirian."

Soraya meletekkan gelasnya di atas meja kemudian ia mengangguk perlahan. "Iya, emang kebanyakan cewek kayak gitu, takut sendirian. Makanya banyak cowok yang manfaatin itu, mau mereka selingkuh, mereka tetap yakin ceweknya nggak bakal ninggalin dia. Karena yang mereka tau, cewek itu takut sendirian."

Irfan terkekeh sambil mengangguk. "Iya, bener banget. Jangankan yang masih pacaran, yang udah nikah juga nggak takut selingkuh, karena si suami itu tau kalo istrinya nggak akan pergi."

Kali ini Soraya menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia tersenyum dan terlihat santai. "Gue nggak nerima curhatan orang, sorry."

Irfan tergelitik dengan perkataan Raya. Ia tertawa lalu membalas pernyataan gadis di depannya, "ternyata lo peka juga."

"By the way, lo mau apa sama kasusnya Tasha?" sambung Irfan dengan sebuah pertanyaan.

Soraya menghela nafas. "Nggak tau, biarin aja deh!"

"Loh? Kok lo gitu sih? Dia 'kan temen lo!"

"Temen? Iya, tapi dulu!"

Irfan sedikit meringis mendengar jawaban Raya, ditambah lagi dengan sudut bibirnya yang lukanya belum sembuh. Kenapa dirinya melakukan ini? Ia bahkan tak tahu Tasha itu siapa.

"Jadi, lo pulangnya kapan?" tanya Soraya yang membuat Irfan terkesiap.

"Sekarang."

"Yaudah, lo pake motor gue aja dulu, nanti lo kembaliin." Soraya menyimpan kuncinya di atas meja.

Irfan mengangguk pelan dan Soraya beranjak menuju kamarnya. Setelah tidak lagi melihat figur Soraya, Irfan juga beranjak, meninggalkan tempat yang telah memberinya rasa nyaman.

Meski tubuhnya masih sakit dimana-mana. Ia memaksakan untuk tetap mengendarai motor matic di depannya. Tidak mungkin juga ia meminta bantuan Soraya untuk mengantarnya. Bisa-bisa ia dikatai tidak jantan lagi.

*****

Di dalam sepi, ia menemukan dirinya. Ia yang pernah jatuh, terpuruk, dan terluka karena cinta, kini kembali merasakan cinta. Debaran di dadanya mulai mengencang, menghidupkan hati yang telah lama mati. Binar mata itu kembali, tak ada yang namanya redup kembali. Yang ada hanyalah bangkit kembali.

Motor maticnya sudah pergi, dikendarai seseorang yang telah memberi segelas air kepada bunga yang layu. Tangannya menyentuh kaca jendela yang transparan. Matanya mengarah ke jalanan yang sepi, hanya ada daun yang terombang-ambing tersapu angin.

Drrrttt...

Getar ponselnya membawa ia kembali ke realitas yang sebenarnya. Dengan malas ia melangkah mendekati meja, membaca nama pemanggil, lalu mengangkatnya.

Seketika wajah yang tadinya merona menjadi pucat. Diseberang sana, seseorang yang menelponnya terisak keras. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali terdiam. Mencerna informasi yang disampaikan si penelepon.

"Yaudah, tunggu gue, mau mandi dulu."

Segera, Soraya menutup teleponnya dan bergegas untuk mandi. Jantungnya kembali berdebar kencang, bukan karena sesuatu yang baik. Melainkan hal buruk telah terjadi, dan ia takut menghadapinya.

*****

Kesibukan di lorong dengan cat dinding putih bersih itu terlihat begitu nyata. Orang-orang berjas putih sejak tadi sudah sibuk berlalu lalang kesana kemari. Suara tangisan dan doa mengiringi perjalanan Soraya menuju ruangan Tasha. Dalam hati ia berdoa agar masalah besar tak terjadi. Namun terlambat, ia baru saja berdoa, namun masalah telah terjadi sejak tadi.

"Kak Aya..."

Salsa berlari kencang, menubruk Soraya lalu mendekapnya erat tanpa permisi.

"Kak... Ka...kak a...kku u...ddah... gak a...ddd...da lagiiiiii...."

Lalu tangisan Salsa kian keras diikuti dekapannya yang semakin erat. Soraya bungkam. Air matanya ikut turun.

Pada detik selanjutnya. Segala kenangan tentang ia dan Tasha terputar di benaknya tanpa permisi. Mulai dari saat ia berkenalan dengan Tasha yang polos. Lalu mulai belajar berenang sama-sama. Tenggelam bersama. Menangis bersama. Memasak bersama.

Semua kenangan manis itu seakan ingin membunuhnya sekarang juga. Bernafas saja sulit baginya. Dalam kepedihannya, ia membalas mendekap erat tubuh Salsa. Anak itu sedang kehilangan, sama dengan dirinya.

Tapi berbeda dengan kedua orang bejat di balik. Yang justru tertawa dan bertepuk tangan atas keberhasilan mereka. Tanpa ada belas kasihan, hati mereka sesungguhnya telah mati.

------------
Ramein lapak ini yah guys!!!

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang