26. Debat

116K 2.7K 28
                                    

Sehancur apapun hidupmu. Jangan jadikan alasan untuk hancurkan dirimu sendiri.
-NSL-

Soraya menatap Tasha dari jauh. Perempuan itu terlihat kuyu. Tatapannya hampa, dan matanya begitu bengkak. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Tasha, namun ia tak tahu bagaimana caranya memerbaiki sesuatu yang telah rusak.

"Kak Aya! Masuk yuk!" panggil Salsa dengan entengnya. Anak itu ternyata masih tidak mengetahui masalahnya bersama Tasha.

"Nggak ah, gue mau pulang dulu. Mau mandi."

Salsa mengangguk. "Tapi kakak balik kesini lagi 'kan?"

"Ehm, nggak tau, kita liat aja entar."

Salsa mengangguk lagi. Kemudian ia pamit untuk masuk ke ruang inap kakaknya. Diikuti mata Soraya memandang gadis itu iba.

Kedua tangannya ia masukkan ke saku jaket. Pelan-pelan ia menarik nafas dalam-dalam. Sambil berjalan, matanya mengamati aktivitas di rumah sakit. Begitu banyak tangisan yang terdengar, begitu banyak doa yang dipanjatkan. Jika ia berada di posisi Tasha, apakah orangtuanya juga berlaku sama seperti ibunya Tasha?

Entahlah.

"Tasha gimana?"

Suara itu tiba-tiba saja muncul. Membuat tubuh Soraya meremang, dan sial, otaknya mulai berpikir kotor. Tapi tidak, waktunya tidak tepat. Ia kemudian menoleh, mendapati wajah seseorang yang semalam wajahnya hampir hancur.

"Yah gitu," jawab Soraya lesu, sambil mengendikkan bahunya.

Laki-laki itu kemudian mengelus dagunya, memikirkan apa yang akan ia sampaikan.

"Duo laknat itu bebas, yah? Enak banget."

Ucapan Raya barusan membuat Irfan terkejut, ia lalu bertanya, "kok elo tau?"

"Ceritanya nanti aja. Gue mau pulang, gue belum mandi. Lo kesini mau ngapain?"

"Mau nyusulin lo."

"Aneh," gumam Soraya yang masih bisa didengarkan Irfan.

"Kenapa Ray?"

"Nggak Fan, gue mau langsung pulang, bye!" Soraya melambaikan tangannya lalu segera meninggalkan rumah sakit yang baunya membuat ia sesak.

"Gue ikut ya Ray. Soalnya gue nggak punya ongkos pulang."

"Helm gue cuma satu."

"Gue udah pinjem tadi."

"Dasar!"

Dan Irfan hanya memberikan cengiran yang terlihat manis di mata Raya. Mereka berdua berjalan beriringan. Diikuti sang surya yang mulai bergerak naik ke puncak singgasana. Panas menyengat tak menghalangi mereka untuk tetap bergerak di tengah-tengah keramaian orang-orang sibuk yang pemarah.

"Fan, ke rumah gue aja dulu. Mampir ke rumah gue nggak papa 'kan?" ujar Raya sedikit teriak karena Irfan membawa motornya cukup kencang.

Irfan hanya mengangguk, fokus pada jalan ramai di depannya. Berbeda dengannya, Soraya merasa aneh. Baru kali ini, ia bertemu laki-laki yang tidak memodusinya ketika berboncengan. Cowok di depannya terlihat kaku dan sama sekali tidak berselera dengannya.

Tapi Irfan mencintainya, katanya.

Soraya tidak percaya itu. Baginya, cinta itu hanyalah nafsu yang bersembunyi di balik kata-kata manis yang memabukkan. Nafsu yang akan terus bertumbuh seiring berjalannya waktu. Tidak ada cinta yang murni baginya. Karena cinta hanya menjanjikan fatamorgana di tengah gurun pasir.

*****

"Jadi, Ray, lo bisa jawab pertanyaan gue nggak?" tanya Irfan saat bokongnya telah menempel di sofa ruang tamu Soraya.

Soraya mengerutkan dahinya bingung. "Tergantung."

"Tentang dua orang itu yang dilepasin polisi. Kenapa lo bisa tau?"

"Oh, ituuu...."

"Mamanya Tasha nggak mau kalo sampe masalah ini ditau orang-orang. Jadi yah, dia maunya masalah ini dianggep nggak pernah ada," ujar Soraya sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Loh? Emang itu nggak keterlaluan? Kok mamanya gitu si?" cecar Irfan penasaran.

Soraya mengendikkan bahu. Bibirnya mengerucut memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak penting. "Nggak tau sih gue. Emang dari dulu, mamanya kayak gitu."

"Kayak gitu, gimana maksud lo?"

"Nggak peduli sama Tasha."

Irfan menghela nafas. Merasa tak tega membayangkan kehidupan Tasha di masa lalu dan masa yang akan datang.

"Jadi, kita harus gimana? Berenti gitu? Percuma dong, muka gue bonyok. Mereka nggak dipenjara."

"Itu juga yang gue pikirin. Kasian Tasha. Dia udah jadi korban, malah dikatain nggak bisa jaga diri. Heran deh gue."

"Siapa yang bilang gitu?"

"Mamanya."

"Sadis."

"Eh, lo mau minum apa Fan?"

"Es jeruk aja kalo ada."

"Oke."

Saat Soraya ke dapur mengambil minuman. Mata Irfan menyusuri setiap sudut ruang tamu Soraya. Tidak ada foto yang terpajang seperti rumah-rumah pada umumnya. Catnya berwarna putih polos, sangat kontras dengan sofanya yang berwarna hitam.

"Kenapa Fan? Ruang tamu gue jelek ya?"

"Nggak, lo jangan berpikir negatif dong."

"Nggak, gue bercanda doang."

"Ray, gue suka sama lo."

"Kenapa, Fan?"

"Karena lo satu-satunya cewek yang apa adanya. Nggak ada drama, dan nggak ada kepalsuan. Yang lo tunjukin adalah diri lo sendiri, bukan orang lain."

"Tapi gue nggak ngerti sama perasaan lo, yang suka dengan gue yang seperti ini. Gimana kalo suatu saat sifat gue nggak kayak gini? Lo pasti pergi 'kan?"

Irfan terdiam.

"Gue cuma nggak mau Fan, kita terjebak di dalam satu perasaan yang sebenarnya nggak pernah ada."

"Perasaanku nyata Ray."

"Dan kebodohan itu nyata Fan."

-------------
Jangan lupa vote dan komentarnya

Pengen tau nih siapa yang masih nungguin hehe

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang