25. Sandiwara

118K 2.7K 49
                                    

Pssstt...

Soraya meringis, kala melihat laki-laki di depannya yang sudah tak berbentuk lagi. Entah mengapa, itu terlihat keren di matanya. Meski mentari belum tiba, ia tahu siapa yang di depannya kini.

Irfan, iya. Laki-laki itulah yang tadi dikeroyok oleh dua pemuda yang sok tangguh yang malah membuatnya jijik ingin muntah. Untung saja tadi polisi cepat datang, jika tidak, mungkin Irfan sudah tiada. Dan dirinya tetap mencari aman, dengan dia yang bersembunyi di balik semak.

Setelah mobil polisi membawa ketiga orang itu. Soraya kemudian mengendarai motornya menuju rumah. Sebenarnya ia berniat untuk datang langsung ke rumah Tasha, tapi, ini masih dini hari. Orang-orang masih tidur. Mending ia datang pagi saja.

"Oke, gue pulang dulu. Duh serem juga ni tempat," ujar Soraya bermonolog dengan dirinya sendiri.

Di perjalanan, ia telah menyusun rencana sebaik mungkin untuk besok. Semoga saja kedua laki-laki busuk itu bisa dihukum mati. Laki-laki bajingan yang memandang remeh keperawanan perempuan hanyalah sampah. Lagipula hukuman untuk para pemerkosa masih tergolong ringan, jadi, yasudahlah. Dunia memang memang kejam.

Drrrttt...

Soraya berdecak sebal ketika ponsel di sakunya bergetar. Sambil membuka kunci pintu rumahnya, ia mengecek siapa penelponnya. Ternyata adiknya Tasha. Segera ia mengangkat telpon lalu menempelkan ke telinga.

"Halo, Salsa, kenapa?"

Terdengar suara tangisan dari ujung sana. Soraya mengernyitkan dahi, bingung karena Salsa menelponnya hanya untuk mendengar tangisan bocah itu di tengah malam seperti ini. Tampaknya anak itu sedang bercanda. Tapi dia tidak tertawa, yang ada malah menangis sesegukan seperti menahan sakit hati saat ditinggal pacar pas lagi sayang-sayangnya.

"Lo kenapa si? Kalo lo nangis, gue matiin ni?!" ancam Soraya yang ternyata mampu sedikit meredakan tangisan Salsa.

"Kak Aya, ka...kak a...ku kritis," ujar Salsa terbata-bata lalu kembali melanjutkan tangisannya.

Raya kembali mengernyit.

Kritis?!

"Yaudah, lo sekarang di rumah sakit mana?"

Setelah Salsa menyebutkan alamat rumah sakit, Raya segera keluar rumah dan kembali mengendarai motor sembari menikmati angin malam yang dingin. Jantungnya bergemuruh, dirinya terasa gelisah, seperti ada hal buruk yang telah terjadi. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan, guna menenangkan kegelisahannya.

"Kak Aya..."

Salsa memanggil Soraya dari pintu depan rumah sakit. Dengan air mata masih terus berderai, ia buru-buru mendekati Raya untuk memeluk gadis itu. Pelukan Salsa semakin erat, membuat Soraya sesak, meski dirinya ingin mengeluh, ia urungkan saat mendengar tangisan pilu Salsa yang membuatnya terenyuh.

"Kak Aya, Kak Tasha mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggalin."

Raya terdiam, bingung harus berbuat apa. Apalagi dirinya tak pernah berada dalam keadaan ini sebelumnya.

"Ssstt, jangan bilang gitu. Ayo kita jenguk dia," bujuk Soraya yang sebenarnya sudah sulit bernafas.

Dan akhirnya, Salsa melepas pelukannya lalu menghapus air mata. "Kak Tasha, masih di ICU, kayaknya masih lama."

"Oh, kok bisa si, dia jadi gini?" tanya Raya menuntut jawaban.

"Kita ke tempat yang lebih bagus aja kak, ke taman rumah sakit, biar lebih leluasa ceritanya."

Soraya mengangguk, mengikuti kemana Salsa membawanya. Ia sempat melirik, memerhatikan wajah adik Tasha yang terlihat kuyu, dan murung. Entah mengapa, ia jadi teringat akan hari kelam itu.

"Kak Tasha hamil."

Kalimat itulah yang pertama kali Salsa ucapkan ketika mereka telah duduk di kursi taman. Terlihat jelas, anak itu kembali menangis, namun tak mengeluarkan suara. Matanya tertunduk lalu sebelah tangannya berada di dada.

"Terus, anak itu digugurin. Aku nggak tau dengan cara apa. Tapi, saat aku liat di kamar mandi, ada gumpalan darah disana."

Kali ini, Salsa mulai terisak. Namun tidak membuatnya berhenti untuk bercerita. Hatinya terlanjur sakit.

"Mungkin kak Tasha merasa bersalah sama calon anaknya. Makanya dia mau nyusul juga. Dia lompat dari jendela kamarnya."

Raya memejamkan matanya. Hatinya terasa ngilu, otaknya tidak mampu membayangkan bagaimana rasanya menjadi Tasha. Apakah Tasha memang seterpuruk itu?

"Aku calon tante yang buruk. Aku nggak bisa menyadari kehadiran dia di dalam perut kakak aku. Dia udah nggak ada, bahkan sebelum aku menyapa dia walau melalui perut ibunya saja."

Isakan Salsa semakin kencang. Soraya turut menangis. Ia membayangkan bagaimana perasaan anak itu jika tahu ibunya menggugurkannya. Pasti rasanya sangat sakit.

Di tengah-tengah kedua orang itu menangis. Sosok perempuan paruh baya muncul, memanggil Soraya dengan suara serak khasnya.

"Aya, itu kamu 'kan?"

Tangisan Soraya terhenti, ia merasa tahu pemilik suara ini. Segera ia berbalik dan tebakannya benar. Wajah itu masih sama, tidak berubah.

"Mama," bisik Salsa kepada angin.

"Hai tante."

"Ayo ikut tante dulu. Tante mau ngomong sama kamu."

Soraya mengerutkan dahi. Meski bingung, ia tetap mengikuti langkah ibunya Tasha. Lalu mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja kepada Salsa.

"Saya hanya minta sama kamu, tentang apa yang sudah terjadi dengan Tasha, tidak boleh kamu beritahu kepada siapapun."

Soraya masih bingung. Ia berusaha mencerna omongan ibu Tasha barusan.

"Alvi dan Ryan sudah saya bebaskan. Dan Irfan sedang ditangani tenaga medis."

"Loh?! Nggak bisa gitu dong tante! Itu nggak adil!!!" Amarah Soraya memuncak, tak habis pikir apa isi kepala ibu sinting satu ini.

"Adil apanya?! Kalo berita ini kesebar, kamu pikir saya nggak malu?! Hah?"

Soraya menganga tak percaya. Dia hanya tidak ingin malu? Bukan karena untuk anaknya? Luar biasa sekali?!

"Anda ini terlalu egois untuk menjadi seorang ibu. Sangat tidak layak, ccihh!" Soraya berdecih tepat dihadapan wanita itu.

Karena ia sudah muak dan jijik, Soraya segera menjauh, meninggalkan seorang ibu yang sangat egois itu. Namun, langkahnya terhenti, tatkala nenek lampir itu menyampaikan pendapat bodohnya.

"Kalau sampai berita ini tersebar, kamu pikir, Tasha masih tetap diterima di sekolahnya? Pasti bakalan banyak yang ngejek dia. Nggak ada yang mau terima dia dengan keadaan kayak gitu."

Soraya berdecih lagi, namun lebih sinis. Ia memandang mengejek ke arah orangtua itu.

"Tasha bakal tetep sekolah, dia 'kan korban, nggak salah sama sekali. Kalo ada yang katanya nggak akan terima Tasha dengan keadaan seperti itu, kayaknya iya sih. Ibunya aja nggak mau nerima anaknya kayak gitu, ngurusin aja ogah, apalagi orang lain. Ngaca dulu deh Buk!"

----------/////-----
Penting.

Jadi gini, sebenarnya di part 20, gue salah ketik nama. Gue sebagai penulis cerita sangat merasa bersalah.

Yg benar itu, Alvi sama Ryan yg merkosa   Tasha.

JADI MOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA KAWAN-KAWAN.

Kalau ada typo atau ketidakjelasan alur, mohon dikoreksi yah💕

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang