23. Sudut Pandang Lain (b)

123K 3K 21
                                    

Akhirnya, Alvi kumiliki, seutuhnya. Di malam yang sama ketika aku dan Alvi menghabiskan waktu bercumbu di kamar, saat itu pula Soraya tiba di rumahku.

Jangan berpikir jika hal itu hanyalah kebetulan. Sebab, saat Alvi meminta untuk datang ke rumahku, Soraya pun turut ingin ke rumah. Dan aku menyetujui keduanya datang. Lalu aku membiarkan Soraya melihat segalanya.

Saat ia berada di ambang pintu, aku tahu. Bahkan aku malah melakukan hal-hal yang lebih panas lagi bersama Alvi. Iya, aku sengaja membuatnya lebih sakit hati, sekaligus membenciku dan Alvi.

Jika kalian berpikir aku jahat, aku tak masalah. Selama apa yang kuinginkan tercapai, aku tidak peduli jika dicap sebagai pengkhianat. Lagipula, Soraya masih mampu bahagia meski tanpaku ataupun Alvi.

Esoknya, memang benar perkiraanku, Soraya tidak hancur meski kehilangan aku dan Alvi. Waktu itu, dia cuma bilang, "Sha, andai gue tau kalo lo suka sama Alvi, nggak bakalan ada yang namanya sakit hati diantara kita."

Saat itu aku tersenyum menang. Dugaanku benar 'kan? Alvi tak begitu penting baginya, tapi bagiku Alvi segalanya. Pelitaku, penyembuhku, dan penolongku.

Setelah itu, kutatap wajahnya, yang tak terlihat sedih sama sekali. Lalu kukatakan padanya, apa yang selama ini kurasakan, "Aya, lupain aja tentang kita, pertemanan kita. Apalagia Alvi, dia nggak sebegitu pentingnya di idup lo. Sementara gue? Gue cuma punya Alvi."

Kali itu gantian Soraya yang tersenyum. Kulihat senyuman itu bukanlah kebahagiaan, dan juga amarah. Yang kulihat, dia yang telah tampak berbeda.

"Lo tau 'kan, gue orang yang pantang iri? Dan hari ini gue iri sama Alvi. Kenapa bisa cowok itu gampang banget jadi segalanya buat lo, disaat yang dia lakuin cuma membawa lo ke jalan tanpa arah."

Sampai saat ini pun, kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Aku pun tak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Meski kucoba mencari tahu, jawabannya tak pernah ada dimana pun. Sebab, aku mencintai tanpa alasan. Cintaku hadir turut bersama waktu yang kian bergulir.

Dan saat itu, kujawab pertanyaannya dengan nada culas, "yang gue tau, gue cinta Alvi apa adanya. Nggak kayak lo, yang maunya cuma diperhatiin doang!"

"Kita bentar lagi tamat, lho, Sha. Bertahun-tahun kita berteman, akhirnya lo nunjukin diri lo ke gue, betapa busuknya diri lo."

Masih kuingat jelas wajah Soraya saat mengucapkan kalimat itu. Begitu mencemooh, merendahkan, dan ekspresi jijik yang begitu jelas. Bertahun-tahun kami berteman, aku baru merasakan bagaimana auranya begitu menakutkan ketika marah. Dan yang kulakukan saat itu hanyalah terdiam.

"Gue berani bertaruh, Sha. Andai lo nggak pernah jadi temen gue. Lo nggak bakal mampu deketin Alvi 'kan? Dasar otak lacur!"

Kata terakhirnya membuatku marah. Sehingga saat itu aku langsung mendorongnya cukup keras. Namun yang dia lakukan adalah tertawa. Di tempat yang menjadi awal kita berteman; tempat kumpulan sampah sekolah, menjadi saksi jika aku sama sekali tak layak menjadi teman dari seorang Soraya.

"Lo heran kenapa gue ketawa? Kenapa? Mau tau? Karena elo itu lucu. Kenapa lucu? Karena lo, ngebiarin pertemanan lo ancur cuma karena lo iri dengan apa yang dipunya temen lo, iya 'kan?"

Soraya masih tertawa, menertawakan diriku yang ia anggap bodoh ini. Dan aku tak tinggal diam. Aku kemudian membalas kalimatnya, "lo nggak tau, gimana rasanya jadi orang yang dianggap bayangan! Semua orang cuma natap lo doang! Sementara gue? Cuma ada Alvi yang selalu merhatiin gue?!"

"Cuma Alvi lo bilang? Otak lo ternyata picik yah, Sha. Lo ngomong gitu seolah gue bukan siapa-siapa lo. Seolah gue nggak pernah ada baik-baiknya di mata lo. Yaudah, gue capek ngomong sama orang yang otaknya cuma jadi pajangan."

Soraya kemudian berbalik arah, mulai melangkah meninggalkanku. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia berbalik sebentar, dan mengatakan hal-hal yang mengakhiri segalanya.

"Satu permintaan gue ke elo. Tolong di kabulin. Kemanapun lo pergi, lo dan gue, nggak pernah jadi teman. Mudah 'kan? Kenapa gitu? Karena bagi lo, Alvi segalanya. Karena bagi lo, gue cuma orang yang selalu buat lo iri."

Lalu Soraya benar-benar pergi, meninggalkanku yang masih termangu. Aku adalah perempuan yang tak tahu diri yang tak punya harga diri. Mataku terlalu silau dengan hal-hal yang kupikir paling mampu membuatku bahagia.

Tapi aku salah. Kukira, Soraya akan marah besar kepadaku. Kupikir gadis itu akan mempermalukan diriku di depan banyak orang. Atau mungkin saja, ia akan menyebutkan segala kebaikannya yang tak pernah ternilai di mataku.

Sebab di mataku hanya ada Alvi. Sebab di hatiku hanya ada rasa iri. Hingga aku menjadi buta akan segala hal-hal baik di sekitarku.

Meskipun ada terbesit rasa bersalahku kepada Soraya. Itu tak membuat aku berhenti melakukan pendekatan bersama Alvi. Sudah banyak hal yang terjadi di hidupku. Walau akhirnya aku kembali menjadi bahan hujatan orang-orang. Aku tak peduli, selama Alvi bersamaku, semua akan baik-baik saja.

"Tenang aja, Sha. Kalopun nanti kalo kita ketahuan, kita hadapin sama-sama. Gue nggak bakal lari kemanapun. Gue bakal tetap di sisi lo buat menjaga lo."

Kalimat manis dari Alvilah yang selalu membuatku tenang saat itu. Aku selalu percaya jika Alvi akan menepati janjinya. Aku selalu bahagia ketika aku sadar jika Alvi adalah tipe cowok romantis.

Tapi,...

Benar kata orang-orang. Jika ucapan di mulut dan di hati, sering tak selaras.

Dan, Alvi membuktikan itu di depan mataku sendiri...

------------
Terima kasih buat kalian yang masih ngikutin cerita ini :')

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang