24. Sudut Pandang Lain (c)

124K 2.9K 94
                                    

Sesungguhnya, sebesar apapun kesalahanku dulu. Aku tak pernah menyesalinya. Karena aku melakukannya secara sadar.
-Tasha-

Mungkin ini adalah balasan atas perbuatan jahat yang telah aku lakukan. Atau mungkin saja ini adalah cara Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya padaku. Benarkah?

Mungkinkah Tuhan menyayangiku sementara aku sendiri hampir tak pernah mengingat apalagi menyembah-Nya. Rasanya aku tak percaya. Ini bisa jadi terjadi karena aku yang terlalu sial menjalani kehidupan.

Iya. Sejak kecil, ibuku selalu mengabaikanku. Entah mengapa, aku tak tahu apa yang salah dengan diriku. Tapi aku masih memiliki ayah yang selalu perhatian denganku, melebihi adik dan kakakku. Hal itu membuatku merasa berharga, sebab aku masih disayangi.

Tapi, semuanya menjadi seperti mimpi ketika aku menemukan fakta bahwa ayahku punya istri siri. Aku tak tahu jelas apa yang sedang kurasakan. Sebab kekecewaan yang mendalam tak mampu diwakili oleh kata-kata.

Aku menjadi tersesat. Hatiku selalu berkata bahwa di dunia ini tidak ada laki-laki baik, yang ada hanya sok baik. Sampai akhirnya, Alvi datang di duniaku, memberi cahaya terang yang menyilaukan.

"Kamu nggak bawa kantong merah ya? Ini ambil punyaku aja!" ujar Alvi saat pertama kali bertemu.

Waktu itu aku memang tak membawa kantong merah, benda yang wajib dibawa saat MOS. Lalu Alvi dengan mudahnya memberiku miliknya, yang ternyata hanya ada satu. Dan itu otomatis membuatnya dihukum oleh panitia.

"Lho, kalo kamu kasi aku, kamu pake apa?" tanyaku waktu itu.

"Nggak, pake aja, aku pergi dulu."

Itu saja percakapan kami. Karena ia memilih pergi meninggalkan aku yang masih termangu memegang kantong merah itu. Benda yang paling berharga bagiku, bahkan masih kutaruh di dalam sebuah kotak di kamarku.

Di tengah-tengah aku memungut sampah. Kulihat orang-orang berkerumun. Ternyata panitia sedang memberi hukuman kepada si pelanggar aturan. Aku perlahan mendekat, dan di balik celah, kulihat Alvi yang turut dihukum.

Karena panitia melarang kami menonton, akhirnya aku dan yang lainnya bubar. Tapi diam-diam satu perasaan membuncah di dalam dadaku.

Alvi rela dihukum hanya karena memberiku kantongnya. Berarti dia peduli padaku, bukan? Ia tidak ingin aku dihukum, makanya dia seperti itu. Dan hanya karena hal sepele itu, aku merasa spesial...

Namun, takdir seolah mempermainkan perasaanku. Disaat semua orang telah bersiap untuk pulang. Di jalan, aku mendengar sayup-sayup suara.

"Aya, temenin kamu dihukum, udah jadi kesukaan aku."

Suara itu milik Alvi. Entah mengapa, kalimat itu membuatku membisu. Membuatku menahan nafas sejenak. Ada sesak terasa dalam dada.

Harusnya aku memang tidak pernah berkhayal terlalu tinggi...

Lagipula, mereka pasangan serasi. Soraya sejak pertama kali MOS, ia sudah menjadi pusat perhatian. Bahkan ada panitia cowok yang terang-terangan menyukainya. Sementara yang perempuan, ada yang terang-terangan sengaja membuat gadis itu selalu dihukum.

Sekarang aku sadar. Bagi Alvi, aku hanyalah bayang yang tak pernah ia lihat.

Sampai pada waktu yang selalu kuimpikan; memilikinya seutuh mungkin.

Hal yang paling membahagiakan di hidupku ketika menghabiskan waktu bersamanya. Tidak peduli meski aku harus mengkhianati temanku sendiri. Walau pada akhirnya, Alvi mengecewakanku juga.

"Vi, kamu selingkuhin aku?"

Saat itu, Alvi hanya terdiam. Ia bahkan tak peduli kehadiranku. Dan hal yang dia lakukan saat itu sangatlah menyakitkan bagiku. Harusnya ia meminta maaf padaku, yang ada malah dia pergi menggandeng tangan perempuan tepat di hadapanku. Masih kuingat jelas apa yang ia sampaikan kala itu.

"Sorry ya, gue gak pernah merasa pernah punya cewek jelek kayak lo. Minggir! Nggak usah sok ngaku-ngaku."

Jahat memang, tapi itulah kenyataan. Kenyataannya aku memang jelek, kulitku berwarna sawo matang, sementara wajahku standar, seperti wajah pribumi. Kuakui pula jika kekasihnya saat itu sangatlah cantik.

Kejadian itu terjadi beberapa hari setelah penamatan SMP. Karena aku yang sakit hati, akhirnya aku memilih melanjutkan SMA yang Soraya juga daftari. Anggap saja aku orang yang tak tahu malu. Tapi percayalah, hingga saat ini aku masih merindukannya.

Sampai kemudian, disaat aku menginjak kelas dua SMA, Alvi pindah ke sekolahku, dan berada di kelas yang sama denganku dan Soraya. Ada rasa rindu ketika melihatnya, namun terasa menyakitkan saat mengingatnya.

Lalu di satu waktu ia mengatakan padaku, "Tasha, maafin soal yang dulu. Aku nggak bermaksud buat jahatin kamu."

Aku hanya terdiam kala itu. Saat menatap wajahnya, rinduku semakin menggebu. Meski aku selalu berjanji untuk melupakannya, pada akhirnya, aku lemah dengan segala kata-kata manisnya.

"Tapi, Vi, gue jelek 'kan? Gue gak pantes buat lo."

"Nggak, Sha. Lo nggak jelek. Waktu itu, gue lagi jalanin misi buat buat bales dendam sama tuh cewek, karena dia udah nyakitin temen gue. Selama ini gue rindu sama lo, i miss you."

Dengan begitu mudahnya, aku terbuai, hingga kembali merasakan dekap hangatnya yang telah lama aku rindukan. Meski logikaku menolak, hatiku memilih untuk percaya. Lagi-lagi harapan-harapan kian berdatangan kembali. Mau seperti apapun, Alvi akan selalu kembali kepadaku. Pikirku saat itu dengan tak tahu malunya.

Tapi kembali lagi, hidupku seperti sudah dikutuk oleh semesta. Takdir seolah tak suka dengan diriku yang berbahagia. Disaat semua sedang baik-baik saja. Bencana dahsyat kembali hadir dihidupku.

Di sore itu. Semua terjadi begitu cepatnya. Aku diperkosa oleh orang-orang bejat. Keperawananku direnggut paksa. Hingga benih salah satu dari mereka tumbuh di rahimku.

Yang kulakukan adalah menggugurkan kandunganku. Aku merasa sangat kotor. Depresi dan hilang kendali. Mereka menyuruhku agar membantu mereka agar Soraya masuk ke jebakannya dan nanti, salah satu dari mereka akan menikahiku. Tapi aku tak sanggup.

Aku bahkan sangat malu menatap wajah Soraya. Lebih-lebih Alvi yang pastinya tidak akan menerima perempuan kotor sepertiku. Rasanya aku ingin mati saja.

Lalu kulihat jendela kamarku berbunyi. Mungkinkah itu pertanda?

Aku perlahan bangkit, mendekati jendela. Kamarku berada di lantai dua. Kutatapi langit cerah di hadapanku. Kunikmati angin yang berhembus membelai wajahku. Semua indah, namun tak berarti.

Kupejamkan mataku. Kakiku sudah berada di mulut jendela. Kurapalkan beribu maaf kepada Tuhan, karena telah mendahului takdirnya.

Kurasakan, tubuhku melayang bebas. Aku tersenyum dalam diam. Mataku tetap terpejam. Sesuatu yang keras telah menghantam tubuhku. Perlahan diriku mati rasa.

Aku kembali tersenyum.

Semuanya telah berakhir.

Aku akan bergabung dengan anakku.




--------------
Guys please cek akun tiktokku @aymalyasuw aku habis kena tipu

Tolong dibantu, udah duit tabungan menipis lagi hiks
Tolong disebarin yah biar yang lain nggak kena

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang