21. Dimulai

132K 2.6K 25
                                    

Soraya menghela nafas sambil menatap ke luar jendela. Jari telunjuknya mengetuk-ketuk bingkai kayu jendela. Beberapa menit ia terdiam, membiarkan waktu berlalu begitu saja.

Kemudian matanya beralih ke arah jaket denim yang teronggok di sofa. Ponselnya berdering, pesan dari seseorang yang sejak tadi ia tunggu. Perlahan gadis itu menarik nafas.

Matanya terpejam sembari diam-diam berbisik, "waktunya sudah dimulai."

Ia beranjak, memakai jaket denim dan topi hitam polos senada dengan baju kaos dan celana jinsnya. Ponselnya ia taruh di saku celana. Bersama dengan segala keresahan dalam dirinya, ia melangkah, menuju arah petunjuk.

Saat dirinya telah berada di garasi rumah, ia mengecek kembali isi pesan tadi, memastikan tidak ada kesalahan dalam langkahnya. Setelahnya, ia menunggangi motor matic yang belum ada satu orang pun tahu jika motor itu ada di garasi, termasuk orangtuanya.

Motor itu melaju melewati jalan yang telah sepi. Dingin yang menusuk tak ia hiraukan. Di langit, tergantung purnama yang bersinar terang, memberi kemudahan atas tujuannya. Seseorang di ujung sana melambaikan tangan. Pertanda tujuannya semakin dekat.

Soraya memarkirkan motornya di tempat yang tak terlihat. Pelan-pelan ia melangkah, mendekati orang itu.

Namun...

Sebelum Soraya menggapai orang itu. Seseorang telah memukulnya dari belakang. Segera, ia bersembunyi di balik semak yang rimbun. Jantungnya berdetak kencang. Meski dirinya suka dengan film action, ia tetap tidak suka dengan keadaan mencekam ini.

Ia melihat laki-laki yang menjadi sumber informasinya dipukul membabi buta. Meski wajah kedua laki-laki itu tak ia lihat, namun suara mereka sangat Soraya kenali.

"Bangsaaat!! Beraninya lo ngerekam suara gue! Mati aja lo setan!!!"

"Sini hape lo! Sekalian tangan lo gue patahin!!"

Suara itu...

Soraya tersentak, tenggorokannya terasa kering.

Suara itu milik Alvi dan Ryan.

Benarkah?

Batin Soraya bertanya-tanya. Namun tak berlangsung lama ketika ia merasakan benda asing mengenai tangannya.

Ia meraba benda itu. Ternyata sebuah memori ponsel.

Ketika tatapannya mengarah kepada laki-laki yang sedang di pukul habis-habisan. Disitulah, hatinya terkoyak, kala jerit kesakitan menggema di tengah-tengah hamparan ladang yang tak mungkin di dengar siapapun selain dari mereka yang berada disana.

Masih dengan hatinya yang tak mampu menerima keadaan. Ia diam-diam menyalakan ponsel lalu menelepon polisi sesegera mungkin. Upaya yang harusnya sejak tadi ia lakukan.

*****

Menangis, hanya itu yang mampu Tasha lakukan ketika mendapati testpack menunjukkan hasil positif. Sudah lima buah yang ia gunakan, namun semua hasilnya sama.

Ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Sesak yang ia rasakan tak mampu membendung segalanya.

"Gue salah apa sama kalian?!"

Tasha mencengkram erat-erat rambutnya. Menangis meraung-raung dalam kamar mandi. Ia terduduk, putus asa.

Lalu matanya mengarah ke kepalan tangan.

Ia menarik nafas dalam-dalam. Tangannya mengelus dengan pelan perutnya yang sudah berisi nyama dalam sana. Sambil terisak pilu, ia berbisik dalam sunyi, "maafin mama sayang, kamu nggak bisa ngeliat indahnya bumi seperti apa."

Setelah itu, kedua tangannya bergantian meninju perut itu. Perut yang di dalamnya berada nyawa yang tak berdosa. Meski tak melakukan kesalahan, ia tetap harus lenyap, tanpa pernah merasakan kasih sayang orangtua.

"Akhh!!!"

Tasha meringis diikuti dengan aliran hangat menjalar di pahanya. Ia kembali menangis, bukan karena nyeri hebat di tubuhnya. Melainkan ia telah melenyapkan anaknya sendiri.



















--------
Menurut gue, ini adalah bab terpendek dan tersulit yang pernah kubuat.

CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang