Bima melotot tak suka. Ia tak bergerak sedikitpun dari bangkunya. Sementara ia menolak perintah Bu Kartika dengan tak peduli, Joel yang resah.
Bu Kartika memanggil dua siswa lagi untuk mengerjakan soal lain dan mereka segera menurut, maju ke depan.
Tapi Bima masih mogok. Matanya semakin lebar melotot. Dia pikir dia siapa ? Kepala sekolah ? Enak saja menyuruh-nyuruh di hari pertama masuk sekolah baru.
Ia sengaja tetap mematung untuk memancing kemarahan si guru matematika.
"Bima ? Sudah siap ? Oh, matamu terlalu bagus untuk dipakai melotot seperti itu..." kata Bu Kartika sambil.mendekat.
Suara tawa terdengar di sana-sini.
Kurang ajar, batin Bima dongkol. Ia membuat aku jadi bahan tertawaan !
"Hmm, belum ada ide ya ? Ya, sudah. Resti, kamu yang maju, gantikan Bima," kata Bu Kartika dengan tenang, tidak ada nada kemarahan sedikitpun.
Sial. Dipelototi malah memuji. "Siapa namanya ?" Tanya Bima pada Julizar.
Joel balik memandanginya heran. "Bu Kartika."
Bu Kartika ya. Awas nanti. Kau akan kehilangan kesabaranmu suatu hari nanti ! Bima bertekad bulat.
<<<<<<<<<>>>>>>>
Hari-hari Bima di sekolah barunya ternyata tidak terlalu membosankan seperti perkiraannya. Ia kembali jadi pusat perhatian. Terutama cewek-cewek yang bukan hanya dari sekolahnya tapi juga sekolah lain. Mereka selalu membuntuti dan mengerubutinya. Bahkan tidak sedikit yang langsung tembak di tempat. Rasanya memang susah menolak wajah tampan dengan latar belakang kaya raya. Berganti pacar sudah seperti menyobek halaman buku saja. Tak harus ditulisi. Mudah. Sama seperti di Jakarta dulu.
Dan tampaknya hidup Bima sudah seperti copy paste kehidupan lamanya, hanya dengan ruang lingkup yang jauh lebih terbatas. Ia juga telah menemukan kawan-kawan sealiran seperti Anton, Zaky, Irvan, dan Yogi yang notabene anak-anak orang kaya lokal. Persis seperti dulu. Kegemaran mereka untuk bersantai menikmati hidup dan cenderung tak memperdulikan orang lain dengan cepat menyatukan mereka.
Guru BK berusaha keras untuk tidak bosan menghadapi mereka. Mulai dari bolos, merokok di belakang gudang sekolah, mengganggu teman sampai berurusan dengan beberapa guru. Tapi yang mengherankan, kepopuleran Bima dengan gerombolan barunya tidak mengurangi jumlah penggemarnya.
Apalagi setelah guru olahraga melihat potensi yang dimiliki Bima dengan tinggi 180 senti, posisi center dalam tim basket sekolah segera dipegangnya. Dan basket adalah salah satu hal yang membuat hidupnya bersemangat.
Hal lain yang juga membuatnya bersemangat bukanlah hal positif. Ia masih bertekad membuat guru-gurunya kesal sebagai bentuk protes pada keadaan yang ia harus jalani.
Terutama pada si guru matematika cantik berambut sebahu, Bu Kartika.
Alhasil tiga bulan menjadi siswa SMA 1 Balai Ratu, Bima sering menjadi bahan pembicaraan para guru di kantor. Nilai-nilainya memang tidak terlalu buruk, bahkan sangat bagus untuk bahasa Inggris, tapi matematika dan fisikanya payah.
Mau tak mau nama harum Nenek Bima sebagai orang terpandang di wilayah itu, yang tidak segan memberikan bantuan baik kepada masyarakat maupun sekolah, mempengaruhi banyak penilaian.
Tapi tidak berpengaruh pada Bu Kartika yang terus dirongrong Bima dengan berbagai cara. Si bengal itu suka menyeletuk aneh ketika bu Kartika sedang menjelaskan dengan serius. Lain waktu mendadak di meja guru tersaji sepiring penuh gorengan hangat aneka rasa lengkap dengan sambal ekstra pedas yang baunya menyengat hidung. Atau setangkai mawar indah tapi dilengkapi dengan seekor kumbang hitam besar yang terikat dengan seutas benang ke tangkai mawar.
Kemudian yang lebih ekstrim juga dihadirkan Bima dengan bantuan gengnya. Seekor cicak mati dalam buku absen yang membuat Bu Kartika terperanjat. Ular karet yang mendadak masuk ke dalam tempat pensilnya dan dua ekor ulat hijau gemuk yang menggeliat-geliat di sela-sela bunga plastik di meja guru.
Bu Kartika sendiri tak habis pikir mengapa si bengal itu tak henti-hentinya menjaili dirinya. Beberapa kali ia hampir meledak, tapi segera ia sadar, itulah yang ditunggu Bima sebagai tanda kemenangan, seperti yang ia lakukan pada guru-guru lain. Ia hanya mengembalikan semua kejailan Bima dengan kata-kata lucu tapi menyindir yang membuat si bengal bertambah panas.
"Di mana sih tinggalnya Bu Kartika ini ?" Tanya Bima pada gengnya suatu hari.
"Mak mane kau ikak ni. Bak e tu begawe di tempat nyaimu. Madak i dak tau," jelas Anton dengan logat bahasa Ogan yang kental. (Gimana kamu ini. Bapaknya itu kerja di tempat nenekmu. Masak gak tau).
"Hah ? Benarkah ?" Bima tak percaya.
"Ai dah. Tanyekelah dewek men maseh dak pecaye," kata Anton lagi (eh, dah. Tanya sendiri kalau masih gak percaya).
Bima paham bahasa ibu neneknya, tapi ia sulit untuk mengucapkannya. Ia manggut manggut sambil berpikir.
"Kau ini kenapa dendam kesumat sama Bu Kartika ?" Tanya Zaky penasaran.
"Bukan dendam, cuma sebel dengan sambutan soal matematikanya di awal aku masuk. Ditambah gayanya yang sok sabar itu...."
"Bukan bela Bu Kartika ya, Bim. Tapi dua tahun aku diajar sama dia, hehehe, maklum tinggal kelas... Dia memang sabar kok," sahut Yogi.
"Ya itu. Aku ingin lihat dia ngamuk." Bima meringis.
"Wah, sulit, man !" Kata Irvan. "Sudahlah. Lebih baik kau cari korban lain. Bu Wati atau Bu Ita....." Irwan tergelak nakal menyebutkan dua nama guru yang paling sering dibuatnya marah.
"Ah, bosen. Bukan tantangan itu. Mereka sih memang sumbu pendek," ujar Bima enteng.
"Hei, lihat. Si Joel kerempeng. Ajak bicara dikit yok ?" Zaky nyengir senang menemukan korban.
Mereka mulai mengganggu Joel yang ketakutan dan terpojok di belakang perpustakaan. Ia mencicit putus asa minta buku-buku yang baru ia pinjam untuk dikembalikan. Ia sempat menoleh berharap Bima yang hanya duduk diam mau membantu. Tapi Bima sama sekali tidak peduli. Ia menatap ke arah lain seolah tak terjadi apa-apa, padahal buku-buku pinjaman Joel sudah melayang ke segala arah.
Puas dengan satu keisengan, mereka mencari mangsa baru. Dan itu berlangsung hampir setiap hari tanpa terdeteksi guru piket atau guru lain. Mereka lihai memilih tempat yang luput dari pengawasan sekolah dan tidak ada yang berani melaporkan karena mereka diancam.
Bima yang secara tak langsung berperan sebagai pimpinan geng berandal itu kadang-kadang saja ikut turun tangan. Ia lebih banyak tertawa-tawa menyaksikan ulah gila kawan-kawannya atau hanya memperhatikan dari jauh sambil menanggapi beberapa cewek yang mendatanginya.
Sampai suatu hari.
Bu Kartika sedang asyik memilih buku-buku baru yang didapat dari Perpustakaan Daerah ketika ia mendengar suara gaduh dari pojok belakang di luar perpustakaan. Ia mengintip dari jendela dan melihat Bima beserta gengnya, masing-masing memegang rokok menyala yang entah didapat dari mana, tengah mendorong-dorong kasar dua siswa kelas X yang kelihatan hampir menangis ketakutan.
"Biarkan saja, Tika," cegah Bu Eni, petugas perpustakaan yang sudah sepuh. Ia melihat raut wajah Bu Kartika yang mulai marah. "Sudah sering dan biasa. Kalau bosan juga berhenti sendiri."
Bu Kartika tersenyum pahit dan melangkah tak sabar ke arah belakang perpustakaan. Tidak bisa dibiarkan, pikirnya.
Hai, stargazers.
Bu Kartika akhirnya ngamuk. Gimana reaksi Bima ya ?
Apakah Bima dan gengnya berhasil ditangkap basah ?
Oke. See you soon. Thank you.
Deningcaya.
![](https://img.wattpad.com/cover/148022166-288-k24294.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...