Pagi-pagi sekali Bima sudah siap di meja makan, mendahului Kartika dan neneknya. Ia sudah terbiasa hidup disiplin dengan jadual latihannya yang padat. Ia bukan Bima yang dulu yang susah bangun sampai alarm menjerit-jerit atau sinar matahari pagi mencolok matanya langsung.
"Wah, cucu kesayangan Nenek sudah ganteng dan rapi." Nenek Marti mencium kening Bima.
"Cucu kesayangan kok kalah hak sama calon cucu mantu," gurau Bima.
Nenek Marti tertawa. Kartika yang berada sudah mengambil tempat di sebelah Bima langsung menendang kakinya.
"Aduh! Kamu ini, bukannya dikasih hadiah selamat pagi yang mesra malah tendang-tendang kaki. Apa aku salah ngomong?" Bima kumat jailnya.
Nenek Marti menaruh kunci mobil tepat di hadapan Bima. "Nih, biar berhenti mulut cerewetmu. Pakai sana sampai bosan. Kalau mau surat-suratnya sekalian, itu ada di lemari. Apa ? Ngiri juga karena Tika kubagi warisan ? Protes sana sama mamamu. Semua kan punya mamamu nantinya. Dia juga yang menyetujui bagian Tika."
"Mama ? Astaga. Ternyata sudah lama setuju dengan calon mantu."
"Bukan begitu, Bim. Kami bisa lihat Tika dapat diandalkan untuk bisa mengelola yayasan."
Kartika hanya bisa diam, antara tersanjung dan malu-malu.
"Yah, Nek. Kalau Kartika disuruh ngurus yayasan di sini, aku bagaimana di Jakarta ?" kata Bima manja.
"Ah, itu urusan kalian berdua nanti."
Wajah Kartika menjadi merah padam. Nenek bicara seolah-olah kami sudah mau menikah besok, kata Kartika dalam hati.
"Yah, masih malu malu kucing juga Sayangku ini. Lihat wajahnya, Nek," goda Bima.
Nenek Marti tersenyum. Ia puas tidak lagi melihat kesedihan di mata gadis kesayangannya. Ia bisa menyimpulkan bahwa percakapan panjang keduanya tadi malam sudah bisa memecah banyak masalah.
Bima memacu mobilnya dengan lincah, menghindari jalanan yang berlubang di sana-sini. Mereka sampai SMP Hevea beberapa menit sebelum jam tujuh.
"Heiii, kok langsung ngeloyor?" Bima mencegah Kartika yang akan langsung turun. "Sini dulu."
Kartika beringsut lagi dengan tak sabar. "Apa sih, Bim? Aku piket hari ini."
Bima mencium pipi Kartika lalu tersenyum lebar. "Doping pagiku."
Kartika yang merasa wajahnya sudah memerah cepat-cepat turun. Dan astaga! Beberapa siswa sudah berkerumun di dekat mobil.
"Pagi, Buuu." Mereka bergantian menyalami Kartika.
Bima membuka kaca dan melambai pergi.
<<<<<<<<>>>>>>>>>
"Makan siang dulu, Bim," ajak Joel di SMA Balai Ratu setelah dua pertandingan yang diwasiti Bima berakhir.
"Makasih lah. Aku mau jemput pacar."
"Cieee, CLBKmu sukses ya ?" Goda Zaky yang mulai membuka nasi kotaknya.
"Kalian tunggu saja undangannya."
Zaky terbatuk-batuk di suapan pertamanya. Bima melemparkan sebotol air mineral di sampingnya.
"Astaga.... Ternyata kamu serius, Bim... " Zaky menatap Bima tak percaya.
"Heh, kalau statusku bukan muridnya, dan jika keadaan tidak jadi ribet, sudah kunikahi dari dulu Kartika."
Joel garuk-garuk kepala, merasa canggung dengan panggilan langsung Bima pada mantan gurunya itu tanpa embel-embel 'Bu'.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...