Liburan dua minggu dilewatkan Bima dengan berbagai latihan dan sparing tanding ke berbagai tempat.
Jika ada waktu luang ia langsung mengajak Kartika jogging pagi keliling perumahan, jalan santai bertiga bersama nenek Marti, atau dengan senang hati menerima perintah untuk pergi belanja ke Palembang. Dengan Kartika tentunya. Dan nonton juga pada akhirnya.
"Gimana sparing tandingmu kemarin ?" Tanya Kartika sambil mengaduk adonan gorengan di dapur nenek Marti. Sore ini sang pemilik perkebunan akan mengumpulkan mandor-mandor dan keluarganya. Acara kekeluargaan dan arisan rutin bulanan.
Kartika dan ibunya tak pernah absen ikut membantu walaupun ada dua pembantu nenek Marti. Sudah jadi kebiasaan, setidaknya itu yang diingat Kartika sejak kecil.
Kecuali jika keluarga Bima datang berkunjung, ia tidak akan muncul. Ia tidak suka tatapan Bima yang waktu itu masih SD kelas 1 atau 2. Apalagi jika si kecil itu mulai jail menepuk pantatnya sambil berkata, "Kakak cantik... Jadi pacarku yaa ?"
Setelah beberapa kali terjadi, Kartika yang sudah SMP memutuskan tidak akan muncul di rumah nenek Marti jika si kecil jail itu datang. Malu dikerjai anak kecil.
"Aku gitu waktu kecil ?" Kata Bima tak percaya. "Kamu gak pernah muncul lagi sesudahnya. Pantas aku gak ingat padamu."
"Player kelas hiu. Mana ingat berapa gadis yang sudah pernah dijadikan mainannya," sindir Kartika. "Masih ingusan aja sudah genit."
Dan Bima hanya bisa meringis sambil garuk-garuk kepala.
Siang itu para ibu sibuk dengan tugas masing-masing. Nenek dan ibu Kartika sedang pergi ke toko kue di kecamatan, dua pembantu nenek sedang mempersiapkan peralatan makan yang disimpan nenek di lantai atas.
Kartika menyiapkan minyak untuk menggoreng bakwan dan pempek pistel spesial.
Bima yang baru pulang sparing tadi malam dari kabupaten tetangga yang lumayan jauh jaraknya tiba-tiba muncul di dapur. Wajahnya masih sembab karena bangun kesiangan dan rambut acak-acakan.
Ia mencomot dua kue yang ada di meja besar di dapur dan langsung mengunyah dengan nikmat.
"Hei, dengar nggak pertanyaanku tadi ?" Tegas Kartika.
"Iya, iya, dengar..." jawab Bima malas. Suaranya terdengar aneh karena mulutnya penuh.
"Terus ? Menang ?"
"Jelas dong."
"Wah, sombongnya."
"Gak gitu. Tapi mereka kayaknya gak terlalu siap. Jadi kami bantai habis. Enteng."
"Hhh... Jangan terlena, Bim."
"Jadinya aku seperti jual tampang aja di sana." Ia melirik, menanti ekspresi kesal Kartika.
Tapi gadis itu tampak biasa saja. Ia mulai menggoreng bakwan. "Oh, ya. Laku berapa jualan tampangnya ?"
"Laku keras. Seperti biasa. Cewek-cewek jerit-jerit, minta kenalan dan nomor telpon."
"Hebat. Seleb lokal," sindir Kartika. "Kalau orang yang gak kenal kamu dengar kata-katamu tadi, pasti kamu kena cap arogan."
"Terserah." Bima kembali memasukkan sepotong kue ke dalam mulutnya dan satu lagi di tangannya.
Kartika segera mencegahnya. "Taruh. Sudah cukup. Itu kue pesanan limited edition. Itu Nenek sama Ibu pergi mau beli lagi karena kurang. Ambil yang lain aja."
"Pelit."
"Biarin." Kartika merebut kue itu dari tangan Bima. "Mandi sana !"
"Gak mandi juga masih ganteng."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...