"Bima, Papamu ingin bicara," kata Nyonya Nararya dengan wajah sangat serius.
Bima yang baru pulang berkeliaran dengan gank-nya agak kaget dengan ekspresi sang ibu yang biasa ceria dan ramah. Dan lagi, ayahnya mengajak bicara selarut ini jelas bukan hal main-main.
Bima melirik ke arah pintu berukir kamar kerja sang ayah. Ayahnya, seorang pengusaha jaringan pusat perbelanjaan dan hotel serta pemilik beberapa perusahaan ternama, bukan jenis orang yang banyak mengumbar kata. Dan meskipun ia tahu kedua orangtuanya sangat menyayangi dirinya, sang ayah tak bisa lagi dibantah saat ini.
Dengan langkah berat, Bima yang diikuti ibunya membuka pintu ruangan yang paling jarang ia masuki di rumah ini.
Bima duduk di sebelah ibunya di sofa dekat meja kerja ayahnya.
Pandu Nararya memberikan tatapan yang langsung membuat ciut nyali anaknya.
"Ada panggilan lagi dari sekolahmu. Sepertinya ini yang terakhir."
Bima tahu ini akan terjadi jadi ia tenang saja.
"Kurang perhatian apa lagi kami padamu? Mengapa kau terus berulah tidak karuan seperti ini?" Suara ayahnya tegas tapi menahan amarah yang besar.
Pramitha Nararya, sang ibu tidak berkomentar sedikitpun. Ia hanya diam memperhatikan.
"Apa maumu dengan segala kelakuanmu ini ? Bolos berturut-turut sampai seminggu ? Belum lagi akumulasi absenmu. Hampir satu bulan alpa. Hah. Kau tipu kami ...."
Bima terdiam.
"Papa ikut memantau dirimu lewat Mamamu. Kau harus paham dengan segala kesibukan Papa dan Mamamu... Kami sangat menyayangimu Bima Abhiyoga."
"Aku tahu itu, Pa," bisik Bima lirih.
"Hmm, bagus kalau kau tahu. Tapi Papa tak habis pikir untuk apa kau sia-siakan waktu sekolahmu dengan teman-temanmu yang tidak jelas itu ? Oh, benar. Papa tahu mereka anak-anak rekan bisnisku, tapi kau punya pikiran sendiri. Untuk apa kau ikuti mereka keluar masuk klub, foya-foya dengan wanita, dan pasti minum-minum juga. Benar ?"
"Seringnya, Pa," jawab Bima jujur.
Ibunya menutup mata untuk sesaat. Tak percaya putra kecilnya yang tak ia sadari sudah tumbuh dewasa melakukan hal hal semacam itu. Rasanya tak kurang ia menumpahkan kasih sayang dan perhatian pada dia.
"Sejak masuk SMA kau semakin menjauh dari kami. Jika kau bilang ini bagian dari proses kedewasaan Ayah akan bilang kau bodoh. Padahal kami tahu kau cukup cerdas. Kau sudah satu kali tidak naik kelas karena ulahmu sendiri. Kau ingin mengulanginya lagi ?"
Bima tampak ingin mengatakan sesuatu.
"Oke. Silakan ganti bicara."
Bima memandang sekilas ibunya dan menggosok-gosok jeans lusuhnya. Jaketnya menguarkan bau rokok dan alkohol.
"Bima hilang motivasi belajar... Kalau dipikir, benar kata teman-teman. Untuk apa duduk di kelas sepanjang hari, kadang diamuk guru karena masalah sepele, kalau pada akhirnya nanti semua teori itu hanya jadi penghias nilai raport. Hanya itu. Kalaupun masih dipandang perlu, kami hanya perlu lulus."
Sorot kemarahan semakin intens di mata sang ayah, tapi Bima luput memperhatikan. Ia terlalu sibuk dengan pembenaran dirinya.
"Baik. Teruskan...."
"Begini, Pa. Menurut kami, semua nilai yang harus kami dapat di sekolah itu tidak terlalu berguna karena hidup kami pasti terjamin dengan baik. Bukankah kami bisa jadi penerus keluarga yang lebih baik jika kami belajar langsung dari pengalaman lapangan ?"
Sang ibu menutup mulut, sulit mempercayai omongan anaknya.
Pandu Nararya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mondir.
"Dengan penuh rasa hormat dengan semua teorimu dan teman-temanmu, Papa sangat setuju jika kau ingin belajar langsung dari pengalaman. Tapi kau juga butuh proses ke arah sana. Proses yang bisa kau dapat dengan bersekolah. Berkumpul sehat dengan teman-teman sebayamu, mengembangkan pikiran dan daya kreativitas, dan tentu saja mempelajari teori-teori yang bisa menjadi dasar pengalamanmu nanti...."
"Tapi, Pa... Aku sudah bosan dengan sekolah..."
Pramita Nararya mulai menitikkan air mata. Ia merasa bersalah dengan keadaan Bima sekarang.
Bima paling tidak tahan melihat wanita yang disayanginya itu menangis. Ia memeluknya.
"Dengar baik-baik, Bima. Kami sudah putuskan. Sebelumnya Kau harus tahu ini sangat sulit bagi kami, tapi harus segera dilakukan. Kau tak bisa berlarut-larut seperti ini."
Bima menatap ayahnya. "Apakah ini ultimatum untukku, Pa?"
"Terserah kau menganggapnya apa. Kami ingin kau berubah. Maka kami beri kau dua pilihan."
Mata Pandu Nararya menampilkan sorot ketegasan yang Bima tahu ini adalah saat yang sangat serius. Jadi ia hanya berani menyimak.
"Pilihan pertama, kau akan kami ungsikan ke tempat nenekmu di Palembang..."
Bima tercekat. Oh, tidak. Ia harus bicara. "Tempat Nenek ?" Ia melihat sorot mata ayahnya agak surut, jadi ia meneruskan bicara. "Tapi.... Itu tempat yang sepi. Aku bisa jadi pertapa di tengah hutan dan kebun di sana."
"Jangan terlalu melebih-lebihkan. Tempat itu hanya dua jam perjalanan ke kota Palembang, dan ada kota kecil yang cukup ramai dekat perkebunan nenekmu."
"Tapi tetap saja, itu bukan Jakarta..."
"Palembang kota besar, Sayang," kata sang ibu menenangkan.
Bima menggerutu dalam hati. Pilihan yang aneh. Rumah Nenek, huh. Itu sih tempat jin buang anak. Sepinya minta ampun !
"Kalau kau tidak suka dengan pilihan pertama tadi, dengan berat hati kuberikan pilihan kedua," kata ayahnya lagi.
Sang ibu mendadak gelisah.
"Pilihan kedua, kau boleh pilih tempat manapun di muka bumi ini untuk pergi...."
Raut muka Bima berubah ceria.
"Papa akan memberikan modal dan sebagian hakmu untuk kau kelola sendiri di situ."
Bima hampir bersorak girang, tapi tunggu. Hak ? "Apa maksud Papa dengan hakku ?"
Ibunya menundukkan kepala dengan cemas sementara sang ayah masih berekspresi tenang.
"Hak warismu."
Bima mulai ada yang bergejolak dalam rongga dada dan perutnya. "Hak warisku ?"
"Ya. Akan kami berikan separuh aset keluarga yang menjadi hakmu. Tapi.... Kau akan kami anggap hilang dari kehidupan kami."
"Maksud Papa dan Mama, kalian... eh tidak eh... menganggapku anak lagi ? Begitu ?" Bima menatap orangtuanya bergantian dengan cemas.
Sang ibu menutup wajah dengan kedua belah telapak tangannya.
"Kalian tidak serius, kan ?" Suara Bima mulai serak.
"Kami serius," jawab sang ayah datar.
"Tapi aku anak tunggal kalian," suara Bima semakin serak dan rendah.
"Apa boleh buat."
"Papa tega ? Dan Mama ? Mama juga setuju dengan ide gila ini ? Ayolah, Ma. Jawab. Kalian hanya menakut-nakuti aku, kan ?"
Ibunya menggelengkan kepala dengan berat.
Oh, celaka. Ini serius, jerit Bima dalam pikirannya.
Hai, stargazers.
Kenalan sama Bima yaakk. Semoga penasaran terus ngikutin kisahnya.
Jangan ragu komen n vote ya??
Thank you. See you soon.
Deningcaya
![](https://img.wattpad.com/cover/148022166-288-k24294.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
Fiksi Umum(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...