Bima melepaskan pelukannya. "Kenapa diam ?"
"Bim... Aku... Ada yang ingin kamu tahu..."
"Stop. Aku yang tanya dulu."
Kartika menatap Bima was-was.
"Kamu sedang pacaran dengan orang lain saat ini ?"
Kartika menggeleng.
"Oke. Bagus. Berati aku tidak perlu kirim pembunuh bayaran.Kamu kangen padaku?"
Kartika tersenyum tapi tidak menjawab. Ia menunduk ragu.
Bima mengangkat dagunya. "Harus dijawab. Jujur. Meskipun kalau kamu jawab tidak, aku masih akan tetap berusaha membuatmu rindu kembali padaku. Seperti dulu."
Semua yang akan diucapkan Kartika tercekat di tenggorokan. Ia menatap mata Bima. Masih indah seperti dulu dan masih memabukkan jika dipandang.
"Kalau kamu diam terus, aku juga akan tetap di sini. Biar Nenek menunggu sampai malam."
Kartika melotot. Tadi ia melihat Bima yang semakin tenang dan dewasa, tapi sekarang sudah mengeluarkan lagi ancaman gila seperti remaja. Ia menyerah dan mengangguk pelan.
"Sangat rindu seperti aku ?"
"Iya, Bim. Tapi..."
"Simpan saja tapi-tapimu. Kita pulang."
Nenek Marti langsung menyambut Kartika dengan pelukan dan curahan kasih sayang seperti pada anaknya sendiri.
"Nek... Nek... Cucunya yang asli di sini, Nek. Kenapa Kartika saja yang disambut," gerutu Bima setengah bercanda sambil membawakan tas Kartika.
"Hesh, kamu sudah Nenek sambut kemarin. Tidak usah rewel." Tiba-tiba sang nenek menoleh. "Kartika saja ya ? Tanpa 'kakak' ? Kenapa kedengarannya kamu sudah fasih dan biasa panggil begitu?"
Bima meringis lucu. "Ah, Nenek. Masak panggil calon istri 'kakak'. Nenek mau dengar aku panggil dia 'sayang'?"
Kartika melotot ngeri.
"Nek, dia marah. Aku kabur dulu lah. Dia kalau marah suka kasih pe-er trigonometri yang sulit-sulit."
Nenek Marti terkekeh sementara Bima menghilang ke lantai atas. Suara tapak kakinya di lantai kayu menimbulkan bunyi yang khas.
"Tika jadi malu, Nek... Sudah lima tahun, baru ketemu Bima sudah bicara aneh-aneh begitu."
"Tidak aneh, Nak. Nenek paham perasaannya. Eh, tunggu dulu. Kamu tidak kangen Bima?"
Kartika menarik napas. "Sangat, Nek. Tapi lima tahun bisa membawa banyak perubahan."
"Hatimu berubah ?"
Kartika tidak bisa berbohong pada wanita tua ini. Dari kecil bersamanya sudah seperti bersama kedua orangtuanya.
"Tidak, Nek. Sedikitpun tidak. Justru hati Bima yang mungkin bisa berubah."
"Hmm, kamu mandi dan istirahatlah sebentar. Nanti setelah makan malam kalian harus banyak bicara, mengisi lima tahun kalian yang hilang."
Kartika tersenyum mengiyakan.
"Tapi Tika," Nenek Marti tersenyum aneh. "Bima sudah dewasa sekarang. Kalian tidak punya lagi penghalang untuk bisa bersama...."
Ada, Nek... batin Kartika.
"Aku percaya padamu, tapi aku tidak percaya pada cucuku yang nekatnya suka kelewatan. Kau mengerti ?"
Kartika tersenyum malu. Tapi dalam hati ia merasa sedih. Ia sudah berusaha menyisihkan semua, tapi berhadapan kembali dengan Bima membuat hal ini kembali mencuat hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
Fiksi Umum(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...