Tersadar

6.7K 594 5
                                    

Sang ibu menatap wajah anaknya yang penuh keraguan.

"Ngaku deh, Ma. Sudah tahap serius banget kan sama si Rudy waktu dulu? " desak Pandu Nararya sambil menarik kursi di dekat anak dan istrinya.

"Iya, sih. Sudah tunangan malah."

"Benar, kan Bim ?" Kata sang ayah dengan santai.

"Tapi ketika Mama jatuh cinta pada papamu, itu suatu hal yang sangat berbeda," jelas ibu Bima sambil menerawang jauh. "Mama yakin dan mantap untuk mencintai papamu dengan segala kesadaran bahwa kami akan menemui kesulitan selain dari kebahagiaan yang kami harapkan. Tapi Mama sangat yakin bisa melaluinya dengan papamu. Dalam suka dan duka lah intinya."

Papa Bima mendekati istrinya dan mencium keningnya. "I love you, Ma."

Bima hanya bisa tersenyum menyaksikan kemesraan orangtuanya. "Bikin ngiri," bisiknya.

"Nah, siapa gadis yang kau cintai seperti itu, Bim?" Tanya ayahnya. "Bukan Nasya, kan ?"

Bima agak terkejut dengan komentar ayahnya. Ia mengerutkan kening tanda tak setuju.

"Ah, pakai acara nggak setuju," giliran ibunya yang berkomentar.

"Darimana Papa dan Mama menarik kesimpulan semacam itu ? Selama beberapa tahun ini aku hanya dekat dengan Nasya."

"Dari nada bicaramu," jawab ibunya.

"Dari ekspresi wajahmu," sambung ayahnya.

Bima terdiam.

"Sayang, jangan lupa kalau kami orangtuamu ini, kenal betul semua tingkah polahmu," kata sang ibu bijak.

"Belum terlambat untuk membuat keputusan dan menetapkan ketegasan," nasihat sang ayah.

"Tapi, Pa.... Kami sudah jalan bersama lebih dari empat tahun sekarang ini...."

"Kamu yang menjalani, Bim. Terserah padamu. Mama hanya mengingatkan, tidak akan sama hidupmu jika hanya memaksakan sebuah perasaan. Apalagi sudah selama itu."

Malam harinya Bima berbaring di kamarnya sambil mendengarkan suara bening Norah Jones.

Hah, Norah. Biasanya kau buat aku cepat mengantuk, kata Bima dalam hati. Tapi kenapa sekarang lagu-lagumu malah membuat aku teringat pada banyak hal ?

Lima tahun sudah ia meninggalkan Palembang dan perkebunan neneknya. Lima tahun. Dan sekalipun ia belum pernah menginjakkan kaki lagi di sana.

Rasa rindu yang terus dipendamnya dalam-dalam kini semakin sulit dibendung.

Kedua orangtuanya rutin menyambangi nenek Marti. Tapi Bima selalu menolak untuk ikut. Mereka tak pernah sekalipun menyinggung soal dia. Dan meskipun ia sering dilanda rasa penasaran yang kuat, Bima tak sanggup bertanya-tanya.

Waktu lima tahun telah menjernihkan pikirannya sedikit demi sedikit. Dan seiring dengan waktu, kemarahan dan kebenciannya pada wanita itu terkikis habis. Hari demi hari Bima mulai menyadari bahwa semua yang dilakukan Kartika adalah untuk dirinya, untuk masa depannya.

Ia tak bisa membayangkan jika ia tetap bertahan di sisi wanita itu di sana. Ia akan susah beranjak menjadi lelaki dewasa yang tetap mengandalkan emosi dan egoisme. Ia akan tetap menjadi anak manja yang hanya fokus pada kepentingan dirinya dan apa yang diinginkannya, tanpa peduli pada Kartika yang akan selalu dilecehkan orang dengan macam-macam praduga karena berhubungan dengan muridnya sendiri.

Prestasi mungkin akan tetap didapat, tapi tidak seperti ini. Sampai lulus kuliah, ia sudah masuk ke salah satu klub basket besar dan ikut memperkuat tim Indonesia di ajang Asia, menjadi bintang iklan beberapa produk juga membintangi beberapa film meskipun bukan peran utama.

The Teacher and The HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang