Lorong Rasa

6.9K 543 56
                                    

"Hei, Tika. Menginap di Palembang, ya?" Sapa Bu Yanti, seniornya mengajar di sekolah yang baru, sekaligus tetangganya di perumahan guru.

Sejak ayahnya pensiun dan pulang kampung ke Lampung, Kartika tinggal di perumahan guru milik yayasan nenek Marti. Ia mulai betah menyepikan diri di kampung yang tenang itu.

Menyepikan diri sekaligus menghindari semua kenangan yang tersimpan rapi dalam lemari-lemari memorinya.

"Iya, Bu," jawab Kartika seramah biasanya, menekan emosi yang siap meluap.

"Waah, seru nih. Pasti jalan-jalan sama tunangan. Ah, Andre memang hebat."

Duuunggg ! Kepala Kartika serasa dibenturkan ke gong besar yang bunyinya langsung menggema menyakitkan. Tapi bukan kepalanya yang paling sakit. Hatinya yang sangat sakit ketika nama laki-laki biadab itu disebut.

"Nggak kok, Bu. Hanya reuni kecil dengan teman-teman kuliah. Kebetulan pulangnya dia yang antar." Bagus. Bohong.

Untung saja Bu Yanti tidak sempat melihat perubahan wajahnya yang jadi pias. Terutama saat nama itu disebut. Kecoak penuh bakteri itu.

"Permisi dulu, Bu. Mau istirahat. Capek betul..." Kartika menatap pintu belakang rumahnya. Masih kuat. Beberapa meter lagi.

"Silakan, Tika."

Andai Bu Yanti tahu. Tapi dia tak akan pernah tahu, batin Kartika.

Begitu pintu belakang rumahnya terkunci, senyum yang menghiasi wajah Kartika langsung lenyap tak berbekas. Ia menatap kosong ke depan. Dengan kaku ia mengambil handuk dan pakaian ganti. Ia ingin segera mandi, menyingkirkan sisa bau yang menurut perasaannya masih ada yang menempel.

Ketika siraman air pertama membasahi kepalanya, ia tak bisa menahan diri lagi. Ia menangis sejadi-jadinya, tanpa suara.

Hari mulai gelap dan Kartika kembali meneruskan meringkuk memeluk guling di tempat tidur setelah menyalakan lampu-lampu. Guling itu telah basah di sana-sini dan Kartika masih terisak-isak pelan.

Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia hanya ingin menangis.

Beberapa nama muncul dari bibirnya yang gemetar. Bima... Ibu.... Bapak..... Nenek.... Bima... Bima....

Saat ini ia sangat merindukan orang-orang tercintanya itu. Terutama Bima. Kerinduan Kartika padanya terasa mengiris hati.

Seandainya bisa menangis dalam pelukan hangatnya, mendengarnya bercanda untuk menghilangkan segala perih ini, batin Kartika sedih.

Kemudian ia sadar sesuatu. Ia telah kehilangan miliknya yang sangat berharga. Angan itu menguap di kosongnya ruang. Tidak akan sama lagi.

Apakah ia akan bercerita kepada nenek Marti ? Jelas tidak. Jika ia tahu alasan lelaki gila itu menjadi hilang akal adalah masalah warisan yang belum pernah disinggung-singgungnya, pasti nenek Marti syok. Tidak. Ia tidak mau melihat wanita itu sakit.

Juga ayah dan ibunya yang pasti bereaksi serupa.

Lapor polisi ? Kartika benci mengakui tapi laki-laki itu benar. Orang tidak akan percaya, ditambah kasus yang pernah melekat pada dirinya, sang nenek sihir jahat yang memantrai murid tampannya. Tidak akan ada yang percaya. Dan bila ia mau diperiksa untuk bukti pun, ia tak akan sanggup mengangkat kepala melihat kembali tatapan masyarakat yang serba ingin tahu dan  separuh menuduh dirinya.

Setelah puas menangis, Kartika mengambil ponselnya.

"Halo, selamat malam..... Bapak ? Apa kabar.... Ibu sehat ?....."

Kartika berusaha mengisi kegelapan dalam hatinya dengan menyapa orangtuanya. Sekedar berbincang, tanpa menyinggung peristiwa itu. Setelah hatinya mulai terisi sedikit cahaya dari suara orangtuanya, ia ingin menambah sedikit cahaya lain. Ia memencet nomor nenek Marti.

The Teacher and The HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang