Langit semakin mendung.
Kartika terkejut ketika Bima tiba-tiba mengerem motor hitam itu tepat di hadapannya yang sedang menunggu angkutan umum di depan gerbang sekolah.
"Bareng, Bu ?" Tawar Bima ramah.
Hah? Kartika heran dengan keramahan Bima yang mendadak itu.
"Angkutan masuk ke tempat kita yang terakhir sepertinya sudah lewat tadi. Penuh."
Kartika bimbang. Meskipun keterangan Bima sangat masuk akal, tapi ia masih ragu menerima tawaran itu.
"Ayolah, Bu. Sudah mau hujan, nih. Daripada naik ojek. Dibonceng orang yang gak kenal di cuaca seperti ini. Kalau saya kan jelas identitasnya. Lagipula rumah kita kan deketan ?"
Angin dingin yang biasanya datang mengawali hujan bertiup kencang. Jalanan mulai sepi. Hanya tinggal beberapa siswa kelas XII yang menunggu jemputan di depan gerbang.
"Okelah," putus Kartika. Ia naik ke boncengan motor Bima yang tinggi dengan susah payah. Ia bingung mencari pegangan.
"Biasa aja, Bu. Jangan pakai malu-malu. Kondisi darurat ini. Pegangan pinggang saya saja."
"Ah. Nggak enak dilihat orang."
Bima hanya tersenyum mendengar jawaban Kartika.
Karena tidak menemukan solusi yang tepat, mau tak mau Kartika melingkarkan tangannya ke pinggang Bima yang kokoh. Dan setelah berbelok memasuki jalan desa yang penuh lubang, Kartika harus lebih merapatkan pegangannya untuk mempertahankan posisi duduknya supaya tidak terlempar ke aspal yang tak utuh lagi.
Kartika merasa aman dan nyaman meskipun Bima memacu laju motornya cukup kencang dan dengan lihai menghindari jalanan yang rusak di sana-sini. Lalu ia merasa malu sendiri dengan perasaannya itu.
"Jangan ngebut, Bim."
"Santai aja, Bu. Tapi kalau Ibu mau berlama-lama saya bonceng terus hujan-hujanan bersama ya gak masalah juga."
Astaga anak ini ! Mulutnya! Kartika spontan mengendurkan pegangannya, tapi segera dirapatkannya lagi karena manuver mendadak Bima untuk menghindari lubang jalanan yang dilakukannya dengan sengaja. Seringai lebar terlukis dari balik helmnya.
Sekitar tiga kilometer dari rumah, motor Bima tiba-tiba tersendat-sendat dan akhirnya berhenti total.
Mereka turun dan Bima segera membuka tangki bahan bakar. Wajahnya terlihat kecewa.
"Bensin habis. Maaf, Bu. Bodoh sekali sampai lupa cek bensin!" Kata Bima menyesal.
"Ya sudah. Kita jalan saja."
"Hmm, sebaiknya Bu Kartika tunggu di sini. Sebentar saja. Di tikungan depan biasanya ada yang jual bensin. Saya bawa motor ke sana, nanti saya jemput lagi."
Kartika tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Ia bukan jenis penakut, apalagi ia sudah kenal daerah ini. Tapi mendung yang semakin tebal siap menumpahkan hujan, dan ia berada di pinggir jalan yang hanya ada kebun-kebun, hutan kecil dan semak. Tanpa satupun rumah atau pondok yang terlihat untuk tempat berteduh.
Bima beranjak pergi menyeret motornya. Ia menghilang di tikungan.
Lima belas menit berlalu tapi Bima belum kembali.
Kartika tahu ada kios kecil di tikungan yang kadang menjual bensin eceran. Tapi rasanya tempat itu tidak terlalu jauh.
Dua puluh menit.
Kartika masih berpikiran positif, mungkin kios itu kehabisan stok bensil jualannya atau motor Bima mengalami kerusakan lain. Jadi ia mulai berjalan menyusul ke tikungan sambil berharap ada ojek atau kendaraan yang melintas.
Tapi cuaca yang semakin gelap agaknya membuat orang enggan untuk keluar rumah sore ini.
Kartika menemukan kios itu tutup. Tak terlihat satu manusia pun di situ.
Angin bertiup semakin kencang. Bunyi guruh di kejauhan mulai terdengar diiringi kilat yang membelah langit.
Kartika menyadari apa yang terjadi. Bima mengerjainya ! Dan kali ini ia merencanakan dengan sempurna. Dibantu cuaca gelap segelap hati si bengal.
Hujan yang dengan rintik besar-besar mulai turun. Kartika berusaha merapat ke tepi kios kecil itu, tapi tak urung roknya masih basah terkena hujan. Ia mendongak memandang langit yang rata berwarna kelabu. Hujan akan lama. Ia tak mau kemalaman di situ.
Ia lalu memutuskan untuk memberanikan diri terus berjalan di tengah guyuran badai kecil ini. Perasaan kesal bertumpuk dengan marah dan menyesal karena terlalu mudah memercayai si bengal membuatnya tidak peduli dengan hujan deras yang menampar-nampar wajah dan tubuhnya.
Ia mengutuki kebodohannya sendiri. Seharusnya aku tahu ! Tidak mungkin ia berubah secepat itu. Berandal manja !
Ia melepaskan sepatunya yang menjadi sangat tidak nyaman dipakai dan menentengnya. Kaki telanjangnya menerjang jalanan yang tergenang air. Beberapa kali ia terperosok ke lubang atau terantuk batu. Ia yakin kakinya lecet atau bahkan berdarah. Ia juga merasa tungkai kanannya terkilir ketika terjeblos satu lubang yang lumayan dalam. Tapi ia sudah tidak peduli lagi.
Sempat teringat pada ponsel yang lupa ia charge up siang tadi, tapi pikirannya dengan cepat beralih lagi pada kekurangajaran Bima yang kali ini benar-benar kelewatan.
Tubuhnya basah kuyup, tapi ia tidak merasakan dingin. Justru panas yang menguar dari dalamnya.
Satu kilometer dari rumahnya, sebuah SUV berhenti di sampingnya. Pintu depan terbuka.
"Kartika ! Ayo cepat masuk !" Teriak Pak Firman, supir pribadi Nenek Marti. Ia terheran-heran melihat anak kawannya itu berjalan sendirian di tengah hujan.
Kartika seperti mimpi melihat Pak Firman muncul. Ia mengelap air yang mengalir di wajahnya.
Kartika melangkah masuk dengan air yang menetes dari pakaiannya. "Aduh, maaf Pak. Jadi basah semua."
"Ah, bukan masalah itu."
"Bapak dari mana ?"
"Dari Palembang, disuruh Bu Marti. Kamu sendiri kenapa jalan di cuaca seperti ini."
Rasanya Kartika ingin menjeritkan nama Bima keras-keras, tapi sesuatu menahannya. "Ojek yang saya tumpangi mogok, Pak."
"Lho, ojeknya mana sekarang?"
"Entahlah, Pak. Saya putuskan untuk jalan saja."
Pak Firman yang seusia ayahnya itu mengerutkan keningnya.
Sekarang baru Kartika merasakan dingin yang menusuk tulang.
===============
Dua hari sudah Bu Kartika tidak hadir di sekolah. Sakit, itulah berita yang beredar cepat.
"Besok kalau belum masuk juga, kita tengok yuk ke rumahnya?" Ajak Nena sang ketua kelas kepada teman-temannya. Suara-suara setuju langsung terdengar sahut menyahut.
"Sekalian mampir ke rumah Bima ya ? Kan deketan kabarnya," usul si centil Vera.
Bima yang pura-pura tidak peduli dengan kasak-kusuk teman-temannya, spontan menoleh. Apa? Berarti aku juga ikut ? Oho... Tunggu dulu kawan.
"Siapa bilang aku mau ikut ?" Kata Bima cuek.
"Yah, jangan gitu dong, Bim. Kita tahu kamu agak gak akur sama Bu Kartika, tapi gak ada salahnya kan nengok orang sakit ?" Kata Nena lagi.
"Iya, nih. Siapa tahu bisa berdamai sesudahnya," kata Joel tiba-tiba dengan penuh semangat. Namun ketika Bima memelototinya ia tersadar dan mengkerut lagi.
"Kalau kalian mau mampir ke rumahku, mampir saja. Siapa tahu aku sedang ada di rumah. Tapi jangan harap aku ikut kalian."
Pernyataan Bima itu langsung membuat Vera patah arang dan Nena mendelik kesal.
Hai, stargazers.
Tega banget ya si Bima ? Padahal Bu Kartika sudah percaya dia berubah lho....
Enaknya kita hukum apa ya si bandel ini ??
Oke. Thank you. See you soon.
Deningcaya
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...