Goyah

8.6K 657 59
                                    

"Besok siang pulang sekolah cepet ganti baju. Kita nonton. Ada film baru yang katanya kocak habis," kata Bima tanpa maksud minta jawaban. Hanya minta dituruti.

Kartika tahu ia tidak bisa menolak ajakan yang setengah memaksa itu. Lagipula saat ini hatinya tidak kuasa untuk menolak.

Mereka berdua berjalan-jalan  berkeliling sebuah mall yang di lantai atasnya terdapat bioskop, menunggu saat pemutaran film dan membeli makanan ringan.

Perjuangan Bima untuk jalan bersama Kartika harus menempuh jarak lumayan jauh, dua jam perjalanan jika tanpa macet. Tapi itulah tempat bebas mereka, pelampiasan dari sandiwara ' tidak ada yang khusus' dari kehidupan rutin dan orang-orang yang mereka kenal. Setidaknya mereka aman, walaupun harus tetap waspada, jika tidak mau jadi bahan gunjingan umum.

Bima hampir tak pernah melepaskan gandengan tangannya kepada Kartika begitu mereka turun dari mobil.

Ia sempat iri melihat sepasang kekasih yang dengan mesra berangkulan. Beberapa kali ia tergoda untuk melakukan hal yang sama, tapi akal sehatnya berjalan baik. Ia khawatir ia akan akan terus menginginkan lebih jika ia melakukan kontak badan yang berlebihan. Kartika ada benarnya, ia ada pada masa dimana hormon nafsunya dengan mudah meledak jika ia tak kuat menahan diri. Ia sangat ingin menjaga hubungan ini tetap hangat tanpa merusak apa yang mereka miliki saat ini.

Ia sudah banyak merusak anak orang sebelumnya. Tapi tidak yang satu ini. Bima terlalu mencintainya walaupun jika nanti ada yang menyanggah, tahu apa anak seusianya tentang cinta. Ia tahu pasti ia cinta Kartika. Gadis itu harus sabar menantinya sampai ia siap datang sebagai laki laki dewasa yang bertanggung jawab. Hanya itu.

Jadi untuk saat ini, mereka harus puas bergandengan tangan erat dan saling menatap penuh arti.

"Arah jam sepuluh. Sedang menuju ke arah sini, keluarga Anton," bisik Bima dan secara otomatis ia melepaskan genggamanya dan melesat pergi ke arah lain meninggalkan Kartika sendiri untuk beberapa waktu sampai keadaan aman.

"Turun dari eskalator, pegawai kecamatan," ganti Kartika yang berbisik. Dan Bima kembali menghilang sesaat.

Ritual yang sama berulang beberapa kali tiap kali mereka berjalan bersama. Lama kelamaan mereka menikmati hal itu. Kegembiraan yang diselingi ketegangan. Mereka hanya berharap tidak ada yang memergoki mereka berduaan.

Dan Bima juga dengan mudah meminta izin kepada sang nenek dan kedua orangtuanya dengan atau tanpa alasan. Kedua orangtua Kartika tidak berkomentar banyak dan nampak tidak keberatan setiap kali Bima mengantar pulang Kartika, meskipun selalu hampir tengah malam. Apa mau dikata jika perjalanan mereka yang makan waktu cukup lama terjebak macet parah pula?

Nenek Marti pun hanya berpesan "Awasi si bandel itu ya, Kartika?" Dan dengan enteng menyerahkan kunci mobil double cabin yang agaknya sudah setengah resmi jadi hak milik Bima.

Di satu sisi Kartika merasa bersalah karena tidak berterus terang kepada nenek Marti maupun kedua orangtuanya. Tapi di sisi lain Kartika semakin sulit membendung perasaannya pada Bima.

Tapi semaksimal apapun mereka berusaha tidak terlihat berduaan, dunia masih terasa sempit. Ada saja yang lolos dari pengamatan mereka.

Lalu mulailah bisik-bisik itu. Di sekolah, di perumahan, di kampung dan sekitarnya. Bisik-bisik yang lama kelamaan semakin membuat panas telinga karena tambahan berbagai bumbu tak sedap.

"Bim, kita tidak bisa terus begini," kata Kartika lirih dalam perjalanan pulang dari Palembang suatu hari. "Kita tidak bisa menyisihkan fakta bahwa kau masih berstatus muridku. Dan aku bisa membayangkan bagaimana ibu dan ayahku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan tetangga yang seringnya membuat sakit hati. Mereka belum bicara langsung padaku, tapi aku pernah tidak sengaja mendengarnya. Kasihan mereka, Bim."

The Teacher and The HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang