"Lang, kau suka Nasya, kan ?" Tanya Bima santai.
Gilang yang sedang berganti pakaian menjawab enteng. "Tentu. Semua laki-laki sehat pikiran pasti suka cewek seperti Nasya. Cantik, pintar."
"Maksudku, setelah beberapa tahun ini mengenal Nasya, apa kau benar-benar suka padanya ?"
Gilang menatap Bima tajam. "Maksudmu apa ?"
"Hei, aku bisa lihat caramu memandang dia."
"Seperti yang kubilang tadi, semua cowok sehat pikiran pasti suka pada Nasya." Nada suara Gilang mulai meninggi.
"Tenang, Man."
"Kau tuduh aku dengan pacarmu ?"
"Bukan, Lang. Sama sekali bukan. Aku malah senang ada kau yang menemani Nasya jalan kalau aku sedang padat jadual."
Gilang mengambil sebuah kursi plastik dan duduk tepat di hadapan Bima.
Teman-teman satu tim yang tinggal satu dua dalam ruang ganti itu melihat sekilas pada mereka tapi segera berlalu.
"Dengar, Bim. Aku tahu batas meskipun aku suka padanya. Aku tahu Nasya pacarmu. Aku bukan penelikung teman." Gilang terlihat kesal.
Tapi Bima malah tersenyum.
"Hmm, jadi kau akui kau suka Nasya."
"Apa aku kurang jelas bicara ? Mau kuulang biar kau puas ?"
"Oh, tidak kawan. Tidak perlu. Aku sangat mengerti."
Giliran Gilang yang bingung dengan Bima yang bernada menginterogasi tapi ekspresinya tidak menampakkan kemarahan sama sekali. Malah bisa dikatakan Bima sering tersenyum.
"Sebenarnya kau kenapa, Bro ?"
Bima tertawa kecil. "Yah, seperti yang kau bilang tadi. Aku mungkin sedang tidak sehat pikiran."
"Hah ?"
<<<<<<<<<>>>>>>>
Ponsel Bima berdering.
"Bima Nararya, kalau sekali lagi ini kamu nggak mau temani aku, kita PUTUS !" Suara Nasya di ujung telpon terdengar gusar.
"Maaf, Sya. Aku sudah janji sama Mama ikut acara amal dekat rumah."
Tuuuuuttt.
Bima tersenyum lebar. "Bebas."
"Bebas ? Kamu putus dengan Nasya ?" tanya Pramita Nararya yang muncul di belakang Bima.
"Iya, Ma. Tenang aja. Aku kok yang diputusin."
"Putus kok nggak ada sedih-sedihnya. Nasya baik baik saja ?"
"Baik, Ma. Bima sudah siapkan sebelumnya. Dia akan baik-baik saja."
"Kok bisa ?"
"Singkatnya gini, Ma. Bima sadar nggak bisa mencintai Nasya. Jangan khawatir, Nasya pasti sudah bersama Gilang. Dia lebih perhatian sama Nasya.
"Gilang ? Sahabatmu sendiri ?"
Bima nyengir dan mengangguk.
"Kamu nggak sedang berusaha menutupi kesedihan dengan cengar-cengir begini, kan ?"
"Ah, Mama ada-ada saja. Ya nggak lah."
"Jadi selama ini apa perasaanmu pada Nasya ?"
"Itu dia, Ma. Bima nggak merasakan sesuatu yang lebih dari hanya seorang teman. Bima nggak bisa menemukan rasa cinta meskipun beratus kali menatap wajahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
Ficción General(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...