6. Lelaki Turah

4.1K 599 22
                                    

Seokmin dan Jisoo begitu panik malam ini. Bagaimana tidak? Sudah hampir 2 jam lamanya, Hayun tidak mau berhenti menangis. Berada dalam gendongan Jisoo pun, tidak memberikan dampak apa-apa. Padahal ia harus menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Seokmin, mengingat sekarang sudah pukul 8 malam.

Awalnya Seokmin dengan tenang rebahan di dalam kamar. Menganggap tangisan bayi adalah suatu hal yang wajar. Memang wajar. Tapi, tidak jika sudah berjam-jam seperti ini. Ditambah lagi suara tangisan tersebut begitu nyaring, membuat telinga pengang.

Perlahan keluar dari tempat persembunyiannya, ia memperhatikan setiap langkah Jisoo yang sedari tadi mondar mandir di ruang tengah. Menggendong Hayun, mencoba memberikan anak itu sebotol susu. Juga ditolak mentah.

Akhirnya Seokmin menyerah juga. Ia memutuskan untuk mendatangi Jisoo dan mengambil alih gendongan. Bukan tanpa alasan, tapi karena perut Seokmin pun ikut berteriak minta segera diisi.

Baru beberapa menit, kini giliran Seokmin yang merasa frustasi. Ia mencoba untuk membawa Hayun ke balkon apartemen agar dapat menghirup udara segar, tapi tak juga membuahkan hasil. Kalau tak punya hati, bisa-bisa Seokmin melemparkan bayi itu dari lantai 5. Menggeleng kuat, Seokmin segera masuk dan mengunci pintu. Khawatir benar-benar akan melakukannya.

Sepertinya insting Seokmin sebagai calon ayah cukup tumbuh dengan baik. Mengintip Jisoo yang mulai bergelut dengan kompor, Seokmin tersenyum tipis. Ia sangat senang karena sudah berhasil mengurangi sedikit beban gadis itu. Sekarang, Hayun sudah mulai sedikit tenang. Terlalu lelah setelah menangis seharian, mungkin.

Mencuri beberapa ciuman di pipi tembam Hayun, perlahan menurunkan gendongan dan menidurkannya di atas ranjang. Hanya sesaat, sebelum kembali berakhir dengan suara tangisan. Membuat Seokmin mendecak sebal.

Menepuk-nepuk bokong si bayi, bukannya berusaha menidurkan Hayun, malah Seokmin lah yang tertidur lebih dulu. Sebuah keajaiban datang, Hayun ikut tertidur pulas akibat mendengar suara dengkuran nyaring Seokmin.

Jisoo memasuki kamar dan tersenyum lembut atas pemandangan di hadapannya. Tidak jauh berbeda, baik Seokmin maupun Hayun sama-sama tertidur dengan posisi telentang begitu saja. Kaki terbuka lebar, bersama dengkuran halus menguasai ruangan.

Melangkah perlahan, Jisoo sedikit mendekatkan dirinya pada Seokmin untuk berbisik. Berusaha membangunkan pria bangir itu. Kalau ia membangunkan Seokmin dengan cara berteriak, pasti Hayun lah yang terlebih dalu bangun.

"Seokmin-ah!" bisiknya. "Cepat bangun, makan malam sudah siap."

Sedikit menggeliat, Seokmin mengubah posisi tidurnya jadi menghadap ke samping. Atau yang lebih tepat, menghadap ke arah di mana Hayun tidur.

Sedikit menahan tawa, "ya!" suara Jisoo sedikit lebih nyaring. "Sup air laut sudah siap!"

Seokmin perlahan membuka matanya dengan mengerjap beberapa kali, berusaha menetralkan cahaya lampu yang begitu terang. Menguap lebar, lalu kembali membelakangi Jisoo. Bukannya langsung bangun, Seokmin malah mengambil posisi ternyaman untuk melanjutkan aktivitas di alam mimpi.

"Kau tidak punya niatan untuk bangun?"

"Nanti saja." racau Seokmin yang nampak jelas masih setengah sadar.

"Aish! Tadi kau bilang lapar."

"Rasa kantukku lebih dominan." jawabnya. "Sudah, sana! Makan sendiri! Jangan ganggu aku dan Hayun."

---

"Kau libur saja hari ini, biar aku yang memberitahu pak Yuhwan kalau kau izin." bujuk Seokmin lagi.

Pagi ini Hayun luar biasa rewelnya. Menangis sejak pukul 6 pagi, hingga sekarang Seokmin dan Jisoo hendak berangkat kerja, tangisan itu belum juga reda. Sehingga, Seokmin turut merengek. Bukan menangis, tapi ia berusaha membujuk Jisoo agar tidak usah masuk kerja saja hari ini.

Not Our Baby (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang