17. Balada Cokelat

3.6K 569 184
                                    

Jisoo memicingkan matanya. Berusaha mencari tahu apakah Seokmin sedang berbohong atau tidak. Perlahan wajahnya semakin mendekat hingga hanya tersisa beberapa senti jaraknya.

"Kau yakin?" tanya Jisoo lagi.

Mengerjapkan mata beberapa kali, ia bisa merasakan deru napas hangat seorang Lee Seokmin saking dekatnya. Kepalanya memiring. Tanpa ada niatan untuk memundurkan posisi sedikit pun.

Seokmin tidak kalah getirnya. Seolah menantang Jisoo, ia malah semakin mendekat hingga berhasil menabrak hidung gadis manis itu menggunakan hidung bangirnya.

Cuaca hari ini sedikit mendung. Sangat cocok jika dihabiskan dengan cara berbaring sebentar barang beberapa menit sampai akhirnya benar-benar bangkit dari pulau kapuk yang begitu nyaman.

Namun, keinginan itu hanyalah sebatas keinginan. Pagi-pagi buta, Jisoo kembali heboh melemparkan Seokmin pertanyaan. Asal kalian tahu, tidak hanya pagi ini Jisoo berusaha mengintimidasi laki-laki bangir yang sudah berbaik hati memberikannya tumpangan itu. Namun, malam hari sebelum mulai tertidur, Jisoo sudah begitu heboh ketika menemukan sebatang cokelat di atas bantalnya.

Tentu Jisoo mencurigai Seokmin. Karena yang ada di apartemen itu hanya mereka bertiga. Dan tidak mungkin Hayun yang melakukannya.

Jisoo melangkah mundur. Tidak betah juga berdekatan dengan Seokmin terlalu lama. Hatinya mulai mengerang tidak karuan.

"Mengaku atau aku buang cokelat ini?" ancam Jisoo.

"Buang saja, itu bukan urusanku."

Jisoo menghela napas dengan berat. Sampai sekarang, Seokmin tidak juga mengaku bahwa cokelat itu adalah pemberiannya. Malahan, pemuda Lee itu menuduh bahwa Jisoo lah yang membelinya sendiri dan mengaku telah dibelikan oleh Seokmin. Lalu ia akan menyebarkan berita ini pada seluruh karyawan di kantor untuk membuat Mingyu cemburu.

"Seokmin," Jisoo melenguh dibuatnya. "Kenapa kau menyebalkan sekali, hng? Di sini tidak ada orang lain lagi selain kita!"

"Untuk apa aku memberikanmu cokelat? Lebih baik uang itu aku pakai untuk membeli gula, beras atau yang bermanfaat lainnya."

"Aish! Aku benci padamu! Tinggal mengaku saja, apa susahnya?"

Dengan kaki yang dihentak-hentak, Jisoo keluar dari kamar Seokmin. Wajahnya ditekuk beberapa kali, mengisyaratkan bahwa ia sudah benar-benar kesal pada pria mancung itu.

Bukankah wajar jika Jisoo yakin bahwa yang memberikannya cokelat adalah Seokmin? Tidak mungkin, kan, kalau Mingyu diam-diam masuk ke dalam apartemen itu hanya untuk meletakkan sebatang cokelat di atas bantal?

Masuk ke dalam kamarnya, Jisoo berdiri dengan menyenderkan kepala pada pintu kamar. Memandangi cokelat dengan bungkusan warna merah menyala, makanan manis itu nampak cantik berkat kehadiran pita berwarna merah muda di atasnya.

Tersenyum kecut. Perasaannya bercampur aduk seperti nasi uduk. Senang, karena baru kali ini Seokmin memberikannya sebuah hadiah (tapi tentu saja kenyataan bahwa bisa tinggal secara gratis di apartemen Seokmin adalah hadiah yang luar biasa baginya), dan sedih karena laki-laki itu tidak mengaku juga. Padahal jika Seokmin mengaku, ia akan dengan senang hati menyambut kado sederhana ini.

"Hey, Hayun-ah. Kau sudah bangun?" mendatangi Hayun yang baru membuka mata, Jisoo ikut merebahkan badan kecilnya di samping bocah itu. "Kenapa papamu sangat menyebalkan? Apa kita pergi saja? Sepertinya papamu tidak suka dengan mama."

---

Seokmin mendatangi dapur untuk mengambil sekaleng minuman soda. Begitu ia membuka kulkas, pandangan matanya disambut oleh sebatang cokelat yang ia berikan pada Jisoo. Cokelat itu belum dibuka sama sekali. Sebenarnya, Seokmin sedikit sedih menyadari bahwa cokelat itu belum juga dinikmati oleh Jisoo. Tapi, ia benar-benar tidak ingin gadis itu tahu bahwa makanan manis ini adalah pemberiannya.

Not Our Baby (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang