Part 9

808 77 0
                                    

Keluarga Jeonghan sudah lama pulang ke kediaman mereka. Kini Nari berada di dalam kamarnya seorang diri. Ia sudah merebahkan badannya yang lelah ke atas kasur. Gadis itu berusaha menenangkan suasana hatinya dengan mendengar lagu-lagu soft milik Seventeen.

Salah besar. Ia justru makin teringat dengan Jeonghan.

Dua hari ini terlalu banyak hal besar yang terjadi di hidupnya. Mulai dari pertemuannya kembali dengan Jeonghan hingga pembicaraan mengenai perjodohan dengan sahabat kecilnya itu. Nari sudah menduga. Jeonghan akan menolaknya mentah-mentah, bahkan di hadapan kedua orangtuanya. Nari sendiri hanya dapat pasrah. Ia tidak punya sisa tenaga untuk bicara.

Entah apa yang mendorong orangtua Jeonghan maupun orangtuanya untuk menjodohkan anak-anaknya. Hello, ini sudah zaman modern. Semua orang bebas memilih pasangan masing-masing. Perjodohan itu trend masa lalu, zaman baheula.

Menghabiskan masa studinya di Amerika, mampu membuat pikiran Nari terbuka lebih bebas. Hanya saja orangtuanya masih kolot. Usia bukanlah patokan waktu untuk bekeluarga. Lagipula 25 tahun hidup, Nari merasa masih ingin bebas bereksplorasi. Ia belum mau terikat dengan sebuah hubungan ikatan rumah tangga.

Hal yang paling tidak ia sukai dari pertemuan malam ini adalah keputusan final yang hanya dilandasi oleh persetujuan para orangtua. Tanpa melibatkan Jeonghan maupun dirinya. Jika sampai umur 27 tahun nanti Jeonghan atau Nari masih sama-sama belum menemukan tambatan hatinya, mereka akan dipaksakan untuk bertunangan! Kesepakatan macam apa itu?!

Nari terbayang dengan ekspresi yang dikeluarkan Jeonghan ketika mendengar keputusan itu. Nari yakin, pria itu lebih memilih menaiki roller coaster, wahana yang paling dibencinya dari taman bermain, sepuluh kali berturut-turut daripada harus hidup di bawah atap yang sama dengannya. Nari menarik napas panjang. Apa Jeonghan benar-benar masih membenci dan memendam amarah padanya?

Nari menggeleng keras. Gadis itu bangkit dari kasurnya dan duduk di meja belajar. Ia berniat membenamkan pikirannya dengan bekerja. Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan dirinya dari skenario pertunangan orangtuanya adalah segera mencari tambatan hati. Itu berarti ia harus sukses dalam pekerjaannya dan mulai mencari pria yang cocok.

---

Jeonghan mengulet dan menguap lebar-lebar. Ia memandangi jam kecil yang berada di atas nakas samping tempat tidurnya. Masih pukul 08.00. Pria itu kembali menjatuhkan kepalanya ke atas bantal dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh.

Nihil. Karena sedari kemarin ia biasa bangun pagi hari, sekarang Jeonghan jadi tidak bisa tidur lagi. Padahal hari ini adalah hari terakhir liburannya sebelum kembali sibuk dengan tuntutan pekerjaan. Jeonghan kembali menyibakkan selimutnya. Ia menyerah untuk bisa tidur lagi. Mungkin setelah perutnya terisi dan sedikit menonton televisi, rasa kantuknya bisa kembali datang.

Jeonghan membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju dapur. Tidak ada seorang pun disana. Jaerim memang ada kuliah pagi, sepertinya gadis itu sudah berangkat sedari tadi. Sang Eomma bahkan tidak terlihat di seluruh penjuru rumah.

Ah, paling sedang belanja sebentar. Pikir Jeonghan.

Jeonghan mengambil nasi dan lauk pauk yang sudah disiapkan ibu. Ia kemudian makan sembari menonton tv seorang diri di ruang tengah. Baru kali ini ia menikmati hari liburnya dengan tenang. Tanpa ada omelan sang eomma yang masuk telinganya.

Terdengar suara pintu depan terbuka. Jeonghan melongokkan kepalanya ke arah sumber suara. Ia terlalu malas untuk beranjak dari posisi nyamannya kini di atas sofa. Tak lama kemudian wajah sang eomma muncul. Di masing-masing tangannya terdapat dua tas penuh berisi barang belanjaan. Jeonghan buru-buru berdiri dan membantu wanita itu membawanya menuju dapur.

"Eomma... tidak akan memasak ini semua untuk member Seventeen, kan?" tanya Jeonghan sembari mengeluarkan satu-per-satu bahan makanan dari tas belanja.

Eomma menyusun bahan makanan mentah di dalam kulkas dengan cekatan, "Tentu saja. Eomma kan biasa membawakanmu makanan."

Jeonghan menghentikan aktivitasnya. "Eomma, besok aku akan langsung berangkat ke Jepang."

"Eomma tidak akan memasakkan terlalu banyak," kata Eomma santai.

Dahi Jeonghan mengernyit. Ia tidak yakin dengan jawaban Eomma-nya. "Kalau begitu untuk apa bahan makanan sebanyak ini?" tanya Jeonghan memastikan.

"Eomma akan membuat kue untuk keluarga Nari. Nanti sore kau antarkan ke rumahnya ya."

Jeonghan menghela napas panjang. Kini mood untuk membantu ibunya itu hilang begitu saja. Rasanya ia sudah sangat lelah dengan semua ide yang berusaha mendekatkan dirinya dengan gadis itu.

Eomma menyadari perubahan atmosfer yang terjadi. Wanita paruh baya itu menutup pintu kulkas dengan sebelah tangannya. Ia mengamati wajah putra tertuanya dengan pandangan penuh kasih sayang.

"Eomma tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Nari," kata Eomma penuh pengertian. "Lebih baik kalian segera menyelesaikan masalah di antara kalian. Tidak baik untuk terus bermusuhan. Lupakan pembicaraan tentang perjodohan kemarin malam. Kalau kau memang keberatan, kau bisa segera mengenalkan seorang wanita pada Eomma," Eomma menaikkan sebelah tangannya ketika melihat anaknya sudah akan buka mulut untuk kembali mengeluarkan kata-kata protes. "Eomma hanya mau kau berbaikan dulu dengan Nari. Bagaimanapun, kalian tetaplah teman lama."

Jeonghan menghela napas. Ia tidak berani melihat kedua mata Eomma yang masih menatapnya lekat-lekat.

"Sore nanti, jemputlah Nari di kantornya. Hari ini peringatan tahun ketiga kematian Myunghee. Pergilah bersama Nari, kalian bertiga dulu selalu bersama pergi kemanapun. Kasihan Myunghee kesepian tanpa pernah dikunjungi kalian selama ini," lanjut eomma.

Mata Jeonghan melebar. Ia benar-benar lupa. Pria itu mengamati dalam-dalam mata sang Eomma. Tanpa banyak bicara, Jeonghan masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Ia tidak ingin diganggu siapa pun.

---

Nari duduk menunggu dengan tenang di bangku halte bus. Sudah hampir lima belas menit ia menunggu disini tanpa mendapat kabar dari Jeonghan. Terakhir, cowok itu menghubunginya akan menjemput pukul 16.30 di halte dekat tempatnya bekerja. Jeonghan mengajaknya untuk pergi bersama menuju tempat pemakaman Myunghee.

Nari memandangi serangkaian bunga cantik yang berada di pangkuannya. Buket dengan kombinasi bunga matahari dan bunga daisy itu tampak menarik perhatiannya. Bukan tanpa sebab Nari memesannya di sela-sela jam kantornya yang padat. Myunghee memang sangat menyukai warna kuning bunga matahari. Memberi nuansa hangat dan ceria, begitu katanya. Nari sendiri menambahkan bunga daisy karena ia memang menyukainya. Selain itu, kedua jenis kembang itu melambangkan kesetiaan arti persahabatan.

Sebuah mobil sedan yang dikenali Nari berhenti tepat di depan gadis itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Nari segera naik ke arah kursi samping pengemudi. Jeonghan melajukan mobilnya tanpa banyak bicara. Mood-nya belum membaik sejak pagi.

[SVT FF Series] You're My Last DestinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang