Part 39

881 69 0
                                    

Dalam perjalanan balik menuju kantor Nari, tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka berdua. Bukan karena tidak ada bahan, namun Nari tampak sangat sibuk dengan ponsel di tangannya. Dahinya mengkerut tampak berpikir keras. Jeonghan tidak tega mengganggu kegiatan gadis itu.

Telepon genggam Nari berdering ketika mobil Jeonghan memasuki pelataran kantor yang sudah sepi. Gadis itu langsung mengangkatnya. Ia terlihat terlibat suatu pembicaraan serius dengan seseorang diseberang sana.

Jeonghan selesai memarkirkan mobilnya dengan sukses. Pria itu mematikan mesin mobil dan melihat ke arah Nari. Telepon Nari belum selesai. Jeonghan mencoba mencuri dengar percakapan itu. Namun ia menyerah. Jeonghan tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Sepertinya tentang pekerjaan.

"Minjae-ya, kau juga baru mau kesana kan? Bisa jemput aku sekalian di kantor?"

Punggung Jeonghan menegak. Ya! Apa Nari benar-benar tidak melihat keberadaannya disini? Kenapa gadis itu malah meminta bantuan cowok lain ketika sudah ada dirinya?

"Aku bisa mengantarmu. Aku tidak ada jadwal malam ini," sambar Jeonghan cepat.

Nari menoleh ke arah pria itu. Kedua matanya melebar. Sepertinya gadis itu benar-benar baru menyadari keberadaannya.

"Ah, tidak tidak. Tadi itu hanya seorang teman, tidak perlu kau pedulikan," sambung Nari bicara lirih pada orang di seberang sana. Ia tidak ingin Jeonghan mendengarnya.

Tangan Jeonghan terulur. Dengan cepat cowok itu meraih ponsel dari telinga Nari dan memutuskan sambungan teleponnya. Gadis itu hanya diam mematung. Sepersekian detik kemudian ia melihat ke arah Jeonghan dengan tatapan penuh amarah.

"Ya! Aku sedang bekerja tahu!"

"Jam bekerjamu sudah selesai dari pukul empat sore, Pyo Nari!" balas Jeonghan dengan nada tak kalah tinggi.

Nari mengepalkan kedua tangannya. Gadis itu mendengus kesal. Ia membuka pintu di sampingnya dan berjalan keluar dengan langkah-langkah lebar. Jeonghan segera mengejar gadis itu.

"Kau mau apa lagi?!" Pekik Nari ketika tangannya ditahan oleh Jeonghan.

"Jangan minta tolong pada pria lain jika aku masih bisa membantumu," ucap Jeonghan penuh emosi.

Nari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jeonghan, namun tenaga pria itu lebih besar. Dengan sekali sentakan, Jeonghan berhasil menghilangkan jarak diantara mereka. Tubuh Nari terhuyung ke belakang karena wajahnya yang membentur dada Jeonghan. Sebelah tangan Jeonghan dengan sigap menangkap gadis itu. Ia membawa Nari masuk ke dalam pelukannya.

Nari terdiam. Ia tidak menyangka Jeonghan akan melakukan hal yang mampu membuatnya dag-dig-dug tak karuan. Gadis itu sedikit menikmati kehangatan tubuh Jeonghan yang ia bagi dengannya. Nari makin terbuai ketika indra penciumanannya menangkap aroma maskulin Jeonghan.

"Bisakah kau dengarkan penjelasanku dulu?" Kali ini Jeonghan bertanya dengan nada lembut. Sebelah tangannya mengusap pelan surai Nari ketika menyadari gadis itu sudah berhenti memberontak.

Dengan kaku, Nari mengangguk kecil mengiyakan. Diam-diam ia menikmati perlakuan manis Jeonghan padanya.

"Ucapanku tadi pagi itu... aku mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh," ucap Jeonghan. Ia melepaskan pelukannya dan memegang kedua telapak tangan Nari. Jeonghan menatap kedua bola mata hitam Nari yang pekat. "Aku benar-benar jatuh cinta padamu."

Perasaan Nari menghangat. Ia menemukan keseriusan di manik mata Jeonghan. Gadis itu hanya mampu terdiam. Ia membiarkan tangannya digenggam erat oleh Jeonghan.

"Bodoh rasanya karena aku baru menyadari perasaanku padamu setelah sekian lama. Aku akan di cap sebagai cowok idiot kalau melepasmu pergi," lanjut Jeonghan.

Nari masih terdiam. Sebenarnya gadis itu tidak tahu kata-kata yang bagus untuk membalas ucapan Jeonghan. Ia tidak pernah melihat pria di hadapannya ini seserius sekarang.

"Aku khawatir mengetahui bahwa kau terluka dari berita di televisi. Aku cemburu melihatmu lebih mengandalkan pria lain ketimbang aku. Aku merasa bersalah mengetahui bahwa selama ini perlakuanku lebih banyak membuatmu sakit."

Nari menunduk. Ia merasa air matanya sudah terkumpul di pelupuk mata mengingat masa-masa dimana Jeonghan bersikap dingin padanya. Gadis itu tidak ingin Jeonghan melihat sisi dirinya yang lemah.

Jeonghan mengangkat wajah gadis di hadapannya dengan sebelah tangan. Melihat Nari yang sudah berkaca-kaca, Jeonghan kembali membawa gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Diam-diam, ia merasakan kemejanya basah. Nari menangis.

Jeonghan mengusap punggung Nari. Bahu gadis itu makin bergetar. Jeonghan tahu bahwa dirinya lah yang membuat gadis itu bersedih.

"Aku tahu permintaanku ini cukup egois," ucap Jeonghan di sela-sela rambut Nari. "Tolong izinkan aku membuktikan perasaanku padamu, Nari-ya. Aku tahu aku tidak bisa berjanji untuk tidak menyakiti perasaanmu. Namun, aku berjanji untuk selalu bersamamu."

"Ingatkan aku kalau aku salah. Aku akan berusaha menjadi lebih baik untukmu," lanjut Jeonghan.

Pria itu meregangkan pelukannya pada tubuh Nari. Dengan jemarinya, Jeonghan menyingkirkan rambut Nari dari wajah gadis itu. Ia menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga Nari. Dengan kedua ibu jari, Jeonghan menghapus jejak-jejak air mata tunangannya itu.

"Aigoo, wajahmu benar-benar berantakan."

Sontak Jeonghan mendapat pukulan ringan di dadanya. Pria itu tertawa kecil. Ia sangat suka mengerjai gadis di hadapannya ini.

Nari memajukan bibirnya, tampak kesal. Ia menyeka kedua matanya yang basah dengan punggung tangan. Gadis itu menyesal telah menangis di hadapan Jeonghan.

"Aku sampai lupa bahwa yang mengatakan hal manis tadi adalah seorang pria bernama Yoon Jeonghan," sindir Nari.

Jeonghan terkekeh. "Aku hampir mati berdiri saking gugupnya. Kau hanya diam saja, jadi aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranmu."

"Jadi, apa jawabanmu?" Tanya Jeonghan. Ia penasaran dengan jawaban gadis itu.

Nari tersenyum lemah. Ia menggeleng kecil. "Biarkan aku berpikir sejenak. Aku tidak mau mengambil langkah yang salah."

Jeonghan mengangguk mengerti. Sebagian hatinya terasa mencelos. Namun ia tahu bahwa Nari adalah gadis yang penuh dengan perhitungan, ia mencoba memahaminya.

"Okay, aku akan menunggumu," Jeonghan tersenyum manis.

"Kalau begitu, boleh aku minta sesuatu?"

Wajah Jeonghan memerah. Apa yang akan diminta gadis itu? Pelukan? Atau mungkin ciuman? Jeonghan sudah senyum-senyum sendiri membayangkannya.

"Bisa kembalikan ponselku? Aku harus kembali bekerja." Hancur sudah ekspektasi Jeonghan.

Jeonghan menghela napas kasar. "Ada di mobil. Kau juga mau pergi ke suatu tempat kan?"

"He'em," jawab Nari singkat. "Tapi aku sudah minta tolong pada Minjae untuk menjemputku."

Jeonghan menatap tajam ke arah Nari. Gadis itu tertawa kecil. Ia menaikkan kedua tangannya, berusaha melindungi diri kalau-kalau Jeonghan akan menjitak kepalanya karena kesal.

"Arra, arra," kata Nari dengan sisa-sisa tawanya. "Tolong antarkan saya ke kantor polisi ya, Yoon Jeonghan?" Pinta Nari dengan nada meledek. Ia sengaja memakai bahasa formal saat mengatakannya.

Jeonghan tersenyum penuh kemenangan. "Baik, Nona. Silahkan masuk," Jeonghan bergegas membukakan pintu mobil untuk Nari.

Kedua insan itu tertawa. Dalam hati, Jeonghan bersyukur. Walaupun Nari belum bisa menerima pernyataan cintanya barusan, Jeonghan tidak sampai kehilangan sosok sahabat yang sangat ia andalkan. Jeonghan berjanji. Sampai saatnya tiba, ia akan terus membuktikan ucapannya pada Nari.

[SVT FF Series] You're My Last DestinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang