ADIVA 22

907 47 0
                                    

Zaidan.

Asal kalian tahu, mengurus satu cewek singa lebih sulit daripada mengerjakan kumpulan rumus Matematika or anything. Gue nggak pernah nyangka bahwa gue bisa disatukan sama Diva, cewek selama ini yang gue perhatiin diem-diem, lalu gue juga mencoba mencuri pandang ke dia, dan selama ini juga gue selalu menggeleng kecil ketika dia berbuat masalah di kelas, apalagi memusuhi Pak Muksi, itu adalah hobbynya.

Sejujurnya, sebelum sama Diva gue udah pacaran sama Mara, —Mara Audela yang notabenenya adalah mantan gue sekarang, gue nggak tahu kenapa sejak dulu mama dan ayah gue selalu bicara tentang Adiva Aurina —cewek yang sekelas sama gue, yang nggak ada kapoknya di hukum buat lari lapangan, ya nggak ada jeranya ketika guru-guru memarahinya, dia, iya Diva.

Gue nggak terlalu terkejut ketika acara reunian itu ayah gue dan papanya Diva merencanakan ini, karena jauh sebelum itu gue udah tahu semunya. Gue nggak nolak sama sekali, gue nggak ada niatan buat nggak melaksanakan juga, kayaknya bakal seru kalau cewek itu Diva. Gue, Zaidan Abidama Fardhana cowok yang terkenal dingin, suka berubah mood sesuai keadaan, punya pacar yaitu Mara, famous di kalangan perempuan mata telanjang, dan salah satu murid yang berprestasi, itu semua yang melekat pada diri gue.

Mara, semenjak dia ketemu gue di cafe sama Diva, cewek itu nggak pernah lagi buat ganggu gue, walau sebenarnya emang dia nggak pernah ganggu, dia baik, dia sopan dan gue suka dia semenjak kita satu SMP. Mara beda sekolah sama gue, otomatis Diva juga nggak kenal dia, apalagi anak sekolahan gue yang nggak tahu bahwa sebenarnya juga gue itu punya pacar. Gue sering jemput Mara, jalan sama dia, ngabisin waktu buat nge-game bareng, bercanda atau sekedar berbagi cerita sekolah. She's different.

Dia anak feminim, sederhana, dan itu semua yang mampu ngebuat gue perlahan jatuh dalam kehidupannya. Gue sempat menolak tentang perkenalan gue dengan Diva, tapi apa boleh buat ketika Mama gue udah berkata 'itu' maka saat itu juga gue harus melaksanakannya. Kalau kalian tanya, apakah gue udah cinta sama Diva? Jawabannya, belum, sama sekali, tapi gue bakal mencoba. Gue juga bukan cowok brengsek, tapi gue juga bukan cowok alim. Gue ini normal, gue punya perasaan yang bisa gue kendalikan, termasuk sekarang. Ketika di antara Mara dan Diva gue harus memilih, setidaknya Mara lebih tepat.

Dibilang tertarik, gue tertarik sama kehidupan Diva, jujur saja, gue nggak tau dimana keberadaan Mama Diva, begitu juga dengan keluarga yang selama ini berpencar entah kemana meninggalkan empat orang anak di rumah seluas itu. Gue tahu, baru pertama kali ini Diva merasakan kehadiran cowok disisinya, mengingat bokap juga para abangnya yang sensitif jika manusia diluar sana menyentuh adiknya sedikitpun. Sejauh ini, biarkan gue memilih, Mara yang rela melepaskan gue dan menangis dibalik ini semua, atau Diva si cewek bar-bar yang mengundang sejuta penasaran gue ke dia.

Fardha.

Itu nama gue teruntuk orang yang benar-benar mengenal gue, nama yang sepersekian kalinya mungkin terngiang-ngiang di kepala Diva, cewek itu, ia terlihat bingung ketika mantan gue dan Gibran juga ikut menanggil gue Fardha sama dengan mama gue. Belum saatnya, Diva manggil gue Fardha, bisa gue pastikan secepatnya ia akan tahu ini semua. Diva, gue belum jatuh cinta sama lo, hati gue masih terpaut sembilan puluh lima persen ke Mara, jangan bilang gue pengecut, gue bakal lindungi elo karena gue tahu lo itu amanah dari keluarga —Reno.

ADIVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang