WARNING!
MAAFKAN TYPO DAN ALUR YANG SUPER ABSURD.
-PENASARAN? SCROLL SEPUASNYA.
***
"Dan, udah deh, gue nggak kuat pegang akun lo terus, mereka pada DM sama spam lo..."
"...gue sakit mata setiap buka Instagram," kata Diva sambil menutup matanya kala melihat notifikasi hapenya yang terus masuk.
Zaidan terkekeh renyah, bisa jadi, ini tantangan untuk Diva. "Ini ujian, setangguh apa lo di deket gue.."
"Plis deh, ini bukan ujian, tapi kutukan." kepalanya ia satukan ke meja, di atas buku-buku itu Diva membuka matanya, sambil melihat ke arah Zaidan.
Rencana hari ini mulus, Zaidan ke rumah Diva untuk mengerjakan tugas bersama, memoroti otak Diva dengan sejuta jurus agar cewek itu sedikit mau menyelesaikan pekerjaan rumah yang menurut Diva itu sangatlah membosankan. Dengan setelan kaos biasa di balut jaket cokelat itu, Zaidan terlihat tampan, sejujurnya, Diva tidak mau melihat Zaidan terus menerus, takutnya cewek itu menaruh hati padanya. Ia belum siap sakit hati setelah sekian lama, ia belum siap melihat Mara mengambil Zaidan atau Zaidan yang kembali kepada Mara. Actually, Diva tak takut dengan senior maupun juniornya di sekolah, jujur sejujurnya Diva sama sekali nggak keganggu akan hinaan itu, cercaan maupun kata-kata yang tidak senonoh masuk ke dirrect massage Instagramnya. Tapi satu hal yang Diva takuti, Mara merampas satu kebahagiaan Diva. Meskipun kalian tahu, Diva tak berhak akan Zaidan.
"Div, heh, Divvvv...." ucap Zaidan sambil menggoyangkan tubuh Diva, baru beberapa menit berbicara, cewek itu sudah tewas ke alam mimpinya.
Benar-benar buku adalah something terbaik untuk membuat seseorang tertidur pulas.
Zaidan menatap Diva sambil tersenyum simpul, dari rautnya terlihat bahwa ia mengagumi Diva juga. Bulu mata lentik itu menghiasi mata besar Diva, alis hitam legam itu juga menghiasainya, rambut yang ikal sepundak menjadikannya kesan anak baik jauh dari kata bandel, tapi apa boleh buat ketika cewek bar-bar itu bangun dan membuat ulah di kelas dengan ucapan kotornya itu, kulitnya putih pucat seperti orang sakit, bibir yang tipis ranum itu mampu membuat siapapun memabukkan. Zaidan tak tahu ada pemandangan seindah ini.
"Astaga, gimana gue mau ngebuat lo berubah kalau pertemuan pertama aja lo udah tepar nggak berdaya," katanya ketika memandangi gadis itu heran.
Benar, Zaidan tak bisa memilih hatinya teruntuk Mara atau Diva.
"Div, hoi, bangun... Sebenarnya gue nggak tega, tapi mau gimana, ya masa gue harus gendong lo? Bisa di amuk ketua singa gue,,"
"...heiii Divvvv...." ucap Zaidan sedikit berteriak membuat Diva membuka matanya perlahan dan meninggalkan Zaidan begitu saja menuju kamarnya.
Sialan, masih ada gue disini, main tinggal aja.
Mara menelepon, menanyai kabar Zaidan, lalu mengajak ngobrol sebentar di cafe kemarin sewaktu ia kencan dengan Diva. Dan akhirnya ia bertatapan langsung dengan gadis itu, gadis yang pernah membuat hatinya porak poranda, juga perasaan yang tiada habisnya senang ketika Mara tersenyum tulus bahagia. Zaidan tidak bisa mendeskripsikan sedetail mungkin peristiwa menyenangkan itu, ia tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih diantara keduanya.
"Kabar baik Dha?" kata Mara to the point menanyai Zaidan yang tatapannya sedikit gelisah.
"I-iiyaa, baik, lo sendiri?"
Senyum Mara mengembang, "Baik juga, btw, kok nggak sama Diva, Dha?" lanjut Mara sambil mencari-cari Diva.
"Eh, itu, Diva lagi nggak bisa diajak jalan..."
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIVA
Teen FictionDiva, Adiva Aurina. Anak terakhir dari empat bersaudara, ia cewek yang suka ngomong kasar, beringas, ganas, liar dan nggak tahu sopan santun, cewek ini cuma punya teman beberapa doang dan bahkan bisa di hitung pakai jari. Selalu kesal karena di ruma...