Mulmed by: We Heart It. [Diva mood today]
Hari ini hari yang bersejarah bagi kehidupan Diva selama berbelas - belas tahun, mengapa? Karena sesuatu yang Diva nggak pernah lakukan di masa remajanya adalah menekuni sesuatu hal dengan serius. Dan di malam ini, dengan baik hati Zaidan menyodorkan tumpukan buku masuk kuliah untuk Diva, ya, perempuan itu harus duduk di bangku kuliah setelah Ujian Nasional yang di laksanakan kemarin dengan lancar.
Tentu, yang Zaidan harapkan adalah Diva yang menurut dan nggak protes dengan hal - hal lumrah semacam ini. Tapi, nyatanya tidak, Diva punya banyak alasan supaya tidak menyentuh buku itu. Katanya, toh kalau dia masuk ke Universitas bagus itu hanyalah bonus, dan kalau nggak masuk Universitas bagus itu hanya belum beruntung saja. Intinya, hidup cewek bar - bar itu cuma tentang istilah beruntung saja. Tuhan masih mengabulkan doanya, dan belum murka. Semoga saja tidak.
"Kamu mau aku gimana?" tanya Zaidan dingin dengan tangannya yang tertekuk di depan meja.
Diva bergeming, "Gue nggak tahu, dan nggak mau kaya gini Dan.."
"Kalau gitu, kamu yang kerja atau aku yang kuliah?" ucapan point yang bikin Diva merinding seketika. Zaidan tentu akan bertanggung jawab pada dirinya, namun tak etnis saja jika perempuan yang bekerja dan tentu laki - laki yang kuliah.
Kita hidup di Indonesia, memang, tentu banyak hal yang harus di jadikan pertimbangkan dalam Negara ini. Salah gaul aja bisa mrosot jiwa ke-Insecure-an kita. Betul nggak para jamaah?
"Hng, yaudah deh, gue belajar tapi jangan di tungguin. Gue bisa, tapi nggak janji juga. Jadi, gimana?"
Baru kali ini Zaidan melihat ada pergerakan taubat dalam diri Diva. "Deal, kenapa ga dari SMP aja kamu kaya gini?"
"Lo tau sendiri kan? Gue nggak pernah dipaksa belajar sama abang gue bahkan orang tua gue sendiri. Jadi ya, aneh aja kalau tiba - tiba lo gini.." sedangkan Diva menjawab dengan enteng tanpa dosa, sambil melanjutkan memilah buku tebal di depannya saat ini.
"Berusaha yang terbaik demi diri kamu sendiri, kalau kamu bangga juga aku pansos bangga" cengir cowok yang notabene-nya suami itu.
Pernikahan di umur yang segini sejujurnya masih di ambang ke galauan, bagaimana tidak? Secara finansial, materi dan agama pun mungkin masih di pertimbangkan. Apalagi dengan ekonomi dan perasaan anak muda yang masih berjiwa ambyar. Diva nggak janji masih atau ingin dengan Zaidan untuk kedepannya. Semoga saja, dengan menjatuhkan hati kepada pria itu tidak membuatnya berpikir bahwa semua pria sama saja. Diva tidak berharap, hanya saja menaruh keyakinan kepada orang yang ada di hadapannya saat ini.
"Lo nggak boleh pansos bangga sama gue, harus bisa mandiri"
"Selama ini aku juga Mandi Sendiri kok sayang.." Zaidan terkekeh geli dengan pemahaman yang salah.
"Heh! Makanya kurangin dong nonton bokep, jadi muasin hasrat sendiri kan?!" cewek ganas itu mulai menyeringai tajam.
"Emang kamu mau muasin?!"
Blak.
Aw.
"Zaidan yang terhormat. Kita masih muda, pikirin dulu hal yang semestinya kita pikirin. Kalau lo mau skidipapap mending skip aja.."
"Iya, bercanda Diva. Lagian, aku nggak sehina itu kok.."
"..tapi"
"APA?" serobot Diva masuk tanpa celah sedikitpun. Membuat cowok itu sedikit ngeri ketika ingin melanjutkan perbincangannya.
"Nggak jadi, lanjutin aja belajarnya, aku buatin cemilan buat kamu.."
"Oke, sekalian nitip mochi di kulkas ya, oh satu lagi, sekalian cokelat ya? Em, kayanya gue masih punya jajan taro deh di laci, tolong ya Dan? Nggak keberatan kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIVA
Teen FictionDiva, Adiva Aurina. Anak terakhir dari empat bersaudara, ia cewek yang suka ngomong kasar, beringas, ganas, liar dan nggak tahu sopan santun, cewek ini cuma punya teman beberapa doang dan bahkan bisa di hitung pakai jari. Selalu kesal karena di ruma...