ADIVA 28

1K 43 4
                                    

Hari ini Diva tidak masuk sekolah di karenakan luka itu berimbas pada Diva yang tidak bisa berjalan, maka dari itu ketiga abangnya sangat-sangat khawatir. Mondar-mandir sekedar mencari obat yang cocok untuk Diva dan lututnya. Tadi pagi Diva mengerang kesakitan sulit berjalan kemudian berteriak memanggil sekomplotan para manusia jahanam, mengingat pagi-pagi buta para abangnya belum terbangun dari mimpi indah terkecuali Bagas. Abang dengan hobby membaca tulisan laknat itu selalu mempersiapkan semuanya pada pagi hari, lalu melanjutkan tidurnya ketika ada jam kuliah siang. Pada saat itulah waktunya Deva tepar karena malamnya ia menonton video penuh sejarah di ranjang di susul Rafi yang sibuk akan ponsel tatkala banyak fans yang menyapanya lewat akun media sosilnya berbentuk Instagram.

"Ini semua gara-gara Dafi!" ketus Rafi sambil mengompres sekitaran luka Diva yang membengkak seperti kejatuhan botol berisikan batu, anggap saja seperti itu.

Deva menyusul dengan membawakan sekotak peralatan P3K, "Ini, ada disini semua kan obatnya?!"

Bagas menganga, "Dev! Lo bego apa gimana sih? Kotak ini tuh isinya rempah-rempah Mbak Inah!"

"Lah?! Elo bego! Orang ini kotak P3K juga?!"

"Lo buka deh cepetan! Gue udah paham sama Mbak Inah yang sering buka kotak itu!" Bagas menggelengkan kepalanya seraya duduk di tepi ranjang Diva, Rafi masih bergelut dengan mengompres lutut bengkak itu sambil menyeramahi Diva dengan Dafi yang di salahkan.

"Tuh kan apa! Bener gue bilang, kotak itu tuh kotak bersejarahnya Mbak Inah!" lantas Deva berdecak kagum, ART itu kocak sekali dengan menaruh bahan masakan di dalamnya.

Kebetulan di bagian depan tertutup oleh kertas gambar putih, entah itu akal-akalan mamanya dulu atau Mbak Inah yang memang sengaja menempelkannya disana. Deva masih berdecak kagum akan kepintaran Mbak Inah disaat seperti ini. Keadaan sekarang sangat darurat, bahkan Deva berkeringat dingin, Bagas mendesis dan tentu saja Diva meringis.

"Gila Mbak Inah tuh mau bikin rumah kita penuh kejutan ya?!"

"Kaya lo ngga tau Mbak Inah aja sih Dev,"

"Terus kotak P3K yang asli tuh dimana?!" teriak Deva dengan tangan yang sudah membawa benda putih berisikan senjata dapur itu.

"Deket ruang mama nyimpen baju dulu, nah disitu kan ada kandang kucingnya si Diva, terus lo belok dikit ada kolam ikan—" Bagas masih berkata tapi enggan mengambilnya langsung.

Diva berdecak sembari menutup kupingnya kesal, Rafi terus saja melotot karena emosinya yang tertahan begitu teringat nama Dafi. Dafa, Raf, bukan Dafi. Kamu suka memelesetkan nama pemberian orang tua yang penuh anugerah itu.

"Disitu tempatnya?"

Bagas menggeleng. "—bukan, tepatnya di garasi belakang deket dapur dimana biasanya Mbak Inah tuh cuci piring.."

"Bejat! Lo ngejelasin pake muter-muter rumah segala! Lo sebutin semua area rumah!" Deva berlari dan melesat pergi hiang di balik pintu. Bagas terkekeh bahagia karena Deva begitu sangat khawatir.

"Dafi harus tanggung jawab!" ujar Rafi lagi dan itu membuat Diva geram lalu menjiwit lengan abangnya dengan kencang.

"Aww—sh, apaan sih Dipa, pake di cubit segala, kamu kira abang ini bantal micky mouse kamu?!"

"Ya habis! Orang daritadi dibilangin juga namanya DAFA! DAFA ALZAIR! Bagus! Dia itu punya nama!" ringis Diva, Bagas bergumam halus.

"Sama aja! Dia kan juga orang!"

"Abang ih!"

"Bawa Dafa ke rumah, kita harus introgasi dia" dingin Bagas dan di angguki oleh Rafi. Itu menambah kekesalan Diva memuncak seratus delapan puluh derajat.

ADIVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang