Chapter 4: Part 6

73 3 0
                                    

Aku ketakutan

Aku sangat, sangat takut.

Aku takut pada sekolah yang kosong dan gelap gulita. Takut atas satu-dalam-satu-juta kemungkinan bahwa salah satu hantu dari tujuh keajaiban itu akan keluar, dan... Takut karena meninggalkan Nico di sana dan melarikan diri sendirian.

Aku tidak bisa melakukan itu. Jadi, aku menggigit bibirku. Dan kemudian, aku menuju gedung sekolah dan berlari. Dua ketakutan lawan satu. Jika ini tentang keputusan mayoritas, maka ketakutanku akan kegelapan dan hantu yang akan menang. Tapi, itu soal yang lain.

Aku tahu aku tidak bisa meninggalkan Nico di sana.

Aku tidak akan bisa bergerak lagi jika mulai memikirkan itu, pikiranku berubah jadi kosong.

Aku ketakutan. Yang aku lakukan hanyalah menatap ke satu titik dan berlari demi hidupku sendiri. Yang bisa aku lakukan hanyalah mencari Nico. Ketika aku mencoba masuk dari pintu masuk staf yang paling dekat dengan ruang musik, aku melihat dia.

Seorang gadis kecil dengan seragamnya, meringkuk di tangga beton kecil di pintu masuk. Wajah Nico basah karena air mata menetes di pipinya.

"Maaf, Nico. Apakah kamu-" Saat aku mendekatinya...

"WAAAAAAAAHH !! Bagaimana bisa kamu meninggalkanku di tempat menakutkan itu seorang diri!?" dia menangis.

"Aku benar-benar minta maaf. Hanya saja, kupikir tadi aku mendengar seseorang memainkan piano, dan menjadi takut, lalu... dan lagian, kamu tidak terlihat seperti orang yang takut pada hal semacam hantu"

"Tapi- aku emang baik-baik saja kalo sama kamu, tapi itu benar-benar berbeda kalo aku sendirian!"

Nico tersedu-sedu dan menatapku, dan aku melihat ke bawah roknya, dan melihat ada darah berasal dari goresan kecil di lututnya.

"Aku jatuh..." kata Nico dengan ekspresi malu. Secara otomatis, tanpa berpikir, aku membungkuk di depannya dan dengan lembut menyeka lukanya dengan saputanganku.

"Bagaimana sekarang? Bisakah kamu berjalan?"

Nico memberikan respon yang tajam dan angguk kekanak-kanakan sebagai responnya, dan aku perlahan-lahan menuntun tangannya ke air mancur untuk membersihkan goresan lukanya.

"Dari yang terlihat, sepertinya tidak ada yang parah, jadi tinggal memberikan disinfektan dan memasang band-aid begitu kamu sampai di rumah dan seharusnya itu baik-baik saja." Kataku, melipat sapu tanganku dan membungkusnya erat-erat di sekitar luka. Saat aku tersenyum pada Nico, meskipun wajahnya masih basah dengan air mata, dia membalas balik dengan anggukan kecil.

Waktunya pulang! Pikirku, dan mengangkat tumitku untuk pergi, tetapi Nico

tetap di sana, tidak ada tanda bahwa dia akan melepaskanku.

Kami masih berpegangan tangan.

Ketika aku mencoba untuk mengendurkan diriku, dia malah mengencangkan cengkeramannya.

Masih melihat ke tanah karena malu, Nico menggigit bibirnya, dan pita merah di atas kepalanya menari terbawa angin.

Dan, aku tidak tahu sejak kapan, tetapi pada suatu titik, aku benar-benar lupa betapa takutnya aku terhadap hantu. Dan meskipun aku biasanya juga sangat takut dengan rumah angker. Hehe.

Melihat Nico yang menangis, aku mulai berpikir bahwa dia agak imut, seperti anak kecil, gadis sekolah dasar, dan dengan itu, aku tidak lagi takut pada sekolah yang gelap di malam hari atau hantu apa pun. Dan itu... adalah salah satu dari tujuh keajaiban Otonoki musim panas ini.

Nico sangat tepat.

Saat kamu sendirian atau kamu bersama dengan orang lain itu adalah dua hal yang berbeda.

Sama sekali tidak seperti keajaiban palsunya Nozomi, bukan?

Love Live! School idol diary: Maki Nishikino [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang