Chapter 7: Part 5

66 4 0
                                    

"Jadi kita berpisah disini, ya?"

"Ya..."

Sekali lagi, dia berbicara begitu riang, aku tidak bisa menatapnya lurus-lurus.

Berdiri bersama di depan altar kuil, aku menghadap ke depan dengan mata tertutup dan pura-pura berdoa.

Maret, di kuil Yushima Tenjin, adalah terakhir kali aku melihat dia.

Itu adalah hari yang sangat cerah, meskipun beberapa sisa badai salju yang tidak biasa masih tersebar di sana-sini.

Dia mengajakku untuk ikut membeli jimat bersama di sini sebelum ujian kami, dan sehari setelah kelulusan kami, dia menelepon untuk aku ikut berdoa bersamanya.

Aku sedang tidak memiliki agenda apapun pada jadwal liburan musim semi ini, jadi aku meninggalkan rumah sambil bergumam pada diriku sendiri bahwa ini memang kegiatan yang wajar dilakukan untuk seseorang yang baru saja lulus SMP.

Agak jauh, tapi masih dapat ditempuh dengan berjalan kaki, kuil Yushima Tenjin dikenal di seluruh negeri sebagai tempat tinggal Dewa Pendidikan, jadi kemungkinan besar, setiap anak di sekitar sini pasti berkunjung kepadaNya setidaknya satu kali.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dia begitu terkenal sampai-sampai mereka membagikan pensil yang diberkati yang menjamin kesuksesan tes di sekolah terdekat, dan jujur ​​saja, aku tidak terlalu tertarik dengan hal semacam itu. Tapi, ketika saatnya ujian besar, kamu tidak bisa tahan selain tetap mampir... mungkin itulah artinya menjadi orang setempat?

Aku bukan tipe orang yang mengandalkan dewa untuk memecahkan masalahku, tetapi jika Omine ingin aku pergi, maka aku tidak punya alasan untuk mengatakan tidak. Plus, kami berdua telah dipertemukan di sekolah kami, jadi aku kira kami telah mendapatkan perkenananNya. Jadi, kami harus pergi untuk mempersembahkan doa kepadaNya, kan? Yah, itulah alasan yang kubuat untuk diriku sendiri supaya mau pergi.

"Aku masih cemburu bahwa kamu akan pergi ke Otonoki."

Aku terhadang oleh keras kepalanya.

"Ya, ya, aku juga bisa mengatakan hal yang sama kepadamu. Aku mendingpergi ke sekolah asrama mewah seperti kamu daripada ke Akademi Otonokizaka yang kuno."

Omine cekikikan, "Mmm, itu akan lebih cocok untuk kamu, kan? Jadi bagaimana kalau kita saling bertukar? Kamu dan aku dapat bertukar tempat sebagai perwakilan pengambilan ujian... Maksudku, perwakilan pendaftaran! Bagaimana? Tidak perlu memberitahu orang tua kita dan aku yakin tidak akan ada yang tahu. "

Bersama Omine, sulit untuk mengatakan apakah dia sedang bercanda atau serius.

"Oh iya. Bagaimana kalau kamu juga berhenti menangis karena susu yang tumpah? Kamu akan pergi ke sekolah pribadi impianku, jadi sebaiknya kamu mempunyai waktu hidup yang lebih baik di sana, oke? Aku yakin kamu akan membuat banyak teman dalam waktu singkat, dan kamu akan menyukainya di sana, meskipun jauh dari rumah." Aku berkata tanpa memalingkan wajah kepadanya.

Omine secara bertahap mulai berbicara lebih lembut dan lebih pelan, "Kurasa tidak akan ada gunanya berpindah tempat, karena kita masih akan pergi ke sekolah yang berbeda." Suaranya berubah menjadi bisikan.

"Ada yang salah, Omine?"

Aku menoleh untuk melihatnya... dan dia menangis.

"Maki, aku benar-benar ingin pergi ke sekolah bersamamu. Aku ingin pergi ke Otonoki denganmu..."

Omine menangis tanpa suara, tenggorokannya gemetar tanpa suara. Ini pertama kalinya aku melihatnya seperti ini. Dengan mata tertutup, hampir terlihat bahwa dia sedang tertawa.

"Omine..." kataku, tapi aku menahan diri.

Omine menekan wajahnya ke pundakku.

Aku bisa merasakan panasnya air mata, membasahi mantelku.

"Jadi aku masih hanya sekedar Omine bagimu, bahkan sampai akhir, yah?" dia tertawa, dengan wajahnya masih menempel di pundakku. "Itu emang kamu banget, Maki," tambahnya, tapi masih tanpa bergerak. Pada akhirnya, kita tetap seperti itu untuk waktu yang lama.

Aku tidak yakin harus berbuat apa,

Jadi, aku hanya berdiri saja di sana.

Sebenarnya, kenyataan bahwa aku tidak bisa bersama dengan Omine lagi adalah fakta yang paling sulit bagiku.

Itu adalah pertama kalinya aku merasa malu pada diriku sendiri karena tidak bisa jujur ​​dengan perasaanku.

Aku tidak bisa mengatakan kepada orang yang aku sayang betapa aku sangat menyayanginya.

Diriku yang kekanak-kanakan saat itu bahkan tidak dapat menyadari bahwa aku sangat menyayangi orang yang sangat aku hargai.

Love Live! School idol diary: Maki Nishikino [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang