#15 Masalah Demi Masalah

8.1K 122 2
                                    

Keesokan paginya, begitu terbangun dari tidur mereka di rumah masing-masing, Andre dan Calvin memeriksa pesan-pesan sms yang masuk ke ponsel mereka. Namun ternyata tidak ada satupun pesan dari teman mereka yang mengetahui nomor ponsel milik peneror yang mereka tanyakan semalam. Cindy juga membalas sms pertanyaan Andre. Jawaban Cindy sungguh mengagetkan Andre.“NGAPAIN LO NANYA-NANYA GUA? KITA UDAH PUTUS. GAK ADA URUSAN LAGI! ITU KAN SELINGKUHAN ELO. PURA-PURA GAK TAU LAGI!”
Andre tak menyangka Cindy sangat marah padanya sampai-sampai mengatakan putus. Andre tak pernah berpikir akan putus secara tidak baik-baik dengan siapapun, termasuk Cindy. Karena itu mendadak putus (bukan mendadak dangdut lho) dengan Cindy seperti itu membuat Andre sedikit
shock, namun ia berusaha tidak terpengaruh dengan hal itu. Masih ada hal lain yang lebih berat yang perlu di pikirkannya, yaitu rekaman cabulnya bersama Calvin yang berada di tangan penerornya.
***
Sementara itu di rumah Cindy, Asep sedang mengantarkan sarapan untuk majikannya yang cantik. Sarapan itu diantarkan Asep langsung ke kamar gadis yang semalam bertempur liar bersamanya di ruang tamu itu. Setelah orgasmenya tuntas bersamaan dengan Cindy, Asep yang perkasa memang masih sempat membopong tubuh majikannya yang kelelahan ke dalam kamarnya. Ketika Asep akan meninggalkan Cindy sendirian di kamar, gadis itu menahannya. Jadilah malam itu Asep tidur berpelukan mesra dengan majikannya yang cantik.
“Kamu kok repot-repot banget sih Sep?” tanya Cindy dengan senyum manja pada Asep yang membawakan sarapannya. Nasi goreng spesial pake tElor ceplok plus segelas jus jeruk hangat terhidang di atas nampan yang di bawa Asep. Nampan itu kemudian di letakkan Asep di atas pangkuan Cindy yang duduk di atas kasur dengan tubuh telanjangnya di balut selimut. Udara kamar yang dingin oleh pendingin ruangan membuat Cindy tak mau kedinginan.
“Habisnya Non semalam juga sudah repot memuaskan sayah,” sahut Asep cerdik. Makin pinter aja cowok desa ini menjawab. Asep yang bertelanjang dada kemudian duduk di samping Cindy.
“Ih… kamu,” sungut Cindy manja sambil mencubit puting dada bidang Asep.
Cowok desa itu mengelak dari cubitan nakal majikan cantiknya itu. Kemudian ia memperhatikan majikannya yang mulai menyuap sesendok demi sesendok nasi goreng ke dalam mulut mungilnya yang semalam sampai termonyong-monyong mengulum batang kontolnya.
“Sep, kamu kok tiba-tiba datang ke Jakarta. Ada apa sih?” tanya Cindy. Rupanya gadis itu baru tersadar kalau kemarin belum sempat menanyakan alasan kedatangan Asep.
“Hmm..,” Asep menunduk, terasa sungkan baginya mengatakan maksud kedatangannya kepada Cindy.
“Ada apa sih? Diomongin dong, gak usah malu-malu,” kata Cindy.
“Sayah mau kerjah di sini ajah Non,” sahut Asep kemudian.
“Oh gitu. Ngomongin gitu aja malu-malu,” kata Cindy.
“Non gak keberatan?”
“Ngapain juga keberatan. Kalo kamu di sini sayakan gampang kalo kepingin ngentot sama kamu,” sahut Cindy santai. Asep tersenyum.
“Kamu mau kerja apa disini?” tanya Cindy.
“Ya terserah Non aja. Tapi Non…”
“Tapi apa?”
“Non jangan bilang-bilang sama Abah dan Ibu kalau sayah disini ya.”
“Emang kenapa?”
“Sayah gak bilang kalo mau ke rumah Non. Saya kabur dari rumah.”
“Kok gitu?”
“Abah sama ibu tidak setuju ketika sayah omongin pingin ngerantau ke Jakarta. Kata merekah di kota nanti sayah bisa rusak.”
“Ih, ada-ada aja orang tua kamu itu. Gimana ceritanya kamu jadi rusak? Yang bener adalah kamu yang ngerusak memek saya,” kata Cindy terkikik.
Asep ikutan tertawa.
“Sep udah kenyang nih, bawa ke dapur aja nih makanan,” kata Cindy lagi.
“Kok dikit banget makannya Non?’ tanya Asep.
“Kalo banyak-banyak makan, aku gemuk dong. Udah deh sana, aku mau mandi dulu,” kata Cindy.
Asep kemudian berlalu membawa nampan menuju dapur. Cindy menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Keran air di bath tub yang telah di tuang sabun cair di hidupkannya. Menunggu air di bath tub penuh, Cindy mengguyur tubuh ramping sintalnya dengan air dingin menyegarkan dari shower. Setelah bath tub penuh air dan busa sabun Cindy kemudian berendam di sana.
Lima menit berendam sambil memejamkan mata di dalam bath tub, tiba-tiba Cindy mendengar langkah kaki memasuki kamar mandinya. Di samping bath tub, di lihatnya Asep berdiri tegak mamandanginya. Tubuhnya yang kekar sudah telanjang bulat. Batang kotolnya yang besar keras mengacung. Cindy tersenyum nakal pada pemuda desa itu. Ia segera paham apa yang di inginkan oleh Asep saat itu.
“Kemari Sep,” kata Cindy.
Selanjutnya Cindy dan Asep bergumul di dalam bath tub. Busa sabun tumpah ruah dari dalam bath tub saat kedua makhluk lain jenis itu sekali lagi meluapkan birahi mereka.
***
Andre masih menunggu balasan sms dari teman-temannya sampai siang di rumah. Ia tidak berangkat sekolah lagi karena tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja. Hampir semua teman yang di kiriminya sms sudah membalas, namun tetap saja tidak ada yang tahu nomor ponsel siapa yang mengirimkan sms teror itu kepada Andre.
Bosen di rumah, Andre pergi ke rumah Calvin. Sahabatnya itu terlihat murung saat Andre tiba di rumahnya. Membayangkan kemungkinan buruk apa bila rekaman cabul itu tersebar, yang membuat Calvin murung. Kedua sahabat itu membicarakan keresahan mereka di teras rumah Calvin.
“Gak ada yang tau Ndre,” kata Calvin sedih.
“Temen-temen Gue juga gak ada yang tau nih. Tapi masih ada yang belum membalas ke gua Vin. Mudah-mudahan masih ada harapan, ada yang tau.”
“Kalo temen-temen Gue udah membalas semua. Gimana ya Ndre? Gue gak tau mau gimana kalo sempet rekaman kita itu meluas.”
“Jangan langsung panik gitu dhonk, Vin. Mudah-mudahan temen Gue yang belum membalas ini ada yang tau.”
“Ndre, Gue bener-bener jijik baca sms si pengintip yang Elo reply ke Gue. Kalo ketemu mau deh Gue tonjok dia,” kata Calvin kesal.
“Tenang Vin. Kalo ketemu, gak usah Elo yang nonjok. Gue yang bakalan menghajar tuh orang duluan,” kata Andre.
Dia juga kesel banget dengan si pengintip yang menerornya.
“Orang tua Elo kerja Vin?” tanya Andre.
“Iya. Kenapa?”
“Gak papa. Gue cuman mau mastiin aja kalo kita ngomong bisa leluasa,” kata Andre.
“Tapi jangan terlalu keras, entar pembantu Gue denger,” jawab Calvin mengingatkan.
Beberapa sms masuk lagi ke ponsel Andre. Tetap juga jawaban yang mereka peroleh tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Semua teman Andre sudah mengirimkan balasan. Musnahlah sudah harapan mereka untuk mengetahui apakah ada teman mereka yang mengetahui pemilik nomor ponsel peneror.
“Gimana dong Ndre?” tanya Calvin.
Wajah gantengnya terlihat keruh.
“Gue juga jadi makin pusing nih,” kata Andre.
Keduanya lalu terdiam seribu bahasa. Pusing dengan apa yang mereka hadapi saat ini.
“Besok temenin Gue deh Vin,” akhirnya Andre memecahkan kesunyian.
“Ngapain?”
“Papa nyuruh Gue ketemu dengan seorang perwira TNI yang akan membantu Gue mempersiapkan diri untuk seleksi taruna Akmil.”
“Elo pake koneksi ya?” tuduh Calvin. Ia tak suka apabila sahabatnya itu lulus Akmil secara KKN.
“Enggak dong. Cuman bantuin persiapan doang. Gue mana mau pake koneksi-koneksian Vin.”
“Gitu ya.”
“Ya. Dari pada Elo di rumah doang, gak ada kegiatan. Sekolah juga udah gak masuk lagi. Entar Elo kepikiran terus soal pengintip gila ini.”
“Mmm… Liat besok deh, niatnya Gue mau belajar aja.”
“Gue yakin Elo gak bakalan deh bisa konsentrasi belajar.”
“Iya juga sih.”
“Makanya ikut aja dengan Gue.”
“Jam berapa perginya?”
“Pagi-pagian aja.”
“Boleh deh kalo gitu.”
Keduanya terdiam lagi.
“Ngomong-ngomong, Elo udah baikan ya sama bokap?” tanya Calvin memecahkan suasana.
“Hehehe. Iya, Gue pikir gak ada gunanya juga musuhan. Lagian Gue juga bukan orang baik-baik amat kok. Buktinya kita berdua aja kepergok lagi ngesex di kelas. Sejak itu Gue sadar, kalo Gue juga rusak. Gue dan Papa Gue, sama aja sakitnya. Dan Gue juga gak mau keutuhan keluarga Gue jadi hancur,” sahut Andre.
“Gak nyangka, Lo jadi bijaksana gitu,” kata Calvin nyengir.
Andre pun nyengir. Lalu keduanya terdiam lagi, cukup lama. Sibuk dengan pikiran sendiri lagi.
“Jalan-jalan aja yuk Vin,” kata Andre memecahkan keheningan lagi.
“Siang-siang begini?”
“Abis mau ngapain lagi. Enakan jalan-jalan dari pada suntuk begini. Cari makan kek, ato ngapain deh.”
“Ayo deh. Gue ganti baju dulu ya.”
“Gue tunggu di sini ya.”
“Gak mau lihat Gue ganti baju?” pancing Calvin.
“Gak usah deh. Entar Elo ganti bajunya jadi lama.”
“Kok bisa?”
“Abis Gue terangsang liat Elo.”
“Dasar. Bentar ya.”
“Ya.”
Calvin lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Andre duduk sendiri di teras. Menunggu Calvin bertukar pakaian, Andre iseng membersihkan sepeda motornya yang berdebu. Ponsel Andre kembali berdering. Pasti sms dari si peneror, kata Andre dalam hati. Di cuekinnya saja sms itu. Ia asik mengelap sepeda motornya dengan kain lap sambil bersiul-siul.
Sedang asik mengelap sambil bersiul-siul, tiba-tiba Andre di kejutkan oleh teguran seorang gadis di pintu gerbang rumah Calvin. Sebuah taxi baru saja melaju meninggalkan sang gadis di depan pintu gerbang itu. Rupanya saking asiknya membersihkan sepeda motornya sambil bersiul, Andre tak menyadari bila tadi ada sebuah taxi yang berhenti di depan rumah sahabatnya itu.
“Mas, Calvinnya ada?” tanya gadis itu sambil membuka pintu gerbang rumah Calvin dan kemudian memasuki halaman rumah, mendekati Andre.
“Ada Mbak. Lagi di dalem, tukar baju,” jawab Andre.
Ia mengamati gadis cantik itu. Tatapannya pada sang gadis menyiratkan tanda tanya. Siapa makhluk manis ini? Ia belum pernah bertemu dengannya saat berada di rumah Calvin.
“Temennya Calvin ya?” tanya gadis itu.
“Iya Mbak, saya Andre,” kata Andre sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan, berkenalan.
Berharap sang gadis juga memperkenalkan dirinya.
“Ooo… Ini toh yang namanya Andre,” komentar sang gadis.
Bukan namanya yang disebutkannya. Namun malah tanggapan, sepertinya dia sudah mengetahui siapa Andre ini.
“Iya Mbak. Udah kenal dengan saya ya? Perasaan saya bElon pernah ketemu deh,” Andre jadi penasaran.
Ia merasa belum pernah kenal dengan gadis ini. Namun sepertinya gadis ini sudah mengetahui tentang dirinya.
“Kenal sih belon. Kan kita baru ketemu hari ini. Cuman denger nama kamu udah sering,” jawab sang gadis.
Dia tersenyum ramah. Membuat wajahnya yang cantik, semakin indah dilihat.
“O… ya? Kok bisa?” tanya Andre bingung. “Udah sering denger nama Gue? Dari siapa? Siapa juga yang suka bercerita tentang dirinya pada gadis ini?” batin Andre.
“Saya Desi, sepupunya Calvin. Calvin sering cerita soal kamu lho,” kata Desi.
Jawaban Desi membuat Andre ge er. Calvin sering bercerita tentangnya? Andre menyadari bahwa Calvin memang memendam rasa padanya, hingga sering bercerita tentang dirinya pada gadis ini. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri. Entah kenapa ia merasa senang mendengar kata-kata gadis ini, bahwa Calvin sering menceritakan tentang dirinya. Namun kemudian Andre tersadar, kalo ia sedang senyum sendiri di hadapan gadis itu. Kesadarannya timbul, karena gadis itu di lihatnya memandang kepadanya dalam pandangan yang bingung.
“Ooo… Saya memang sering belajar bersama dengan Calvin Mbak,” kata Andre sedikit gugup.
“Karena itu Calvin jadi sering bercerita tentang saya ya?” sambung Andre.
Suasana jadi agak kaku, Andre jadi salah tingkah. Sementara Desi juga jadi bingung dengan kekakuan suasana yang terjadi.
“Ya… Calvin sering bercerita kalo kalian selalu belajar bersama,” kata Desi.
Ia mencoba menetralisir suasana. Padahal ia tidak tahu apa-apa soal belajar bersama antara Calvin dan Andre. Untung saja Andre membuka percakapan ke arah itu. Hal yang di ketahuinya soal Andre bukan tentang belajar bersama. Tapi kecurigaannya bahwa sepupunya Calvin, ada perasaan khusus pada Andre ini.
Desi tak menyangka, bahwa Calvin sudah bersahabat dengan yang namanya Andre ini. Selama ini Calvin belum bercerita padanya. Yang di ketahui Desi selama ini adalah Calvin mengagumi Andre, namun tak pernah berani untuk bersahabat dengannya. Melihat Andre ada di rumah Calvin saat ini, Desi merasa mendapat kejutan. Calvin punya rahasia rupanya, katanya dalam hati.
Tak lama kemudian Calvin keluar dari dalam rumah. Ia sudah rapi dengan setelan jeans dan kemeja kotak-kotak. Begitu melihat Desi sedang ngobrol-ngobrol dengan Andre, sontak Calvin terkejut. Ia langsung berjalan cepat mendatangi sepupunya itu.
“Desi! Kapan datang?” seru Calvin gembira.
Tubuh mungil sepupunya itu langsung di peluknya erat. Membuat Desi susah bernafas dan tak bisa langsung menjawab pertanyaan sepupunya yang ganteng itu.
“Kangen banget Gue sama Elo. Waktu gempa kemaren Gue berharap Elo segera ke Jakarta. Syukurlah tempat kos Elo di sana gak kenapa-kenapa ya,” bisik Calvin pada Desi penuh haru sekaligus juga gembira.
Ketika gempa mengguncang Yogyakarta, Calvin memang segera menghubungi sepupunya itu. Dia kuatir terjadi apa-apa pada Desi. Setelah Desi mengabarkan bahwa dirinya tidak apa-apa barulah Calvin lega. Namun demikian setiap waktu Calvin tetap menayakan perkembangan kondisi Desi dan memintanya untuk segera ke Jakarta sampai situasi di Yogya lebih kondusif. Namun gadis itu menolak dengan alasan ia menjadi relawan disana.
“Gue juga kangen banget sama Elo. Ini aja baru nyampe Gue langsung kesini gak ke rumah orang tua Gue dulu. Nggghhh… keliatannya Elo berdua mau pergi ya?” kata Desi bertubi-tubi, setelah Calvin melepaskan pelukan yang erat di tubuhnya.
“Niatnya sih gitu. Oh… iya, Des kenalin ini..,” sahut Calvin dan akan memperkenalkan Andre pada sepupunya.
Namun belum selesai kalimatnya, Desi sudah memotong.
“Andre. Tadi udah kenalan kok,” potong Desi.
“I… iya… udah kenal ya?” Calvin terlihat malu-malu.
Meski tak terlihat jelas, namun wajahnya bersemu merah saat itu.
“Iya Vin. Tadi udah kenalan sebelum Elo keluar,” kata Andre mengiyakan kata-kata Desi.
Calvin agak salah tingkah berhadapan dengan Desi dalam situasi seperti ini. Pandangan Desi di rasakannya seperti menggodanya.
“Kalo mau pergi ya silakan. Gue nungguin di rumah Elo aja ya,” kata Desi.
“Gak usah Mbak. Ikutan aja gak papa kok,” kata Andre.
“Gak usah deh,” kata Desi menolak.
“Gak papa Des, ikutan aja. Kita naik mobil kalo gitu ya Ndre,” kata Calvin.
“Oke,” sahut Andre menyetujui.
Desi akhirnya ikut. Andre bertugas jadi supir mengemudikan mobil milik Calvin. Mobil yang sangat jarang di pakai oleh Calvin, karena cowok itu memang kurang suka mengemudikan mobil. Ia lebih memilih naik bis atau kendaraan umum lain bila pergi sendiri.
Mereka bertiga jalan-jalan di plaza dalam kompleks perumahan Bintaro. Di awali dengan makan siang, kemudian berlanjut dengan main game dan nonton film di Studio 21.
“Datang kok gak ngasih kabar dulu Des? Hmmm Elo gak pulang ke rumah dulu gak papa nih? Nanti kalo Tante Rini tau gimana?” bisik Calvin pada Desi.
Ia menyempatkan bertanya pada sepupunya itu di dalam bioskop saat film sedang di putar. Karena ia merasa aneh dengan kedatangan Desi yang tiba-tiba itu.
“Entar deh Gue ceritain. Gak enak masih ada Andre,” kata Desi balas berbisik.
“Eh… Elo pacaran ya dengan Andre?” tanya Desi langsung ke sasaran.
Calvin jadi gugup dengan pertanyaan seperti itu.
“Enggg… enggak kok. Dia udah punya cewek kok!” Calvin menjawab sambil berbisik lagi.
Takut kedengaran Andre yang duduk di sebelahnya.
“Jangan bohongin Gue!” kata Desi tegas.
Calvin pun mingkem.
***
Usai bercinta yang cukup menguras tenaganya dengan Asep di bath tub, Cindy langsung mandi dan kemudian terlelap di kamarnya hingga tengah hari. Seperti semalam, tadi Asep juga menemaninya tidur sambil berpelukan mesra di bawah selimut tebal. Kedua orang tuanya yang belum kembali dari Singapura menyebabkan Cindy bisa bebas membawa Asep ke dalam kamar itu. Saat terbangun di lihatnya Asep sedang sholat dzuhur di dalam kamar menggenakan sejadah Cindy yang udah lama banget tak di gunakan gadis itu. Kehidupan yang bebas menyebabkan gadis itu memang sudah cukup lama melupakan kegiatan religius. Melihat Asep yang sedang sholat tak urung membuat gadis itu tertawa geli.
“Kenapa ketawa Non?” tanya Asep pada Cindy setelah menunaikan sholatnya.
“Kamu itu aneh-aneh aja Sep. Tadi pagi kita barusan aja ngentot. Itukan berzinah. Ngapain juga kamu sekarang sholat?” kata Cindy.
“Habis udah kebiasaan Non. Kalo ga sholat rasanya ada yang kurang.”
“Dasar gak jelas kamu. Sholat kok cuman kebiasaan doang. Harusnya kalo kamu sholat jangan lagi berzinah dong,” kata Cindy lagi sambil tertawa geli.
Asep cuman tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
Kemudian dengan cuek gadis itu melepaskan selimut dari tubuhnya yang telanjang dan berjalan menuju lemari mencari pakaian. Asep yang sedang melipat sejadah dan sarungnya, langsung mElotot menatap tubuh indah majikannya itu.
“Sep, kamu bisa nyetir mobil?” tanya Cindy sambil menggenakan kaos dan celana jeans ketat ke tubuhnya.
“Enggak bisa Non,” jawab Asep.
“Belajar nyetir dong. Supaya nanti bisa nyupirin Gue,” kata Cindy.
“Kalo diajarin saya mau Non,” sahut Asep.
“Eh, kamu tuker baju yang rapi deh. Kita pergi ke rumah Mbak Cinta aja sekarang. Siapa tau suaminya bisa ngasih kamu kerjaan. Soalnya Mami sama Papi baru balik ke Indonesia minggu depan. Nungguin mereka ngasih kerjaan ke kamu kan kelamaan,” kata Cindy.
Asep mengangguk setuju. Senang juga dia melihat keseriusan Cindy mencarikannya pekerjaan.
Asep lalu bertukar pakaian di kamar itu. Pakaian yang paling rapi menurutnya ternyata sangat kucel menurut pandangan Cindy.
“Apa gak ada baju yang lebih bagus Sep?” tanya Cindy.
“Gak ada Non. Ini udah yang paling bagus. Dibeliin ibu buat lebaran tahun lalu,” sahut Asep.
Cindy cuman geleng-geleng kepala. Dasar orang udik, batinnya dalam hati. Cindy lalu membawa Asep ke rumah Cinta, kakak kandungnya yang tinggal di sebuah perumahan kawasan Depok. Cinta ini adalah kakak tertua Cindy yang menikah dengan seorang pegawai sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pengElolaan jalan tol.
Mas Yudha, nama suami Mbak Cinta, saat ini menjabat sebagai kepala personalia di kantor cabang Jakarta. Meskipun kehidupan keluarga kakak tertua Cindy itu sudah berkecukupan, namun bila di bandingkan dengan keluarga besar Cindy yang terbiasa hidup mewah tentu bak langit dan bumi saja.
Kedua orang tua Cindy sebenarnya kurang setuju atas pilihan Cinta menikahi Yudha. Mereka sebenarnya menginginkan kakak tertua Cindy itu menikah dengan anak relasi mereka yang sama-sama hidup bergelimang harta. Namun apa hendak di kata Cinta sangat teguh dengan pilihannya sendiri.
Meskipun jarang bertemu, karena orang tua mereka kurang suka bila Cindy sering mengunjungi sang kakak. Namun Cindy yang sejak kecil memang sangat dekat dengan Cinta, sering berkomunikasi via telepon. Banyak hal yang sering di curhatkan Cindy pada kakaknya itu dan Cinta akan dengan sabar mendengarkan curhat adiknya tersayang. Kuliah di Psikologi, meskipun saat ini hanya di rumah saja menjadi ibu rumah tangga ternyata mengembangkan pola berpikir Cinta, sehingga apa yang di kemukakannya dapat menjadi solusi bagi orang lain.
Tiba di rumah Cinta, Cindy di sambut dengan hangat oleh kakak tertuanya itu. Dalam hati, Asep mengagumi kemolekan kakak tertua Cindy itu. Kedua kakak beradik itu memang sama-sama di angerahi oleh Yang Maha Kuasa dengan wajah yang cantik dan tubuh yang indah. Perbedaan antara keduanya adalah Cinta terlihat anggun sekali sedangkan Cindy sangat manja.
Cinta mengajak kedua tamunya masuk ke dalam rumahnya yang mungil namun asri. Rumah yang di huni oleh Cinta dan keluarganya itu adalah rumah kompleks tipe 70 dengan tiga kamar saja. Setelah basa-basi sejenak sambil ngeteh dan ngemil, Cindy segera mengutarakan maksud kedatangannya kepada Cinta.
“Mbak, ingat gak dengan Asep putra Mang Harja yang jagain villa kita di Puncak?” tanya Cindy.
“Udah lupa dong Cindy sayang. Udah lama bangetkan Mbak gak kesana,” sahut Cinta.
“Emang kenapa dengan dia?”
“Asep datang ke rumah kemaren. Dia ngomong ke Cindy katanya minta di cariin kerjaan di Jakarta. Ini orangnya Mbak,” kata Cindy menunjuk Asep.
Sekilas Cinta melirik Asep yang di tunjuk oleh Cindy. Cowok desa itu terlihat malu-malu dan menundukan kepalanya saja sejak tadi.
“Terus maksud kamu gimana?” tanya Cinta.
“Siapa tau Mbak bisa bantu atau Mas Yudha mungkin, makanya Cindy bawa kemari aja. Soalnya kalo di rumah paling juga cuman di suruh jaga kebun sama Mami. Lagian Mami dan Papi juga gak ada di rumah nih. Cindy bingung mau cariin kerja Asep kemana, makanya Cindy kemari aja,” cerocos Cindy.
“Kamu ini memang kalau ada masalah aja baru inget sama mbak di Depok sini ya?” kata Cinta.
Cindy nyengir mendengar kata-kata kakaknya itu. Tiba-tiba seorang bocah perempuan umur tiga tahunan datang mendekati Cinta, di ikuti seorang pengasuh berseragam perawat warna putih dari belakangnya. Mata Asep sempat-sempatnya ngelirik si pengasuh. Tau aja Asep liat barang bagus. Perawat itu memang masih remaja dengan wajah dan tubuh yang lumayan mengundang selera lelaki. Sang perawat rupanya gatel juga, matanya juga melemparkan lirikan maut ke Asep.
“Ih, ini Clara kan Mbak. Udah gede banget ya,” kata Cindy sambil mendekati bocah mungil tadi.
Maksudnya akan menggendong namun Clara berlari menuju Cinta.
“Kamunya sih males kemari,” jawab Cinta lalu menggendong putrinya itu.
“Cantika mana Mbak?” tanya Cindy pada Cinta.
Cantika adalah putri bungsu Cinta dan masih berumur satu tahunan.
“Baru aja tidur waktu kamu datang. Clara ini tadi juga udah mau tidur, tapi ngedenger kamu datang bangun deh dia,” sahut Cinta lagi sambil memangku Clara.
Bocah mungil itu serius memperhatikan tamu ibunya.
“Kamu lulusan apa Sep?” tanya Cinta pada Asep.
“Hmm… SMA Non,” sahut Asep malu-malu.
“Mudah-mudahan di kantor Mas Yudha ada lowongan ya Sep. Kalau jadi satpam maukan?” tanya Cinta.
“Mau banget Non. Terima kasih atuh Non,” sahut Asep berseri-seri.
“Nanti tolong tanyain ke Mas Yudha ya Mbak,” kata Cindy.
“Iya, nanti Mbak tanyain.”
Asep duduk diam mendengar obrolan kakak-beradik itu. Ia tak tahu harus melakukan apa. Gak mungkinkan dia ngentotin dua kakak beradik yang aduhai itu.
***
Saat malam menjelang Andre, Calvin, dan Desi pulang ke rumah Calvin. Andre sebenarnya berniat untuk menginap di sana, namun kehadiran Desi menyebabkan niat itu di urungkannya. Andre pamit pulang setelah mengantar kedua sepupu itu.
“Vin, Gue pengen cerita,” kata Desi saat Andre sudah pulang kerumahnya.
“Tante sama Om, masih lama kan pulangnya?” tanya Desi mengkonfirmasi. Calvin melirik jam tangannya,
“Lumayan juga sih, emang kenapa?” tanyanya.
“Cuma mastiin aja, biar Gue leluasa cerita ke Elo.”
“Cerita apaan sih?”
“Gue punya masalah.”
“Gue tau. Liat Elo begitu lepas saat main game tadi, Gue curiga masalah Elo kayaknya berat banget ya.”
“Elo juga tadi lepas banget.”
“Kita gak sedang bahas soal Gue kan?”
“Entar kita bahas juga soal Elo. Terutama hubungan Elo sama Andre?”
“Gue gak ada apa-apa dengan dia.”
“Jangan berdalih!”
“Terserah Elo.”
“Vin…”
“Apa?”
“Dion ninggalin Gue!”
Deg! Jantung Calvin berdegup keras. Mendengar nama Dion, ia jadi teringat apa yang di lakukan Dion padanya, sakit hatinya tiba-tiba muncul kembali. Namun ia berusaha bersikap biasa. Ia tak mau Desi tahu apa yang di lakukan Dion padanya.
“Lalu kenapa? Elo kan bisa cari cowok lain.”
“Masalahnya bukan itu.”
“Terus apa?”
“Kayaknya Gue hamil deh,” jawab Desi lirih.
“Apa? Gila Lo,” seru Calvin.
“Sssttt… jangan keras-keras ngomongnya.”
“Lo harus minta tanggung jawab dia dong!”
“Gue gak tau dia di mana sekarang. Dia pamit ke Gue katanya ada acara organisasi kampus di Jakarta sini. Tapi setelah itu dia gak pernah komunikasi lagi ke Gue. Waktu Gue tanyain ke temen-temennya, mereka bilang gak ada acara itu di Jakarta. Gue coba hubungi terus ke ponselnya, tapi udah gak aktif lagi,” wajah Desi terlihat sangat keruh.
Emosi Calvin timbul, kemarahannya pada Dion kembali membara. Rasanya Calvin pengen menceritain apa yang dilakukan Dion padanya, namun ia yakin itu akan semakin memperkeruh suasana. Akhirnya ia tak jadi menceritakannya.
“Elo gak hubungi keluarganya di Palembang?” tanya Calvin.
“Itulah, Gue gak tau bagaimana mau menghubunginya. Gue gak pernah nanyain soal itu padanya Vin. Gue kok bego banget ya?”
“Elo kan bisa tanya-tanya soal itu ke bagian administrasi di kampusnya dia.”
“Malu Gue. Kayak cewek kegatelan aja nanya-nanya alamat cowok ke administrasi.”
“Jadi gimana dong?”
“Vin, kalo pun dia mau bertanggung jawab. Gue bElon siap buat kawin Vin.”
“Maksud Elo?”
“Gue masih pengen beresin kuliah Gue dulu.”
“Kalo gitu, Elo mau kuliah terus dalam keadaan hamil?”
“Ya enggak dong.”
“Terus gimana?”
“Gue pengen gugurin aja kandungan Gue ini.”
“Astaga! Des, Elo ngawur deh.”
“Abis mau gimana lagi? Kalo Mama sama Papa tau, Gue gak tau apa yang bakalan terjadi nantinya.”
“Kalo Mama sama Papa Gue tau Elo di sini gimana? Kan Om sama Tante akhirnya tau juga kalo Elo disini.”
“Makanya jangan sampe tau. Niatnya Gue mau nginep di hotel aja malam ini.”
“Elo sih, pacaran sama orang gak beres kayak gitu.”
“Gue mana tau kalo dia gak beres awalnya. Baru sekarang aja Gue tau kalo Dion itu emang kurang ajar.”
“Elo tau apa tentang dia?”
“Banyak Vin. Sekarang gua udah banyak banget tahu tentang dia. Temennya cerita ke Gue semuanya.”
“Kenapa temennya gak cerita ke Elo sejak dulu? Temennya itu berarti ikut jerumusin Elo dong!”
“Enggak Vin. Mereka bilang sejak awal mereka juga pengen nyeritain ke Gue. Tapi mereka gak enak hati, karena takut di anggap mengganggu hubungan Gue dengan Dion.”
“Apa aja yang Elo tau tentang dia?”
“Dion emang kurang ajar Vin. Sebenarnya Gue malu nyeritainnya ke Elo.”
“Kalo Elo malu sama Gue, ngapain Elo ceritain kalo Elo hamil ke Gue.”
“Iya sih. Dion itu ternyata gigolo Vin. Dia praktek gituan udah lama. Dia cari duit dari situ. Keluarganya di Palembang kata temen-temennya juga gak beres. Duh Vin, kok Gue bisa jatuh cinta sama orang begitu ya?” Desi terlihat sangat menyesal.
Air matanya sudah mengalir deras, Ia terisak-isak. Calvin merasa sangat sedih dengan keadaan sepupunya ini. Tak di sangkanya, dirinya dan sepupunya ini menjadi korban kebiadaban si Dion sekaligus. Calvin merengkuh tubuh sepupunya itu. Di peluknya erat dengan penuh kasih sayang.
“Jadi rencana Elo selanjutnya gimana Des?” bisik Calvin lembut.
“Vin, temenin Gue cari orang yang mau gugurin kandungan Gue ini ya.”
“Tapi Gue gak tau Des. Gue buta soal hal begituan.”
“Gue juga Vin. Tolong bantu Gue ya,” kata Desi.
“Gue akan bantu Elo sebisa Gue, Des.”
“Makasih Vin. Elo emang baek banget sama Gue,” lirih suara Desi dalam pelukan Calvin.
Untuk beberapa saat mereka terdiam dalam keadaan berpelukan. Tiba-tiba Desi melepaskan pelukannya dari Calvin. Ia menatap sepupunya itu.
“Apa?” tanya Calvin bingung dengan tatapan Desi.
“Sekarang Gue mau nanya.”
“Nanya apaan?”
“Hubungan Elo dengan Andre!”
“Des, plis…”
“Kenapa emangnya? Apa pun cerita Elo, Gue akan bisa menerimanya kok. Gue udah renungin lama tentang diri Elo Vin. Kalo emang Elo beneran gay, Gue gak papa kok. Gue akan tetap jadi sepupu Elo yang akan dengar semua curhat Elo,” kata Desi.
“Bukan gitu Des. Tapi jangan sekarang ya. Suatu saat Gue pasti akan cerita semuanya ke Elo.”
“Mmm… baiklah kalo gitu. Gua akan nunggu kapan Elo siap untuk cerita ke Gue.”
“Makasih Des.”
Malam itu Calvin mengantarkan Desi mencari hotel untuk menginap. Setelah itu dia pulang ke rumahnya kembali. Rasanya kepalanya menjadi semakin pusing. Satu masalah belum selesai di hadapinya. Kini ada lagi masalah baru, masalah Desi yang mau gak mau juga menjadi masalahnya.
***
Cinta melarang Cindy pulang ke rumah malam itu.
“Mami dan Papikan masih di Singapur, mending kamu menginap di sini aja deh malam ini. Lagian Mas Yudha bisa ketemu langsung dengan Asep. Jadi kalo memang ada lowongan, Asep bisa mempersiapkan apa yang dibutuhkan,” alasan Cinta pada Cindy.
Keduanya sedang ngobrol di dapur sambil menyiapkan makan malam. Sementara Asep di ruang tamu bersama sang pengasuh menjagai Clara dan Cantika. Asep bener-bener cari kesempatan dalam kesempitan nih.
“Tapi Mbak..,” kata Cindy tertahan.
“Tapi kenapa? Kamu gak biasa tidur di rumah kecil kayak gini?” potong Cinta langsung.
Ibu muda itu paham kalo adiknya itu agak berat menginap di rumah mereka.
“Ya, Cindy gak enak ngerepotin Mbak aja. Kalo Cindy tidur di sini Mas Yudhakan biasanya harus ngungsi tidur ke kamar Mas Indra,” kata Cindy.
“O… iya mbak, Mas Indra kok gak kelihatan sejak tadi?”
Mas Indra yang dimaksud oleh Cindy ini adalah adik kandung suami Cinta. Sejak kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di kawasan Depok, adik ipar Cinta ini memang menumpang di rumah mereka. Kedua orang tua suami Cinta sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sehingga Yudha sebagai anak yang tertua bertanggung jawab mengasuh adiknya itu.
Dalam hati Cindy, sebenarnya sangat salut melihat Cinta. Dulu kakaknya itu hidup bergelimang harta dan cuek dengan urusan keluarga. Namun kini bisa hidup bersama Yudha dalam kesederhanaan dan masih sempat mengurusi keluarganya dengan baik. Termasuk bersedia mengasuh adik suaminya. Padahal seingat Cindy, kakaknya itu dulu juga sering hura-hura bersama dengan Tante Vonny, adik bungsu ibu mereka. Usia Cinta dan Tante Vonny memang tidak berbeda jauh, hanya berselisih lima tahun saja. Karena itu mereka sangat akrab ketika remaja dulu. Sementara jarak usia Cinta dan Cindy cukup jauh. Cindy tidak mengetahui apa yang membuat kakak tertuanya itu bisa berubah sedrastis itu.
“Indra udah kerja Cin. Mas Yudha juga yang masukin kerja.”
“Kerja di mana Mbak?” tanya Cindy.
“Sama dengan Mas Yudha. Tapi kalo Mas Yudha kan di kantornya, sedangkan Indra di gerbang tolnya.”
“Gerbang tol mana sih? Kok aku gak pernah jumpa ya?”
“Mbak juga gak pernah sih nanya-nanya ke dia. Nanti kamu tanyain aja sendiri sama Indra. Ini udah jam berapa ya Cin?” kata Cinta sambil melirik jam dinding di rumahnya, setelah ia tahu jam berapa saat itu lalu berkata,
“Kayaknya bentar lagi mereka berdua pulang deh dan kamu wajib nginap disini malam ini!”
“Tapi Mbak…”
“Gak ada tapi-tapian lagi!” sahut Cinta tegas.
Mau tak mau Cindy akhirnya menuruti kata-kata kakaknya itu, jadilah Cindy dan Asep menginap di rumah Cinta malam itu.

Serial Andre & CalvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang