Bangun pagi, seperti biasa rumah ini terasa begitu sepi. Aku mengulet sebentar, meregangkan tubuh sambil melepaskan napas panjang.
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu terseok-seok menuju kamar mandi.
Pagi ini pertama kalinya aku akan menghadapi kepala sekolah sendirian. Sepertinya akan jadi hari yang menyenangkan.
Aku bersiul-siul sambil mandi, lalu mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Selambat mungkin.
Sarapanku disiapkan oleh bibi, seperti biasa. Mama papa sudah berangkat kerja, seperti biasa. Pak Wawan, supir pribadiku, sudah menunggu di depan rumah, juga seperti biasa.
Mama adalah seorang pengacara. Pekerjaannya selalu menyita waktu dan energi, hingga tak pernah ada waktu bersamaku. Papa apalagi.
Aku tak pernah tahu pasti apa pekerjaan papaku. Yang pasti beliau jarang di rumah. Dulu, dari balik pintu kamar yang tak tertutup rapat, pernah kulihat papa membersihkan pistol di kamarnya. Setelahnya aku dipukul, karena dianggap lancang mengintip.
Keluarga kami tak pernah pergi berlibur seperti keluarga lain. Tak mengapa. Toh, di belakang rumah kami ada kolam renang pribadi. Ada bibi yang akan memasakkan apapun yang kami minta. Ada pembantu yang bekerja hilir mudik, menyediakan apapun keperluanku. Di kamarku ada TV, komputer, dan segala jenis permainan yang kuinginkan. Aku tak butuh liburan.
---
Pagi ini, seperti biasa, aku tak pernah mau diantar Pak Wawan sampai di depan gerbang sekolah. Aku minta turun di tempat biasa, sebuah warung kecil, sekitar 100 meter dari sekolah.
Aku senang nongkrong di sana sebelum berjalan lambat-lambat ke sekolah. Jajanan di warung itu lumayan bervariasi. Bakwan udang buatan ibu warung adalah favoritku.
Aku sedang duduk di kursi depan warung saat anak perempuan itu lewat di depanku.
Anak perempuan berambut ikal dikuncir satu, jidat lebar ditutupi poni acak-acakan, dan berkacamata. Kulitnya putih agak pucat, ransel besar menempel di punggungnya. Dia berjalan cepat, nyaris berlari menuju gerbang sekolah. Takut terlambat rupanya.
Tanpa menoleh dia lewat di hadapanku, dengan langkah besar-besar. Tak sesuai dengan tubuhnya yang kecil.
Tak lama, sekitar 4 meter dari tempatku duduk, dia berhenti. Sesuatu menarik perhatiannya. Seekor kucing kecil di pinggir jalan. Anak perempuan itu menghampiri si kucing, mengelusnya sambil berbicara dengan lembut.
"Heey, kamu lagi, Pus. Mana ibumu? Sini, sini, aku bawa sesuatu untukmu," katanya setengah berbisik sambil berjongkok di depan si kucing. Suaranya begitu lembut.
Si kucing memakan pemberian anak perempuan itu dengan lahap. Tak lama dia mengeong lalu menggosokkan tubuhnya ke kaki anak itu. Anak perempuan itu tertawa geli, "ih, kamu lucuuuu!"
"Udah ya, aku harus berangkat sekolah." Dia mengusap kucing itu lagi, lalu berdiri dan berlari kencang ke arah gerbang sekolah.
Aku yang sedang menikmati adegan manis tadi, langsung bangkit dari dudukku dan bergegas mengikuti langkahnya. Walau sebenarnya aku bisa mendahului, aku tetap menjaga jarak di belakangnya.
Pintu gerbang masih terbuka saat dia tiba. Segera dia masuk dengan langkah gembira.
Sementara aku? Gerbang besi itu berderit menutup persis saat aku tiba di depannya. Bisa kubayangkan wajah senang Pak Burhan saat melakukannya.
Aku tahu penjaga pintu itu membenciku sejak dia kehilangan gembok pintu. Entah mengapa dia menuduhku menyembunyikannya. Padahal aku hanya memindahkan gembok itu ke tempat yang tidak diketahuinya. Di selokan depan sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
Roman d'amourMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati