Esok dan hari-hari berikutnya, aku rajin mengirim pesan pendek pada Magda. Awalnya sekedar menanyakan hal-hal sepele.
[Magda, ini Fahri. Aku mau nagih hutang]
[Maaf aku ngga ada jadwal kuliah. Besok boleh?] dia menjawab serius.
[Boleh. Ketemu di warung bebek?] kataku berharap.
[Depan kelasmu aja] jawabnya datar.
[Ok] kujawab lebih datar lagi, padahal malu.
Keesokan harinya, saat kelas pagiku berakhir, Magda sudah berdiri di depan kelas sambil menyodorkan uang tiga ribuan ke tanganku. Tanpa banyak cakap, dia pun berlalu.
Senin pagi, kukirim pesan lagi padanya.
[Magda, uang seribuan darimu sobek saking leceknya. Aku minta ganti rugi]
[Oke, siang nanti aku ke kelasmu] jawabnya. Masih datar.
Siangnya saat aku melangkah keluar kelas, dia sudah bersandar di tembok depan. Tanpa senyum, tangannya mengulurkan selembar uang seribuan baru.
“Nih,” katanya. Sebelum kujawab, dia sudah membalikkan tubuh, lalu menghilang bagaikan ninja.
Selasa pagi, pesan berikutnya kukirm lagi.
[Magda, hari ini aku mau pinjam uang, boleh?]
[Berapa]
[Lima ribu saja]
[Oke, nanti aku ke kelasmu]
Begitu terus, hingga lama-lama rasanya diriku malu sendiri membaca pesan yang kukirimkan untuknya. Begitu kekanak-kanakan. Begitu basi, andai saja Reina mengetahuinya.
Hingga minggu kedua, pesanku semakin absurd.
[Magda, aku mau bayar hutang]
[Oke, nanti aku ke kelasmu]
Saat kutemui dia di depan kelas, kali ini tak kubiarkan dia menghilang lagi. Uang lima ribuan sudah berpindah tangan, tubuhku bergerak ke depan menghalangi langkahnya.
“Kamu selalu buru-buru ya?”
“Iya,” jawabnya pendek, sambil menantang mataku.
“Ada waktu sebentar, nggak?” tanyaku nekat.
“Mau apa?” dia bertanya balik.
“Makan siang bersamaku. Mau?” ujarku santai, sambil menatap lekat mata coklatnya.
Gadis itu menarik napas panjang, lalu berjalan melewatiku.
“Ya sudah, ayok!” ajaknya sambil lalu.
Hatiku bersorak gembira, akhirnya bisa makan berdua dengan Magda lagi. Kuikuti ayunan langkahnya, berusaha menjejeri langkahnya yang terlalu cepat.
---
Sambil makan bebek goreng, kami mengobrol. Awalnya memang sulit, namun setelah kupancing dengan kata kunci ‘Makan bayar sendiri-sendiri, tidak pakai hutang’ barulah dia bisa bersikap santai.
Magda ternyata kakak angkatanku. Dia sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kedua orangtuanya tinggal di Kota Medan. Karena kepintarannya, gadis itu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Universitas Negeri. Dia sendirian hidup di Jakarta, membiayai hidupnya dengan menjadi guru privat khusus anak sekolah menengah.
“Aku tidak menerima belas kasihan dari siapapun, jangan traktir aku makan siang,” ujarnya tegas saat tadi kutawari untuk membayarinya. Matanya menyala galak.
Dari sikapnya, bisa kulihat, dia adalah gadis cerdas dan mandiri. Harga dirinya begitu dijunjung tinggi. Kuakui rasa hormatku membubung tinggi menghadapi gadis ini. Aku berusaha bersikap baik, tidak nyeletuk yang tidak-tidak. Kesan intelek harus dinomorsatukan kalau sedang bicara dengan Magda.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomanceMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati